Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menyikapi Mental Load: Solusi Islami untuk Harmoni Keluarga

shibgotulhaq Editor : Widi Kusnadi - 1 menit yang lalu

1 menit yang lalu

0 Views ㅤ

Ilustrasi muslimah yang mengalami mental load.

Ibu rumah tangga kerap memikul sebuah beban tak terlihat dan sering kali luput dari perhatian yang dikenal sebagai mental load. Beban ini bukan sekadar daftar tugas fisik yang harus diselesaikan, melainkan sebuah kerja kognitif dan emosional yang mendalam, meliputi perencanaan, mengingat, mendelegasikan tugas, serta mengelola berbagai aspek kehidupan rumah tangga dan keluarga. Meski tak kasat mata, dampaknya sangat nyata, menguras energi, dan memengaruhi keharmonian keluarga.

Apa itu Mental Load?

Mental load adalah akumulasi dari kerja kognitif (cognitive labor) dan kerja emosional (emotional labor) yang secara tidak proporsional dibebankan pada perempuan. Liz Dean (2021), dalam artikelnya “The mental load: building a deeper theoretical understanding of how cognitive and emotional labor overload women and mothers,” secara komprehensif mendefinisikan fenomena ini. Menurutnya kondisi ini bukan sekadar tentang membeli bahan makanan, tetapi juga mengetahui kapan persediaan menipis, merencanakan menu yang bervariasi, mengingat preferensi diet setiap anggota keluarga, dan memastikan semua kebutuhan terpenuhi.

Kerja kognitif berpusat pada aspek manajerial dan pemikiran. Ini mencakup serangkaian tugas yang seringkali tidak terlihat namun krusial, seperti mengingat jadwal sekolah dan ekstrakurikuler anak, merencanakan dan mempersiapkan makanan setiap hari, mengelola daftar belanja kebutuhan pangan dan rumah tangga, mengingat dan membayar tagihan tepat waktu, serta mengatur janji temu dokter atau kegiatan keluarga lainnya.

Baca Juga: 7 Tips Digital Muslimah: Menjaga Hati di Balik Layar

Di sisi lain, terdapat juga kerja emosional yang menuntut perempuan untuk secara konstan mengelola dan menjaga emosi mereka sendiri, baik saat berinteraksi dengan anak-anak maupun suami. Ada ekspektasi sosial bahwa istri dan ibu harus selalu tampak tenang dan sabar, tidak boleh meneruskan rasa lelah atau frustrasi yang mereka rasakan kepada keluarga. Mereka diharapkan menjadi jangkar emosional, menjaga harmoni, dan memastikan semua anggota keluarga merasa bahagia dan didukung.

Secara sosial dan budaya, perempuan seringkali dibesarkan dengan narasi bahwa mereka adalah pengelola utama rumah tangga, bahkan jika mereka juga bekerja di luar rumah. Kondisi ini diperparah dengan kurangnya kesadaran pasangan atau anggota keluarga lain dalam berbagi tanggung jawab, serta internalisasi beban mental di mana perempuan merasa sepenuhnya bertanggung jawab untuk memastikan segalanya berjalan sempurna. Akibatnya, perempuan cenderung lebih banyak mengingat dan mengatur tugas-tugas domestik dibandingkan pasangannya, menciptakan ketidakseimbangan yang signifikan dalam dinamika rumah tangga.

Bagaimana Dampak Mental Load?

  •         Kelelahan Fisik yang Tak Berkesudahan

Meskipun mental load berpusat pada aktivitas kognitif, dampaknya seringkali bermanifestasi secara fisik. Perempuan yang terus-menerus mengurus jadwal keluarga, memikirkan urusan rumah, sambil tetap bekerja atau mengurus anak, seringkali mengalami kurang tidur kronis. Kelelahan fisik ini dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh, membuat mereka rentan terhadap penyakit seperti flu, migrain, dan penurunan energi secara keseluruhan. Tubuh yang kurang istirahat akan mudah tumbang, meskipun pekerjaan yang dilakukan lebih banyak melibatkan pikiran.

Baca Juga: 7 Peran Muslimah dalam Dakwah di Era Digital

  •         Stres Menumpuk dan Kecemasan Berlebih

Pikiran yang tidak pernah berhenti mengatur dan merencanakan dapat menyebabkan ketegangan mental yang konstan. Jika dibiarkan, kondisi ini dapat berkembang menjadi stres kronis atau kecemasan berlebih. Perempuan menjadi mudah panik, sulit bersantai, dan seringkali merasa ada yang salah atau kurang, meskipun semua tugas sudah terselesaikan. Tekanan ini terus-menerus menggerogoti ketenangan batin, menyebabkan mereka hidup dalam kondisi fight-or-flight yang berkepanjangan.

  •         Depresi yang Datang Diam-diam

Salah satu dampak paling serius dari mental load yang tidak terkelola adalah risiko depresi. Ketika beban mental terasa terlalu berat dan perempuan merasa sendirian tanpa dukungan, kemungkinan depresi meningkat tajam. Tanda-tandanya bisa berupa kelelahan ekstrem meskipun sudah tidur cukup, hilangnya minat pada hal-hal yang dulu menyenangkan, perasaan kurang dihargai atau tidak berguna, dan cenderung menarik diri dari lingkungan sosial. Kondisi ini tidak hanya merugikan diri sendiri tetapi juga dapat mengganggu kualitas hubungan dengan pasangan dan anak-anak.

  •         Burnout (Kelelahan Mental)

Burnout adalah kondisi di mana seseorang merasa sangat lelah, mental kosong, dan kehilangan energi untuk peduli. Ini terjadi ketika seseorang terus-menerus menjadi “alarm hidup” bagi semua orang di rumah, namun tidak pernah mendapatkan bantuan atau pengakuan yang sepadan. Jika sudah mengalami burnout, semangat untuk mengurus rumah tangga, bekerja, atau bahkan berinteraksi sosial bisa menurun drastis. Produktivitas menurun dan motivasi hidup ikut memudar.

  •         Hubungan dengan Keluarga Menjadi Renggang

Beban mental yang berat tak hanya menguras energi fisik, tetapi juga dapat memicu ledakan emosi pada perempuan. Rasa lelah dan tekanan yang menumpuk seringkali termanifestasi dalam bentuk kemarahan atau kekesalan terhadap pasangan. Ini terjadi ketika seorang perempuan merasa bahwa semua tanggung jawab rumah tangga dan keluarga seolah dibebankan sendirian, tanpa ada dukungan atau pemahaman yang cukup dari pasangannya. Akibatnya, ia menjadi lebih mudah jengkel dan rentan terhadap konflik, yang pada akhirnya dapat merusak harmoni dalam hubungan.

Baca Juga: Muslimah Cerdas di Akhir Zaman

Selain itu, kelelahan mental ini juga berdampak pada interaksi dengan anak-anak. Ambang kesabaran ibu cenderung menurun, membuat mereka lebih mudah marah atau frustrasi pada hal-hal kecil. Parahnya lagi, beban mental yang tak terlihat ini sering kali menimbulkan perasaan sendirian dan terisolasi, bahkan di tengah keluarga sendiri. Ketika perempuan merasa tidak ada yang memahami betapa beratnya menjadi “otak” di balik operasional rumah tangga, rasa kesepian dan kurang dihargai bisa muncul. Ketidakseimbangan ini, terutama jika beban mental tidak diakui atau dibagi secara adil, dapat memicu miskomunikasi dan konflik, yang pada akhirnya membebani hubungan keluarga secara keseluruhan.

Mengatasi Dampak Mental Load: Perspektif Islam dan Langkah Praktis

Dalam Islam, fenomena ini dapat diatasi sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah: 187,

هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّۗ

Baca Juga: Batasan dalam Islam, Menjaga Iman, Bukan Sekadar Nyaman

“…Mereka (istri-istrimu) adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka.”

Dalam Tafsir Al-Misbah, Quraish Shihab menjelaskan bahwa pakaian berfungsi melindungi dari sengatan panas dan dingin. Dengan analogi ini, suami dan istri harus mampu melindungi satu sama lain dari berbagai krisis dan kesulitan.

Kemudian Tafsir Jalalain menambahkan tiga makna penting dari analogi “pakaian”:

  1. Kedekatan: Suami istri ibarat pakaian yang melekat erat pada kulit, menunjukkan kedekatan, kepercayaan, transparansi, tanggung jawab, cinta, sayang, dan kesetiaan yang tak terpisahkan.
  2. Saling Mengayomi: Suami istri seyogianya saling mengayomi, menjadi tempat sandaran dan berbagi kebahagiaan. Keduanya adalah dua insan yang saling menguatkan dalam segala keadaan, baik suka maupun duka.
  3. Saling Membutuhkan dan Kesetaraan: Ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi secara responsif sebagai mitra hidup. Relasi kesetaraan mutlak adanya dalam rangka saling membantu, menopang, dan menghargai.

Imam as-Syaukani dalam tafsir Fathul Qadir menegaskan bahwa penyebutan suami-istri sebagai “Libas” mengimplikasikan tidak adanya dominasi mutlak. Asas gotong royong dan kemitraan menjadi fondasi. Kerjasama yang saling dilakukan akan menciptakan keharmonisan hakiki, di mana tidak ada pihak yang saling menuntut hak secara berlebihan, melainkan saling menerima masukan dan bekerja sama sebagai mitra sejati dalam segala hal.

Baca Juga: Muslimah Tangguh di Tengah Fitnah Akhir Zaman: Menjaga Iman, Hijab, dan Kehormatan

Tafsir dari ayat ini, secara inheren menekankan bahwa beban rumah tangga seharusnya dipikul bersama. Jika suami dan istri diibaratkan pakaian yang saling menutupi, melindungi, dan melengkapi, maka tugas-tugas domestik dan manajerial dalam rumah tangga juga harus diemban secara kolektif. 

Mental load yang dominan pada satu pihak, khususnya perempuan, secara jelas bertentangan dengan semangat saling melengkapi di ayat ini. Ayat tersebut menggarisbawahi bahwa baik suami maupun istri memiliki peran aktif dalam menciptakan kenyamanan dan keteraturan, bukan hanya penyerahan tugas tradisional yang membebani salah satu pihak.

Oleh karena itu, komunikasi yang efektif dan terbuka menjadi kunci utama dalam mengaplikasikan nilai-nilai Islam ke dalam kehidupan sehari-hari. Pasangan harus secara proaktif mendiskusikan daftar tugas yang tak terlihat, mulai dari perencanaan keuangan, jadwal anak, hingga manajemen kebutuhan rumah tangga. Dengan saling berbagi informasi dan kesadaran, beban mental dapat didistribusikan secara lebih adil.

Ketika setiap pihak memahami peran “pakaian” bagi pasangannya, mereka akan lebih peka terhadap kelelahan dan tekanan yang dialami. Saling bertanya kondisi masing-masing, menawarkan bantuan, dan secara aktif berbagi tanggung jawab dapat mengurangi perasaan terisolasi dan kelelahan yang dialami perempuan akibat mental load

Baca Juga: Tiga Perisai Kehormatan Muslimah di Era Digital

Hal ini bukan hanya tentang memenuhi kewajiban, melainkan tentang membangun sebuah kemitraan sejati yang didasari rasa cinta, kepedulian, dan keadilan, sebagaimana yang diajarkan oleh Al-Qur’an untuk mencapai rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Waallhualam bi Shawab. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Ujian Nikmat: Antara Syukur dan Kufur

Rekomendasi untuk Anda

MINA Preneur
MINA Preneur
Khadijah
MINA Health