Oleh : Ali Farkhan Tsani
Redaktur Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Pemerintah Republik Indonesia menetapkan bulan Dzulqaidah diistikmalkan (disempurnakan) menjadi tiga puluh hari sehingga tanggal 1 Dzulhijjah jatuh pada Jumat, 26 September 2014, dan Hari Raya Idul Adha jatuh bertepatan dengan Ahad, 5 Oktober 2014.
Pengumuman ni disampaikan Wakil Menteri Agama (Wamenag) Nasaruddin Umar melalui konferensi pers usai sidang itsbat penetapan awal Dzulhijjah 1435 H di Kantor Kemenag, Jakarta, Rabu (24/9) malam.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Wamenag mengakui rapat kali ini agak lama lantaran selain adanya perbedaan dalam menetapkan awal Dzulhijah, juga pembahasannya mendalam.
Pada sidang itsbat tersebut, lanjut dia, pihaknya mendapat laporan dari 31 titik pengamatan hilal dan semuanya menyatakan tidak melihat hilal. Dengan demikian, bulan Dzulqa’dah diistikmalkan (disempurnakan) menjadi tiga puluh hari dan tanggal 1 Dzulhijjah jatuh pada Jumat, 26 September 2014. Artinya, Idul Adha jatuh pada 5 Oktober 2014.
Keputusan Pemerintah RI berbeda dengan Keputusan Arab Saudi di Mekkah al-Mukarramah, berdasarkan terlihatnya hilal di kawasan Saudi Arabia dan sekitarnya pada Rabu, 29 Dzulqa’dah (24/9), maka Mahkamah Agung Arab Saudi menetapkan Kamis (25/9) sebagai awal atau tanggal 1 Dzulhijjah 1435.
Selanjutnya, lanjutan putusan menyebutkan, Wuquf di Arafah bagi seluruh jamaah haji adalah Jumat 9 Dzulhijjah (3/10) dan Hari Raya Idul Adha Sabtu 10 Dzulhijjah (4/10).
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Putusan ini diikuti oleh negara-negara Muslim lainnya dalam menentukan awal bulan Dzulhijjah, puasa Arafah dan Hari Raya Idul Adha, mengingat jutaan umat Islam di seluruh dunia yang sedang berhaji ke tanah suci Mekkah al-Mukarramah merupakan acuannya.
Mengapa Berbeda?
Perbedaan terjadi karena adanya dua landasan yang berbeda di dalam menetapkan awal bulan Hijriyah, walaupun sama-sama menggunakan rukyatul hilal (melihat bulan sabit), sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Perbedaan terletak pada batas daerah atau wilayah. Pemerintah RI hanya mengakui hasil rukyatul hilal di kawasan Indonesia sendiri. Sementara jika ada umat Islam di negeri lain, tidak diakui persaksian hilalnya.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Sedangkan Arab Saudi dan umumnya negeri-negeri muslim lainnya, tanpa melihat dari negeri mana muslim menyaksikan hilal. Ini sesuai dengan tuntunan hadits agar merukyat bulan, di mana saja, tanpa membatasi dari satu negeri.
Sementara itu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga telah menetapkan Hari Raya Idul Adha 10 Dzulhijah 1435 Hijriah pada Sabtu, 4 Oktober 2014 Masehi, sesuai data dan kesimpulan hasil hisab hakiki.
Pernyataan Muhammadiyah menyebutkan, hisab hakiki adalah metode yang berpatokan pada gerak benda langit, khususnya matahari dan bulan sebenarnya.
Dalam siaran pers yang ditandatangani Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Syamsul Anwar, itu tercatat tiga kriteria wujudul-hilal sudah terpenuhi.
Ketiganya yakni; harus sudah terjadi ijtima (konjungsi) antara bulan dan matahari; ijtima terjadi sebelum terbenam matahari; dan ketika matahari terbenam bulan belum terbenam, atau bulan masih berada di atas ufuk.
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Pada Idul Adha tahun ini, ijtimak menjelang bulan Dzulhijah 1435 H terjadi pada Rabu Legi, 24 September 2014 pukul 13:15:45 WIB atau pukul 09:15:45 Waktu Arab Saudi, karena selisih waktu WIB dengan Arab Saudi adalah empat jam.
Wuquf Arafah sebagai Acuan
Mufti Agung Al-Quds, Palestina, Syaikh Mohammed Hussein mengingatkan kaum Muslimin di seluruh dunia, bahwa Arab Saudi melalui kesaksian hilal, hendaknya diikuti negeri-negeri lainnya. Sebab kiblat dan pusat jamaah haji ada di tanah suci Mekkah al-Mukarramah.
“Sebab ini berkaitan dengan ibadah lainnya. Jumat (3/10) adalah Hari Arafah, di mana jutaan jamaah haji berkumpul di padang Arafah, maka umat Muslim lainnya yang tidak haji disunahkan puasa Arafah,” ujar Mufti Hussein.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Demikian pula, Sabtu di Mekkah dan tempat-tempat lainnya di seluruh dunia sama-sama melaksanakan Hari Raya Idul Adha 1435.
Mahkamah Agung Saudi Arabia meminta kaum Muslimin di seluruh dunia agar mengacu pada putusan Saudi Arabia sebagai kiblat yang memimpin jutaan umat Islam di seluruh dunia yang berhaji ke Tanah Suci.
“Berbeda dengan Idul Fitri yang memungkinkan perbedaan, tetapi ini Idul Adha, acuannya adalah jamaah haji di tanah suci Mekkah al-Mukarramah, umat Islam seluruh dunia merayakan Idul Adha pada saat yang sama dengan Arab Saudi,” bunyi pernyataan.
Di samping berkaitan dengan penampakan bulan (rukyatul hilal) tersebut, tentunya, yang paling pokok adalah saat jamaah haji seluruhnya melaksanakan wuquf di Arafah pada Jumat (3/10) nanti, sebagai puncak ibadah haji. Ini bisa disaksikan dari seluruh dunia.
Baca Juga: Menjaga Akidah di Era Digital
Kesepakatan OKI
Dalam rangka penyatuan penanggalan Kalender Dunia Islam, Organisasi Konferensi Islam (OKI) sebenarnya pernah membuat kesepakatan yang dikenal dengan Konvensi Istambul 1978. Konvensi Istambul adalah pertemuan Musyawarah Ahli Hisab dan Ru’yat di Istanbul, Turki tahun 1978 yang dihadiri oleh wakil-wakil dari 19 Negara Islam (termasuk Indonesia), ditambah dengan tiga Lembaga Kegiatan Masyarakat Islam di Timur Tengah dan Eropa
Ada tiga kesepakatan terpenting Konvensi Istambul, yaitu pertama, sepakat satunya penanggalan bagi dunia Islam. Kedua, ru’yatul hilal (penglihatan bulan) suatu negara berlaku untuk semua negara. Ketiga, Mekkah Al-Mukarramah dijadikan sentral ru’yatul hilal dan pusat informasi ke seluruh negeri-negeri Islam.
Di tengah situasi global yang semakin mendewasakan umat Islam, semoga ukhuwah Islamiyah, persatuan dan kesatuan umat Islam, dapat terwujud di tengah perbedaan penetapan yang ada, khususnya dalam penetapan satu Ramadhan, 1 Dzulhijjah, Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha.
Baca Juga: Amerika itu Negara Para Pendatang!
Terlepas dari perbedaan itu semua, Penulis hanya mengingatkan kepada Pihak Pemerintah RI, terutama Kementerian Agama, hendaknya memperhatikan acuan pelaksanaan ibadah haji adalah di tanah suci Mekkah al-Mukarramah, sebab ini berkaitan dengan ibadah-ibadah lainnya. Seperti saat wuquf di Arafah, Jumat nanti 9 Dzulhijjah (3/10), sehingga disebut Haji Akbar. Maka umat Islam di seluruh dunia lainnya, dianjurkan untuk melaksanakan puasa Arafah.
Esok harinya, Sabtu 10 Dzulhijjah berarti Hari Raya Idul Adha bagi umat Islam di seluruh dunia.
Jika kemudian Pemerintah RI melalui Kementerian Agama, yang dibacakan oleh Wamenag Nasaruddin Umar, menetapkan Idul Adha adalah Ahad (5/10), lalu mereka puasa Arafah berarti Sabtu (4/10).
Yang menjadi tanda tanya sangat besar adalah puasa Arafah mengikuti Arafah yang mana? Padahal pula, Sabtu (4/10) itu kaum Muslimin di Mekkah al-Mukarramah dan di seluruh dunia, sedang melaksanakan shalat Idul Adha. Ini berarti, keputusan pemerintah tentang hari puasa Arafah yang jatuh pada Hari Raya adalah haram hukumnya. Kalau ini diikuti pula oleh jutaan umat Islam, maka berdosalah umat Islam bila melaksanakan putusan itu.
Baca Juga: Indonesia, Pohon Palma, dan Kemakmuran Negara OKI
Lalu, apakah keputusan sepenting itu dan menyangkut umat Islam mayoritas Indonesia tersebut, ditetapkan oleh Wakil Menag. Padahal Menteri Agama sebagai Amirul Haj Indonesia sedang berada di tanah suci Mekkah, mendengar sendiri dan menyaksikan sendiri ibadah haji di sana ?
Penulis juga hanya mengingatkan kepada seluruh kaum Muslimin di manapun berada, hendaknya mengikuti haji di tanah suci sebagai acuan pelaksanaaan ibadah terkait, termasuk puasa Arafah dan penentuan Hari Raya Idul Adha 1435 tahun ini.
Bagi Pemerintah RI melalui Kemenag, masih terbuka perubahan keputusan buatan manusia, demi tanggung jawab di hadapan Allah dan tanggung jawab di hadapan jutaan umat Muslim Indonesia khususnya. (T/P4/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Kemenangan Trump dan Harapan Komunitas Muslim Amerika