Menyongsong Indonesia Berkemajuan

Oleh: Rendy Setiawan, Wartawan MINA

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dengan perjalanan sejarah yang panjang. Jauh sebelum zaman kolonialisme dan imperialisme, Indonesia yang merupakan negara kepulauan, telah memiliki corak kehidupan yang unik dan terpenting adalah mampu menjadi pemimpin di kawasan.

Hal ini bisa dibuktikan dengan kuatnya pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu, Budha di Indonesia pada awal abad ke-7 masehi hingga abad ke-14 masehi, dilanjutkan dengan pengaruh dari kerajaan- di akhir abad ke-13 masehi hingga awal abad ke-17 masehi.

Dalam beberapa catatan sejarah disebutkan, sejumlah kerajaan Islam di Indonesia bahkan berhasil menjalin hubungan kerja sama sistematis dengan Kekhilafahan Turki Utsmani yang dikenal sebagai salah satu kerajaan paling besar dan berpengaruh yang pernah berdiri di kawasan Timur Tengah.

Sejarah hebat tersebut tak lepas dari peran lini pertahanan yang digawangin para tentara dibangun secara kokoh. Tak bisa dipungkiri, selain memiliki tugas utama mempertahankan wilayah, tentara pada saat itu juga memiliki andil dalam menyebarkan pengaruh ideologi, budaya dan adat.

Lambat laun, percikan dari pergolakan besar yang terjadi di Eropa pada masa rennaisance berdampak hingga nusantara. Pertemuan antar dua budaya (Eropa dan Nusantara) ini kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan istilah masa kolonialisme dan imperialisme.

Kedatangan Bangsa Barat

Masyarakat Indonesia belum siap menerima budaya baru yang datang dari ujung Barat nan jauh. Alhasil, budaya asli Indonesia perlahan tergerus oleh budaya yang datang dari Eropa. Bagi bangsa Eropa, ini merupakan kemenangan awal sebelum menorehkan sejarah lebih panjang lagi di Indonesia.

Sejak kemenangan ini, bangsa Eropa mulai berduyun-duyun berlayar menuju wilayah Indonesia. Di masa-masa awal kedatangan, mereka mendapat sambutan hangat dari masyarakat Indonesia.

Selama beberapa waktu hidup berdampingan, bangsa Eropa mulai mengusik kehidupan penduduk pribumi. Kejadian ini terus berlangsung hingga 350 tahun lamanya. Masa inilah yang kemudian dikenal dengan masa kolonialisme dan imperialisme atau masa penjajahan di Indonesia.

Hampir mayoritas sejarawan Indonesia menuliskan di buku-buku mereka bahwa salah satu penyebab lamanya Indonesia dijajah bangsa Eropa adalah karena mereka tidak punya rasa persatuan. Perjuangan mereka bersifat parsial atau kedaerahan. Ini tak terlepas dari politik devide at impera atau politik pecah belah yang diterapkan bangsa Eropa.

Sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk keluar dari penjajahan ini memberikan pelajaran berharga untuk generasi penerus. Bahwa perjuangan tanpa persatuan, perjuangan tanpa kebersamaan, perjuangan tanpa gotong-royong tidak akan membawa keberhasilan apapun.

Arah perjuangan bangsa Indonesia nampak jelas usai adanya kesadaran untuk bersatu, kesadaran untuk berjuang bersama, dan adanya kesadaran memiliki tujuan dan cita-cita yang sama. Hal ini tertuang pada peristiwa Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.

Peristiwa-peristiwa ini saling berkaitan hingga Indonesia memperoleh kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Para founding father negeri ini sadar bahwa untuk menjaga keutuhan bangsa yang luas ini, maka dibutuhkan sebuah institusi untuk menjaganya.

Pada masa mempertahankan kemerdekaan, banyak rakyat Indonesia membentuk laskar-laskar perjuangan sendiri atau badan perjuangan rakyat. Usaha pemerintah Indonesia untuk menyempurnakan tentara kebangsaan terus berjalan, sambil bertempur dan berjuang untuk mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa.

Terbentuknya

Untuk mempersatukan dua kekuatan bersenjata yaitu TRI sebagai tentara regular dan badan-badan perjuangan rakyat, maka pada tanggal 3 Juni 1947, Bung Karno yang saat itu bertindak sebagai pucuk pimpinan negeri ini mengesahkan berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI) secara resmi.

Terbentuknya TNI ini menjadi angin segar bagi kalangan rakyat Indonesia. Hal ini disebabkan karena di awal-awal kemerdekaan Indonesia, bangsa Eropa belum rela melepaskan wilayah yang sebagaian besar berupa perairan ini, mereka terus berusaha ingin menguasai kembali.

Ketangguhan TNI di garda paling depan menjadi benteng kokoh yang mematahkan setiap upaya bangsa Eropa untuk merebut kembali Indonesia. Puncaknya adalah ketika Konferensi Meja Bundar atau dikenal dengan KMB di Den Haag, Belanda, tanggal 2 November 1949 menjadi titik akhir.

Sejarah panjang ini seharusnya menjadi pelecut bagi setiap elemen masyarakat untuk terus bersatu dalam mewujudkan , Indonesia yang disegani negara-negara lain, Indonesia yang tidak bisa diremehkan begitu saja, sehingga Indonesia bisa kembali menaungi wilayah-wilayah di sekitarnya.

Mengembalikan kebesaran dan kejayaan Indonesia bukan perkara mudah untuk dilakukan. Tokoh-tokoh republik ini berulang kali mencoba untuk membangun Indonesia yang maju dan gagah perkasa, namun selalu kandas di tengah jalan.

Diawali dari masa Orde Lama (Orla), hampir 20 tahun memimpin negeri ini, banyak menghadirkan tokoh-tokoh nasionalis yang loyal terhadap negerinya, banyak lahir pemikir-pemikir ulung dalam membangun negeri, namun semua sirna bersamaan dengan diberangusnya pemberontakan PKI pada 30 September 1965.

Kemudian di masa Orde Baru (Orba), genap 32 tahun memimpin negeri ini, banyak perubahan yang terjadi, pembangunan bergerak bebas di mana-mana, neraca keuangan menguat, namun akhirnya tumbang diterjang badai krisis ekonomi yang menghantam sebagian wilayah Asia termasuk Indonesia sejak tahun 1996.

Kemudian di masa Reformasi, setelah kejatuhan zaman Orba tahun 1998, masa ini mencoba memperbaiki setiap lubang yang masih lowong di zaman Orba dahulu, termasuk memperbaiki aturan kekebebasan berpendapat di muka umum, namun semua itu belum menghasilkan apa yang menjadi tujuan utama selama ini, yakni Indonesia berkemajuan.

TNI dan Rakyat

Kegagalan demi kegagalan dalam membangun Indonesia berkemajuan bisa jadi diakibatkan tidak adanya rasa saling menjaga antara rakyat dengan rakyat, antara rakyat dengan pemerintah, dan antara rakyat dengan TNI. Hal ini yang kemudian disadari oleh Jenderal TNI (purn) Gatot Nurmantyo betapa pentingnya membangun sinergitas rakyat dengan TNI.

Sang jenderal pun mempopulerkan slogan “Bersama Rakyat TNI Kuat” seolah ingin menggambarkan bahwa TNI tak memiliki taring tanpa adanya dukungan dari rakyat. Pun sebaliknya, rakyat tak akan bisa merasa aman tanpa penjagaan dari TNI. Slogan ini menjadi bukti soheh bahwa rakyat dan TNI ‘pernah’ memiliki hubungan tak harmonis.

Di era yang semakin berkembang, kecanggihan teknologi terus bermunculan, maka sudah seyogyanya rakyat dan TNI saling bergotong-royong, saling bersatu-padu sesuai amanat Pancasila bahwa bangsa ini besar karena elemen di dalamnya bahu-membahu saling berkerja sama.

Gatot Nurmantyo dalam bukunya “Berjuang dan Bergotong-Royong Mewujudkan Indonesia Sebagai Bangsa Pemenang” mengemukakan pendapatnya soal gotong-royong. Menurutnya, semangat gotong-royong adalah kearifan lokal bangsa Indonesia yang ada sejak nenek moyang.

Sang jenderal menambahkan, nilai-nilai kearifan lokal tersebut merupakan sifat asli bangsa Indonesia, namun telah diracun dan dikaburkan oleh kekuatan asing. Budaya kebersamaan luntur oleh budaya pragmatis transaksional. Semangat kebersmaan luntur menjadi sikap individualis dan apatis. Tantangan ini yang kemudian menghambat Indonesia berkemajuan.

Untuk mengembalikan jati diri bangsa, maka perlu dibangun sebuah instrumen di tengah masyarakat bahwa TNI berasal dari rakyat, sementara rakyat adalah main strengh atau kekuatan utama dari TNI seperti yang selama ini sudah digaungkan Gatot Nurmantyo semasa menjadi Panglima TNI. (A/R06/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rendi Setiawan

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.