Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menyikapi Takdir dengan Syukur dan Husnudzan

Farah Salsabila Editor : Widi Kusnadi - 53 detik yang lalu

53 detik yang lalu

0 Views ㅤ

Ilustrasi

SERING kali dalam hidup, kita menghadapi kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan. Mungkin kita sudah berusaha keras, berdoa dengan sungguh-sungguh, namun hasil yang kita dapatkan justru mengecewakan. Dalam situasi seperti ini, mudah bagi kita untuk merasa putus asa dan mulai berprasangka buruk kepada Allah. Tapi, benarkah hidup kita seburuk itu? Ataukah kita hanya perlu mengubah sudut pandang kita?

Mari kita renungkan kisah para nabi dan orang-orang saleh sebelum kita. Rasulullah ﷺ sendiri lahir dalam keadaan yatim. Ayahnya telah tiada sebelum beliau dilahirkan, dan ibunya pun meninggal saat beliau masih kecil. Namun, apakah beliau pernah mengeluh dan menyalahkan takdir? Tidak. Beliau justru menjalani hidup dengan penuh keyakinan dan keikhlasan. Keyatiman beliau adalah bagian dari kasih sayang Allah, agar beliau senantiasa bersandar kepada-Nya. Ketika dalam keadaan yang sangat sulit, beliau tidak mengucapkan “Ya Ibu” atau “Ya Ayah,” tetapi yang keluar dari lisannya adalah “Ya Rabbi.”

Allah berfirman: “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?” (QS. Ad-Dhuha: 6)

Jika Rasulullah ﷺ bisa menghadapi segala ujian dengan kesabaran dan tetap menjadi pribadi yang luar biasa, mengapa kita yang hidup dalam kondisi jauh lebih baik justru merasa bahwa hidup ini tidak adil?

Baca Juga: Menjadi Muslimah yang Amanah

Sering kali kita terlalu fokus pada kegagalan dan rasa kecewa yang kita alami. Ketika hasil ujian tidak sesuai harapan, ketika lamaran kerja ditolak, ketika bisnis gagal berkembang, atau bahkan ketika hubungan yang kita harapkan tidak berjalan sesuai keinginan—kita merasa dunia tidak berpihak kepada kita. Padahal, mungkin bukan dunia yang salah, tetapi pola pikir dan akidah kita yang keliru.

Allah telah menjelaskan bahwa setiap ujian yang datang bukanlah tanpa tujuan: “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ dan mereka tidak diuji?” (QS. Al-Ankabut: 2)

Kita hidup dalam dunia yang penuh dengan ujian. Tidak ada satu pun manusia yang terbebas dari cobaan. Namun, bagaimana kita menyikapinya menentukan apakah akan menjadikan kita lebih beriman atau malah menjadi hamba yang kufur, menjadi kuat atau malah tenggelam dalam duka kesedihan dan kekecewaan. Salah satu cara terbaik untuk tetap tegar adalah dengan duduk sejenak, merenung, dan berzikir kepada Allah. Mengingat kembali bahwa dunia ini bukan tentang kita semata, tetapi tentang bagaimana kita menjalani peran kita sebagai hamba-Nya.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah seorang Muslim tertimpa kelelahan, sakit, kegelisahan, kesedihan, gangguan, atau kebimbangan hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapus dosa-dosanya dengan itu.” (HR. Bukhari & Muslim)

Baca Juga: Menjaga Kualitas Ibadah Ramadhan Sambil Urusi Kerjaan dan Rumah Tangga, Emang Bisa?

Bahagia itu bukan soal harta, karier, atau pencapaian duniawi. Bahagia adalah ketika seorang hamba mendapatkan ridho dari  Allah. Jika kita memahami bahwa tujuan utama kita di dunia ini adalah menjadi hamba yang dicintai Allah, maka kita akan melihat segala sesuatu dengan sudut pandang yang berbeda.

Ketika lamaran kerja ditolak, mungkin Allah sedang melindungi kita dari lingkungan yang tidak baik bagi kita. Ketika seseorang yang kita cintai ternyata bukan jodoh kita, mungkin Allah sedang menyiapkan seseorang yang lebih baik dan lebih sesuai untuk kita. Ketika sakit menimpa, mungkin itu adalah cara Allah untuk menghapus dosa-dosa kita dan meningkatkan derajat kita di sisi-Nya. Ketika kita terjebak dalam kemacetan, mungkin itu adalah bentuk perlindungan Allah agar kita terhindar dari bahaya di jalan. Ingatlah, Allah tidak hanya memberi nikmat yang menyenangkan, tetapi juga menjaga dan melindungi hamba-hamba-Nya dalam cara yang sering kali tidak kita sadari.

Rasulullah ﷺ mengajarkan kita untuk selalu husnudzan (berbaik sangka) kepada Allah: “Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin! Sesungguhnya segala perkaranya itu baik baginya, dan itu tidak dimiliki oleh siapa pun selain seorang mukmin. Jika ia mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia ditimpa kesusahan, maka ia bersabar, dan itu juga baik baginya.” (HR. Muslim)

Salah satu kisah inspiratif adalah tentang seseorang yang seluruh tubuhnya lumpuh, namun ia tetap bersyukur karena masih bisa berbicara dan berzikir kepada Allah. Baginya, yang terpenting bukanlah kondisi fisiknya, tetapi bagaimana ia tetap bisa mendekatkan diri kepada Allah. Ini menjadi pengingat bahwa bahagia bukanlah memiliki segalanya, tetapi bagaimana kita memanfaatkan apa yang kita miliki untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Baca Juga: Panduan Shalat Tarawih di Rumah untuk Muslimah

Ada seorang bapak yang setelah shalat berkata, “Alhamdulillah, saya dikasih sakit stroke.” Sekilas terdengar aneh, tetapi baginya, musibah ini adalah cara Allah mendekatkannya kepada-Nya. Seberapa sering kita berpikir seperti itu? Kebanyakan dari kita justru baru mengingat Allah saat kesulitan datang, padahal seharusnya kita selalu dekat dengan-Nya, dalam suka maupun duka.

Keteguhan hati yang serupa juga terlihat di Gaza. Di tengah kehancuran dan penderitaan yang tak terbayangkan, saudara-saudara kita di sana tetap bersyukur dengan penuh keyakinan. Saat keluarga mereka syahid, mereka berkata, “Alhamdulillah, Allah memilihnya sebagai syahid. Kami akan menyusulnya di surga, insyaAllah.” Ketika rumah mereka hancur, mereka tetap tenang dan berkata, “Ini hanya bangunan dunia, rumah kita yang sejati ada di surga, insyaAllah.” Bahkan dalam keadaan lapar, mereka tetap berprasangka baik, “Allah yang memberi rezeki. Jika hari ini kami lapar, mungkin Allah sedang menyiapkan sesuatu yang lebih baik untuk kami esok.” Saat kehilangan anggota tubuh, mereka tidak berduka, tetapi justru berkata, “Mungkin kaki atau tangan ini hilang di dunia, tetapi aku akan mendapatkannya kembali di surga.” Dan ketika ditanya bagaimana mereka bisa tetap tegar di tengah ujian yang begitu berat, jawab mereka penuh keyakinan, “Kami punya Allah. Selama Allah bersama kami, kami tidak akan pernah kalah.”

Keteguhan mereka mengajarkan kita bahwa syukur dan husnudzon bukan hanya tentang menerima yang baik, tetapi juga tentang percaya bahwa setiap ketetapan Allah adalah yang terbaik.

Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:

Baca Juga: Tips Aman Puasa Ramadhan Bagi Ibu Menyusui 

“Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)

Jika mereka yang diuji dengan segala macam ujian masih bisa mengatakan Alhamdulillah, maka apakah kita masih punya alasan untuk mengeluh dalam hidup ini?

Sobat Muslimah, kekecewaan dan kesedihan yang mendalam terhadap ketetapan Allah sering kali muncul karena kita terlalu mencintai dunia atau sesuatu tanpa mendasarkannya pada kecintaan kepada Allah. Kita merasa memiliki sesuatu secara mutlak, padahal semuanya hanyalah titipan-Nya.

Bayangkan, ketika Pak RT mengumumkan bahwa salah satu warga kompleks meninggal, bagaimana perasaan kita? Mungkin sekadar iba atau bahkan biasa saja, karena kita tidak memiliki keterikatan yang mendalam. Namun, jika yang meninggal adalah orang tua atau sahabat dekat, kesedihan yang kita rasakan tentu jauh lebih besar. Mengapa? Karena kita merasa mereka adalah milik kita.

Baca Juga: Di Tengah Kehancuran Gaza, Para Janda Berjuang Menghidupi Anak-anaknya

Jika kita menyadari bahwa segala sesuatu adalah milik Allah, dan bahwa cinta kepada-Nya adalah satu-satunya cinta yang abadi, maka hati kita akan lebih tenang. Kita akan lebih mudah bersyukur dan ridha atas segala ketetapan-Nya, karena kita tahu bahwa setiap kehilangan hanyalah bagian dari perjalanan menuju-Nya.

Jadi, jika suatu hari kita mendapati cobaan yang berat, mengalami kegagalan atau kehilangan, jangan buru-buru menyalahkan keadaan. Sebaliknya, renungkanlah, “Apa yang Allah ingin ajarkan kepadaku melalui ini?” Jika kita selalu memiliki prasangka baik kepada Allah dan senantiasa bersyukur, niscaya hati kita akan selalu tenang dan bahagia.

Wallahu a’lam. Semoga kita semua selalu diberi ketenangan hati dan keberkahan dalam setiap langkah kita. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: 10 Rahasia Sukses Muslimah Mengatur Keuangan di Era Digital

Rekomendasi untuk Anda

Khadijah