Oleh : Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor berita MINA (Mi’raj News Agency)
Gregory Stanton pendiri dan direktur kelompok Genocide Watch, pada tanggal 16 Jan 2022 memperingatkan tentang kekerasan terhadap Muslim minoritas di India. Stanton menyebutkan indikasi awal genosida di negara bagian Assam dan Kashmir yang dikelola pemerintah pusat India.
“Kami memperingatkan bahwa genosida bisa saja terjadi di India,” kata Stanton, berbicara atas nama organisasi non-pemerintah yang ia luncurkan pada 1999 untuk memprediksi, mencegah, menghentikan, dan meminta pertanggungjawaban atas kejahatan tersebut,” ujar Stanton. Seperti dikutip Al Jazeera.
Stanton mengatakan genosida merupakan sebuah proses yang ditempuh oleh Perdana Menteri India Narendra Modi. Ini sama dengan tidakan diskriminatif pemerintah Myanmar terhadap Muslim Rohingya sejak tahun 2017.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Di antara tindakan diskriminasi itu adalah pencabutan status otonomi khusus Kashmir yang dikelola India pada tahun 2019, dengan mencabut warga Kashmir dari otonomi khusus yang mereka miliki selama tujuh dekade.
Kemudian pemerinah India menetapkan Undang-Undang Amendemen Kewarganegaraan pada tahun yang sama 2019, yang memberikan kewarganegaraan kepada minoritas agama, dengan mengecualikan umat Islam.
Gregory Stanton yang juga mantan dosen Studi Genosida dan Pencegahan di Universitas George Mason di Virginia, mengatakan, dia mengkhawatirkan skenario serupa dengan Myanmar, di mana Rohingya pertama kali secara hukum dinyatakan bukan warga negara dan kemudian diusir melalui kekerasan dan genosida.
“Apa yang kita hadapi sekarang adalah jenis plot yang sangat mirip,” katanya.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Stanton mengatakan ideologi Hindutva bertentangan dengan sejarah India dan konstitusi India, dan menyebut Modi sebagai ekstremis yang telah mengambil alih pemerintahan.
Genocide Watch mulai memperingatkan genosida di India pada tahun 2002, ketika periode tiga hari kekerasan antar-komunal di negara bagian Gujarat di India barat mengakibatkan pembunuhan lebih dari 1.000 warga Muslim.
Aakar Patel, seorang aktivis hak yang berbasis di Bengaluru, penulis dan mantan Kepala Amnesty International di India, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa laporan tersebut harus ditanggapi dengan “sangat serius”.
“Saya pikir sejarah dalam catatan kekerasan sipil India menunjukkan apakah negara melakukan sesuatu yang memprovokasi kekerasan terhadap Muslim atau tidak cukup berbuat untuk menghentikannya,” kata Patel.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
“Saya pikir pemerintah India perlu menganggapnya serius. Orang-orang di luar secara alami khawatir ketika hal-hal seperti itu dikatakan di India dan tidak ada yang dilakukan oleh negara,” katanya, mengacu pada seruan baru-baru ini untuk genosida Muslim yang dibuat di sebuah acara oleh kelompok Hindu sayap kanan.
MM Ansari, mantan komisaris informasi dan pendidik yang berbasis di New Delhi, menyebut laporan itu “mengkhawatirkan”. “Ketakutan itu sangat nyata,” katanya.
Pakar lain mengecam meningkatnya serangan terhadap vendor dan bisnis Muslim oleh kelompok supremasi Hindu.
Pada bulan November, kelompok garis keras Hindu membakar rumah mantan menteri luar negeri Muslim, Salman Khurshid, yang membandingkan jenis nasionalisme Hindu yang berkembang di bawah Modi dengan “kelompok ekstremis” seperti ISIL (ISIS).
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Video para pemimpin agama Hindu yang menyerukan pembunuhan massal dan penggunaan senjata terhadap Muslim yang menjadi viral di media sosial bulan lalu mendorong Mahkamah Agung untuk memerintahkan penyelidikan atas ujaran kebencian di negara bagian Uttarakhand.
“Di bawah kepemimpinan BJP, India menjadi salah satu negara paling berbahaya bagi Muslim dan Kristen di dunia. Mereka dianiaya secara fisik, psikologis dan ekonomi,” tulis aktivis dan akademisi Apoor Vanand
Pemerintah BJP
Pemerintah Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa, menolak laporan Genocide Watch, dengan mengatakan “tidak ada hal-hal seperti yang digambarkan”.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
“Pertama-tama kesan yang mereka buat secara faktual tidak benar,” katanya.
Banyak contoh yang disorot oleh media jauh dari kenyataan. “Ada kasus penyerangan tetapi tidak terbatas pada satu komunitas. Dalam masyarakat, terkadang kami saling menyerang karena alasan seperti sengketa properti atau sengketa lainnya. Hal ini tidak hanya terjadi antara Hindu dan Muslim saja, tetapi juga terjadi di antara umat Hindu,” katanya.
BJP Modi dan induk ideologisnya, sayap kanan Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS), telah memperingatkan umat Hindu tentang konversi agama ke Islam dan Kristen, dan menyerukan tindakan untuk mencegah “ketidakseimbangan demografis” di negara berpenduduk terbesar kedua di dunia itu.
BJP Modi telah dituduh mendorong penganiayaan terhadap Muslim dan minoritas lainnya oleh nasionalis Hindu garis keras sejak berkuasa pada tahun 2014, tuduhan yang dibantahnya.
Baca Juga: Menjaga Akidah di Era Digital
Sejarah Muslim India
Muslim di India saat ini terdiri hampir 14% (hampir 196 juta) dari 1,4 miliar penduduk India. Sementara umat Hindu masih membentuk hampir 80% (1,12 miliar jiwa) dari populasi.
Jika dirunut dari sejarahnya, keberadaan India itu sendiri tidak lepas dari peran umat Islam sebelum masa kemerdekaan India.
Berdirinya Kesultanan Delhi di daerah India Utara pada tahun 1206 pada Dinasti Mamluk menandakan keberadaan umat Islam.
Baca Juga: Amerika itu Negara Para Pendatang!
Kesultanan Gujarat yang didirikan oleh Sultan Muzaffar Shah 1 pada tahun 1407 sebagai pecahan dari Kesultanan Delhi, juga membuktikan adanya peran umat Islam saat itu.
Kota terpenting dan terbesar yang pernah menjadi ibukota Kesultanan Gujarat adalah Ahmedabad, yang dibangun oleh Sultan Ahmad Shah pada tahun 1411. Selain itu, beberapa kota dan pelabuhan di pantai barat Gujarat yang dibangun oleh para sultan berperan besar dalam kemajuan negara dan perdagangan laut di India.
Bahkan umat Muslim memiliki peran besar dalam sejumlah pertempuran di India melawan kolonialisme Inggris. Di antaranya, Pertempuran Plassey tahun 1757 di Bengal, pertempuran Seringapatam Sultan Tipu di India Selatan pada tahun 1799 hingga pemberontakan besar-besaran pada tahun 1857.
Bertentangan dengan Gandhi
Baca Juga: Indonesia, Pohon Palma, dan Kemakmuran Negara OKI
Apa yang dilakukan oleh pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi tentu saja bertentangan dengan nilai-nilai yang ditanamkan Pemimpin pergerakan kemerdekaan India Mahathma Gandhi.
Gandhi walaupun dia adalah seorang Hindu, namun dia menyukai pemikiran-pemikiran dari agama-agama lain termasuk dari umat Islam dan Kristen. Gandhi percaya bahwa manusia dari segala agama harus mempunyai hak yang sama dan hidup bersama secara damai di dalam satu negara.
Pada tahun 2019, Tushar Arun Gandhi cicit dari Mahatma Ghandi memberikan dukungan pada para demonstran yang memprotes disahkannya Undang-Undang anti-Muslim di India.
Menurutnya, Undang-Undang anti-Muslim yang baru disahkan itu berisiko mendefinisikan Muslim sebagai “penyusup”.
Baca Juga: Kemenangan Trump dan Harapan Komunitas Muslim Amerika
Padahal kalangan minoritas Islam sepanjang ini telah melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan yang menunjukkan toleransi dan penghormatan kepada umat Hindu. Hingga kalangan ulama Islam pun sampai memberikan fatwa yang menyerukan umat Islam untuk menahan diri agar tidak berkurban dengan sapi. Itu semua demi menghormati dan menghindari sentimen keagamaan negara yang mayoritas beragama Hindu yang menganggap sapi sebagai hewan suci.
Untuk menjaga perdamaian, perasaan masyarakat mayoritas Hindu, dan membantu menumbuhkan kerukunan dalam masyarakat dan mengirim pesan yang baik tentang Islam dan ajaran yang damai dan cinta kepada non-Muslim, umat Islam pun berkurban dengan kambing atau domba.
Muslim Kashmir
Belum lagi jika melihat bagaimana kondisi umat Islam di wilayah Kashmir yang dikelola pemerintah pusat India. Warga Muslim di sana telah menjadi tempat terbesar Islamofobia dari agenda rezim BJP-RSS (Partai Bharatiya Janata) yang didorong oleh kebencian, diskriminasi dan rasisme.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-6] Tentang Halal dan Haram
Perlakuan Hindutva pemerintah India menurut Presiden Azad Jammu dan Kashmir yang dikuasai Pakistan, Sardar Masood Khan di Twitter.
Dia mengacu pada Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS), sumber dari Partai Bharatya Janata (BJP) yang berkuasa di India sejak 2014. Menurutnya, orang Kashmir dihukum hanya karena mereka Muslim.
Negara Majemuk
Tentu, sebagai negara yang katanya mengusung demokrasi, di mana ada ruang-ruang penghormatan dan toleransi kehidupan beragama dan bermasyarakat, pemerintah India harus memperhatikan nasib rakyatnya sendiri yang dalam hal ini yang beragama Islam.
Mengutip pandangan Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin pada awal ramainya Undang-Undang Kewarganegaraan India yang meminggirkan umat Islam, berharap India dapat meniru Indonesia yang sama-sama sebagai negara majemuk dalam membangun toleransi kehidupan beragama.
Menurut Ma’ruf Amin, seluruh umat beragama harus bersikap moderat, sehingga bisa menjaga kerukunan, katanya, pada 4 Maret 2020.
Maka, jika PM Modi yang saat ini berkuasa tidak mengindahkan hak-hak kehidupan umat Islam di negaranya sendiri, maka ini akan dapat mengusik perasaan umat Islam sedunia. Sebab hakikatnya umat Islam sedunia ini adalah umat yang satu, yang diikat dengan iman kepada Allah dan rasa ukhuwah (persaudaraan). (A/RS2/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)