Oleh: DR. H. Ikhsan Abdullah, S.H., M.H., Wakil Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Hukum dan HAM
Sehubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 24/PUU/2022 yang telah diucapkan pada tanggal 31 Januari 2023, sikap MK ialah menolak keseluruhan permohonan pengesahan pernikahan beda agama sebagaimana Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 8 huruf f dan Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 tersebut.
Keputusan tersebut berdasarkan Undang Undang No. 1 Tahun 1974, yang menyatakan bahwa pernikahan yang sah adalah pernikahan yang sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
Mengingat Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 huruf (F) ini telah diuji sebanyak 9 kali yakni Putusan Nomor 30-74/PUU-XII/2014, Putusan Nomor 68/PUUXII/2014, Putusan Nomor 22.PUU-XV/2017, Putusan Nomor 69/PUUXIII/2015, Putusan Nomor 38/PUU-IX/2011, Putusan Nomor 33/PUUVIII/2010, Putusan Nomor 64/PUU-X/2012, Putusan Nomor 12/PUUV/2007, Putusan Nomor 40/PUU-XVII/2019, sikap MK tetaplah sama, yakni menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya, dan menyatakan Pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 UU No 1 tahun 1974 adalah Konstitusional.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Dalam putusannya, MK juga tidak menemukan adanya perubahan keadaan dan kondisi ataupun perkembangan baru terkait dengan persoalan konstitusionalitas keabsahan dan pencatatan perkawinan, sehingga tidak terdapat urgensi bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian Mahkamah pada putusan-putusan sebelumnya. Maka, norma di dalam ketentuan pasal tersebut menjadi semakin kuat.
Sayangnya, masih ada beberapa pihak yang berusaha mensiasati terjadinya pernikahan beda agama dengan dalih hak asasi manusia atau kebebasan berekspresi.
Sekalipun negara menjamin kemerdekaan bagi setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya, sebagaimana tertuang pada UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2, namun terdapat pembatasan sebagaimana diatur oleh UUD 1945 Pasal 28J Ayat 2 yang berbunyi, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Dalam memutuskan perkara ini, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menjalankan perannya sebagai The Guardian of Constitution atau Penjaga Konstitusi, dan sebagai Penafsir Tunggal atas Undang-Undang.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Kami berharap agar tidak ada warga negara yang melakukan penyelundupan hukum, dan melakukan penyelundupan agama untuk mensiasati pernikahan beda agama. Karena apabila masih tetap dilakukan, berarti telah sengaja melawan Undang-Undang dan Melanggar Hukum Agama.
Pandangan ini juga ditujukan bagi perorangan dan LSM yang selama ini memfasilitasi terselenggaranya pernikahan beda agama atas nama kebebasan individu dan HAM, agar berhenti sebagai fasilitator. Apabila terus dilakukan, maka akan berhadapan dengan para penegak hukum dan keadilan, di samping dengan semua tokoh dan pemuka agama di Indonesia.
Mengingat pandangan semua organisasi keagamaan baik, NU, Muhammadiyah, Kristen, Protestan, Budha, Hindu, dan Konghucu adalah sama, bahwa karena dalam pandangan agama apapun yang diakui di Indonesia, perkawinan berbeda agama tidak dapat dilakukan di Indonesia, karena sistem hukum yang berlaku telah mengatur mengenai perkawinan haruslah seagama (Vide Putusan MK No. 24/PUU/2022 hal 454).
Perkawinan yang sah dan resmi tercatat adalah perkawinan yang sesuai dengan agama dan kepercayaan.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Lantas, mereka yang melakukan pernikahan beda agama, apalagi memfasilitasi terjadinya pernikahan beda agama, itu sangat perlu dipertanyakan, umat siapakah dan tunduk pada hukum yang mana?
(AK/R1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang