Menyoal Sertifikasi Halal Sesuai UU JPH (Oleh: Dr. H. Ikhsan Abdullah, S.H., M.H.)

Oleh: Dr. H. Ikhsan Abdullah, S.H., M.H., Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch

Menjelang 17 Oktober 2019 saat dimulainya implementasi Undang-Undang No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan () yang sudah di depan mata, muncul berbagai pendapat dan informasi yang menimbulkan kesimpangsiuran di masyarakat khususnya di dunia usaha dan industri.

Sebagai contoh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dalam pernyataannya di berbagai pertemuan menyampaikan bahwa UU JPH akan diberlakukan secara bertahap, dimulai dari makanan dan minuman yang akan memberikan kesempatan 5 tahun hingga 10 tahun lagi kepada pelaku usaha untuk menyesuaikan ketentuan UU JPH yakni wajib , akan tetapi pendaftaran Sertifikasi halal tetap dilakukan oleh BPJPH mulai Oktober tahun ini juga.

Pihak Kementerian lain berpendapat bahwa BPJPH harus tetap dapat berfungsi sebagai lembaga sertifikasi halal yang menerima permohonan sertifikasi halal dengan keadaan apapun, artinya upaya ini akan dipaksakan dalam waktu satu setengah bulan menuju 17 Oktober 2019 dari saat ini.

Indonesia Halal Watch () berpandangan agar semua diharapkan berpijak pada UU JPH yang telah jelas mengatur dengan gamblang, bahwa semua produk yang beredar wajib bersertifikat halal, sebagaimana ketentuan Pasal 4 UU JPH.

Kewajiban bersertifikasi halal dimulai terhitung 5 tahun sejak di undangkannya UU JPH, artinya dengan mengacu pada kedua pasal tersebut di atas berarti pembuat undang-undang telah mengatur bahwa UU JPH ini harus berlaku efektif dimulai pada tanggal 17 Oktober 2019 dengan mengingat bahwa UU JPH diundangkan pada tanggal 17 Oktober 2014.

Apakah BPJPH dapat memberi tafsir sendiri mengenai pemberlakuan undang-undang dengan dalih melalui pentahapan pemberlakuan atas produk dengan menggunakan instrumen Peraturan Kementerian Agama (Permenag)?

Tentu tidak, karena ketentuan undang-undang bersifat lebih tinggi (superior) dibandingkan dengan derajat Permenag. Sehingga apa yang disampaikan Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin ketika menerima pengurus IHW dan berdiskusi secara informal mengenai bagaimana mengimplementasikan UU JPH, beliau menyampaikan bahwa apabila terjadi perbedaan pemahaman dalam menerapkan Undang-undang maka agar dikembalikan kepada ketentuan undang-undang, tidak membuat tafsir sendiri-sendiri.

Sejalan dengan pemikiran KH. Ma’ruf Amin, yang juga Wakil Presiden Terpilih sebagai maestro peletak dasar Sistem Jaminan Halal di Indonesia, maka diperlukan rembuk dan musyawarah semua stakeholder untuk bersama-sama ikut berperan serta bagaimana UU JPH dapat dilaksanakan dengan baik.

Selanjutnya beliau menyampaikan bahwa halal itu adalah hukum, batas yang halal dan yang haram sudah sangat jelas serta lembaga yang diberikan otoritas untuk menentukan kehalalan produk sudah jelas yakni Majelis Ulama Indonesia (MUI )melalui Komisi Fatwa MUI. Artinya BPJPH tidak akan dapat berjalan sendiri tanpa MUI, melainkan harus bekerjasama dengan baik dan harmonis, karena tanpa fatwa produk halal dari MUI, maka tidak pernah ada sertifikasi halal, yang berarti tidak ada produk halal yang bersertifikat.

Kondisi real saat ini sampai dengan tanggal 9 Agustus 2019, belum satupun terbentuk Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang mendapatkan akreditasi dari BPJPH dan MUI sebagaimana Pasal 13 UU JPH, bahwa keberadaan LPH harus di akreditasi oleh BPJPH dan MUI.

Selanjutnya untuk mendapatkan akreditasi, LPH wajib memiliki auditor halal minimal tiga orang Auditor halal.

Sebagaimana yang diketahui hingga saat ini belum ada satu pun auditor halal yang dilahirkan semasa BPJPH dibentuk (BPJPH dibentuk pada tanggal 14 Oktober 2017).

Auditor Halal yang ada saat ini berjumlah 1.061 orang yang telah bersertifikasi MUI dan merupakan auditor halal Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI yang tersebar di 34 LPPOM MUI Wilayah.

Untuk dapat menjalankan fungsi sebagai badan sertifikasi halal, BPJPH seyogyanya telah menyiapkan sistem pendaftaran, perwakilan BPJPH ditingkat provinsi, tarif sertifikasi halal disamping yang disebutkan di atas yakni auditor halal dan LPH.

Lalu bagaimana dengan persiapan BPJPH yang disebutkan di atas yang sampai hari ini belum satupun terpenuhi, dapat bertindak sebagai Badan Sertifikasi Halal yang akan menerima pendaftaran sertifikasi halal?

Keadaan ini tentu tidak dapat dipaksakan apapun alasan dan legal reason yang dibangun, karena akan dapat menimbulkan keadaan yang tidak menguntungkan bagi dunia usaha dan pemerintah, sebaliknya justru akan menimbulkan ketidakpastian bagi dunia usaha yang akan merugikan perekonomian nasional.

Sertifikasi halal itu sudah bukan lagi merupakan issue karena telah dijalankan dengan baik oleh LPPOM MUI selama 30 tahun, dengan memberikan keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat dengan mengonsumsi produk halal. Yang difokuskan saat ini adalah bagaimana kita memperoleh manfaat dari perdagangan produk halal tersebut bagi masyarakat dan pemerintah untuk mendongkrak devisa.

Bila kita masih terjebak pada bagaimana melakukan sertifikasi halal itu artinya kita mundur 30 tahun.(AK/R01/RS3)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.