Oleh : Yayan DNS
Pemerhati Politik dan Sejarah Islam.
SUNGGUH SANGAT menarik tentang akan diselenggarakannya apa yang mereka katakan sebagai “people’s tribunal” atau pengadilan rakyat tentang, Gerakan 30 September 1965 (Gestapu/PKI) pada 10-13 Nopember mendatang di Den Haag, Negeri Belanda. Kegiatan untuk membela Partai Komunis Indonesia (PKI). Berthema “Mengungkap kebenaran, mencari keadilan”. Sebelumnya telah digelar acara dengan tujuan sama pada 10 April yang lalu di sebuah gedung bekas gereja tua, Nieuwe Kerk, Den Haag, Belanda. Keduanya diselenggarakan oleh sebuah lembaga yang bernama International People’s Tribunal on 1965 Crimes Against Humanity in Indonesia.
Sebagai pemateri adalah orang orang ternama yang telah mempunyai reputasi internasional tentang Hak Asasi Manusia, seperti Prof Dr Saskia E Wieringa, Dr Johannes (Yan) Peter Pronk, Dr Gerry van Klinken, Dr Nursyahbani, SH dan Dr Todung Mulya Lubis, SH.
Dan dengan itu kesan yang akan ingin dibangun pada publik, adalah kegiatan ini berkualitas dan objektif. Seharusnya sebagai akademisi, tentu mereka tidak akan bisa didikte atau dipolitisir oleh kelompok tertentu. Atau sekurang-kurangnya itulah harapan kita, walau dalam hal ini banyak pihak yang meragukannya. Dengan alasan, bahwa kegiatan ini bukan untuk mencari kebenaran hakiki, tapi upaya politik konspirasi PKI untuk merehabilitasi citranya yang telah tercoreng dalam sejarah RI oleh dua kali kup berdarah yang dilakukannya, kala NKRI sedang menghadapi musuh :
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
- Menggantikan NKRI dengan Negara Federasi Soviet-RI versi PKI, yang dikenal sebagai Peristiwa Madiun pada 18-30 September 1948 dengan berorientasi kepada kepentingan Uni Soviet pada waktu itu, ketika NKRI sedang menghadapi agresi kolonial Belanda ;
- Gerakan 30 September 1965 (Gestapu) dengan berorientasi kepada kepentingantingan Republik Rakyat CIna (RRC), ketika Presiden Soekarno sedang menghadapi konfrontasi dengan Negara Malaysia yang dicurigainya sebagai Negara Boneka Inggris.
Menyoal Gestapu dan HAM
Lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) secara universal adalah milik semua ummat manusia dan bangsa. Diharapkan lembaga ini dapat melindungi HAM, tidak pandang bulu dan tidak dengan standar ganda. Tapi dalam konteks Gerakan 30 September 1965, lembaga-lembaga HAM sejak awal telah menunjukkan keberpihakannya, tidak netral lagi sebagai sebuah lembaga yang adil. Lembaga ini “sangat telajang bulat” membawa missi politik, bukan missi kemanusiaan.
Gerakan 30 September 1965 adalah gerakan makar berdarah yang sangat tidak manusiawi, itulah causa prima, (penyebab utama) timbulnya reaksi atas perbuatan itu (Hukum sebab dan akibat). Untuk apa dan siapa lembaga HAM menutup mata dan telinga dari fakta yang sesungguhnya terjadi ? Bukankah tema sentral dari kegiatan Den Haag adalah “Mengungkap kebenaran dan mencari keadilan” ? Menutup-nutupi terjadinya kudeta berdarah dan mem-blow-up eksesnya (penumpasannya) sebagai sebuah kejahatan, adalah menodai citra kemurnian akademis dari orang orang kenamaan yang menyandang sederetan titel yang menyilaukan orang awam. Bukankah “Para akhli” yang jadi pemateri itu seharusnya memiliki sportifitas akademis dengan konotasi berpihak kepada kebenaran, siapapun orangnya ? Sampai di sini penulis teringat akan sebuah do’a dari sepenggal do’a ashar shahabat : “ Ya Allah ya Tuhan kami, tunjukkanlah kepada kami, bahwa yang benar itu adalah benar dan berikanlah kepada kami kemampuan untuk mengamalkan kebenaran itu; dan tunjukkanlah kepada kami, bahwa yang salah itu adalah salah; dan berikanlah kepada kami kemampuan untuk menjauhinya”. (Do’a Ma’tsur).
Do’a itu menunjukkan kepada kita, bahwa benar dan salah harus didudukkan pada proporsinya, jangan dibolak-balik/dimanipulasi, walau secara rumus politis Machiavelisme, berdusta itu boleh boleh saja atau syah-syah saja, demi kepentingan strategi tertentu.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Sejarah panjang penyusupan PKI pada NII
- Soekarno – Kartosuwiryo, dua sahabat satu asuhan (guru).
- Sejarah yang tidak bisa dibantah adalah, kedua pemuda itu hidup bersama di satu rumah, bersama pengasuh/gurunya seorang ulama dan sekaligus perintis perjuangan kemerdekaan, H O S Tjokroaminoto, yang adalah pendiri SDI/Serikat Dagang Islam yang kemudian berkembang menjadi Partai Sarekat Islam. Dari gurunya inilah kedua sepasang sahabat karib ini belajar mencintai bangsanya yang masih dan sedang terjajah, dan harus bangkit menentang penjajahan kolonial Belanda.
- Perang Dunia ke 2
Di front Barat, Jerman menyerbu Polandia pada 3 September 1939. Serta merta Inggris dan Perancis mengumumkan pernyataan perang terhadap Jerman. Sedang di front Timur, Jepang membom pangkalan militer Amerika Serikat di Pasifik, Pearl Harbour, Hawai, 7 Desember 1941.
Pada tanggal 7 Mei 1945, terjadi peristiwa bersejarah, Jerman dan Italia menyerah kepada sekutu. Dengan itu berakhirlah Perang Dunia ke II di front Barat.
Di Front Timur, Amerika Serikat kewalahan merebut kantong kantong tentara Jepang di daerah pendudukan sehingga harus ditebus dengan puluhan ribu korban jiwa, sementara dalam waktu yang sama Rusia berasil merebut jantung jantung pertahanan Jepang antara lain Pulau Sakalin dan sebagian gugusan Pulau Kuril. Dengan alasan untuk mengurangi jumlah korban jiwa dari kedua belah pihak, maka perang harus segera ”diakhiri”. Pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, Amerika menjatuhkan bom atom di daerah padat penduduk, Hiroshima dan Nagasaki. Jepang-pun hancur luluh, menyerah; dan dengan itu Perang Dunia ke 2 di front Timur berahir.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Tepat delapan hari setelah Jepang menyerah pada sekutu, para pejuang kemerdekaan tidak menyia nyiakan kesempatan ini, entry point. Pada tanggal 17 Agustus 1945, Sukarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia.
Perjanjian Renville : 17 Januari 1948
Melalui aksi agresi militer, Belanda berniat untuk kembali menjajah Indonesia, yang kemudian dihentikan melalui perjanjian-perjanjian yang sangat merugikan Indonesia, antara lain Perjanjian Renvile.
Delegasi Indonesia pada perundingan itu dipimpin oleh Amir Sarifuddin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin Abdul Kadir Wijoyoatmojo. Keduanya kemudian diketahui adalah orang orang PKI yang dibina langsung oleh tokoh-tokoh ISDV (Indische Social Demokratische Vereneeging) : Sneevliet, Bransteder dan Drekker.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Isi Perjanjian Renville itu sangat merugikan perjuangan kemerdekaan Indonesia, yang antara lain berisi : Kedaulatan R.I secara de facto hanya meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Bukan lagi dari Sabang hingga Merauke..TNI harus ditarik dari kantong kantong perjuangan seperti Jawa Barat untuk dipindahkan ke ibu kota Indonesia, Yogyakarta dan sekitarya.
Atas Perjanjian Renvile tersebut, tokoh pejuang, Sekarmadji Kartosuwirjo menilai perjanjian tersebut sangat merugikan Indonesia. Ketua delegasi kedua fihak dalam perundingan tersebut adalah duet kader PKI. Menurutnya isi perjajian itu patut dicurigai ada hubungannya dengan prolog kepentingan strategis ideologis komunis yang saat itu masih terselubung. Itu akan nampak bila Perjanjian Renville dihubungkan dengan Pemberontakan PKI/Muso, 18 – 30 September 1948 di Madiun dan Pati yang memproklamasikan negara federasi ”Soviet-R.I versi PKI” dengan bendera Merah, bergambar Palu Arit warna Hitam. Maka Perjanjian Renville jelas adalah konspirasi politik antara Belanda dan PKI, sebagai prolog, proses pematangan menjelang pemberontakan PKI.
Dalam perkembangan berikutnya, SM Kartosuwiryo makin gusar dengan penangkapan Presiden dan Wakil Presiden, Bung Karno dan Bung Hatta dari Istana negara Republik Indonesia, Yogyakarta, dalam agresi militer Belanda kedua tanggal 19 Desember 1948. Kartosuwiryo menilai penangkapan ini merupakan rantai perencanaan untuk memperkuat posisi strategis konspirasi Belanda dan PKI. Masih untung sebelumnya Divisi Siliwangi sangat gesit menumpas PKI yang melancarkan kudeta di Madiun.
NII dimanfaatkan PKI sejak awal 1950
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Kepekaan dan keunggulan PKI dalam melihat momentum, entry point dan mengolah peluang dan celah bagi strategi perjuangannya, jauh lebih unggul dari pada lawan lawan politiknya, antara lain :
Proklamasi N.I.I, tanggal 7 Agustus 1949 yang pada hakekatnya adalah bentuk perlawanan terhadap Negara federasi ”Soviet-RI versi PKI/Muso, 18-30 Sertember 1948”, diolah sedemikian rupa, untuk mengalihkan perhatian TNI, dari mengejar pemberontakan PKI yang mengabdi kepada kepentingan negara asing, beralih perhatian menjadi mengejar N.I.I yang berpihak kepada bangsanya sendiri.
Siliwangi diracun PKI di Lakbok, Banjar
Awal Januari 1949 Divisi Siliwangi pulang hijrah dari Yogyakarta setelah menumpas pemberontakan PKI di Madiun dan Pati, diracuni ketika berada di Lakbok, Banjar. Tapi dibantah Jenderal TNI Leonardus Bernardus (Benny) Murdani pada tahun 1971, dengan mengatakan, bahwa berdasarkan arsip dokumen A.D, peracunan itu dilakukan oleh NII.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Penulis yakin, kalaupun apa yang disebut dengan ”dokumen” itu ada, dapat dipastikan sebagai hasil rekayasa dan manipulasi untuk menimbulkan fitnah, menanamkan rasa dendam dari Divisi Siliwangi yang mewakili TNI kepada kaum muslimin yang diindentikan dengan NII walau tersamar dalam bentuk indikatif. Dalam jangka panjang rekayasa pemutarbalikan fakta ini di-blow-up. Hal ini harus dianalisa dari kaca mata intelejen :
- Daerah Lakbok waktu itu, 1948-1966 adalah basis PKI yang kuat dan terjaga ketat;
- Sangat mustahil NII bisa masuk untuk meracuni TNI Siliwangi ;
- Awal Januari 1949, NII belum ada, baru ada 7 Agustus 1949 ;
- Jika pelaku peracunan itu kaum muslimin semata, bukan NII, itupun tidak masuk akal sehat. Mustahil kaum muslimin meracuni Siliwangi yang telahberjasa besar menumpas PKI-atheisme yang dinilai sebagai musuh semua ummat beragama ;
- Tidak sulit untuk diduga atau patut diduga, bahwa pelaku peracunan ituadalah PKI sebagai revanche (balas dendam) atas penumpasan Pemberontakkan PKI di Madiun dan Pati, 30 September 1948 oleh Siliwangi. ”Lempar batu sembunyi tangan”atau identik dengan ”maling teriak maling”.
Penyamaran 12 tahun sebagai NII, 1950-1962.
Ada pasukan PKI Muso yang memproklamasikan Negara federasi “Soviet-RI versi PKI”, yang lolos dari pengejaran TNI (Divisi Siliwangi) di Madiun dan Pati. Mulanya mereka terkonsentrasi di Banyumas, kemudian menyusup ke Jawa Barat. Hal ini terungkap dari keterangan Brigjen TNI Supardjo di sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) yang mengadili tokoh-tokoh Getapu/PKI 1965. Supardjo adalah seorang kader PKI yang menjadi Dan Rem Priangan Timur berkedudukan di Garut, pada tahun 1950. Dalam keterangannya itu, Supardjo mengungkapkan seterusnya, sisa-sisa pasukan PKI Madiun itu, melanjutkan gerakannya dengan kedok NII, padahak sebetulnya tidak bersatu secara organik dengan NII, tapi berada pada wilayah yang sama (Jawa Barat) dengan posisi LINGKARAN MERAH/RED CIRCLE teritorial terpola, desain genius ala Suparjo, sebagai berikut :
- Pada Ring 1 : Pemuda Rakyat (Ormas PKI), dengan nama samaran OKD (Organisasi Keamanan Desa) yang dipersenjatai, beradadi tengah tengah hunian rakyat, daerah Kota dan Kampung).
- Pada Ring 2 : Pasukan inti PKI di bawah komando Supardjo yang menyamar sebagai NII- SM Kartosuwirjo yang menyerang TNI dan menteror kaum muslimin, selama 12 tahun (1950-1962) dan tidak ada hari tanpa pembantaian. Jumlah rakyat dan anggota TNI yang menjadi korban teror PKI berkedok NII selama 12 tahun, lebih dari 1.000.000 jiwa, belum lagi jutaan korban luka luka, ribuan rumah rakyat dibakar, ratusan masjid hangus dilalap api. Namun aneh tapi nyata, pabrik pabrik aci milik orang orang Cina yang bertebaran di pinggir hutan dan kaki kaki gunung tidak pernah diganggu oleh “Gerombolan NII” yang ini, bahkan terjaga dan nyaman.
- Pada Ring 3 : NII- Kartosuwiryo yang berada di gunung gunung, tersekat dengan rakyat yang berada di Ring 1 oleh NII/PKI yang berada pada Ring 2 ;
Supardjo, salah seorang gembong Gerakan 30 September 1965
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Dalam persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub),14 Februari 1966, pengakuan sempurna tanpa ditanya dari Brigjen Supardjo dalam sidang membacakan eksepsinya, ia “bernyanyi dan bergumam tanpa sadar”, sebagai berikut:
“Bapak Hakim Ketua yang terhormat, saya tidak menyangkal tuduhan Saudara Oditur, bahwa saya telah mengirim pasukan bersenjata kepada Dewan Revolusi, tapi tujuan saya bukan untuk memperkuat Dewan Revolusi seperti yang dituduhkannya, melainkan hanya sekedar taktik strategi saja. Tujuan saya justru untuk menikamnya dari dalam, sebagaimana pernah saya lakukan pada NII dahulu, kan terbukti berhasil..!? ”, ujarnya dengan percaya diri. Pengakuan keterlibatannya menyusup ke dalam NII, tanpa ditanya, barangkali maksudnya supaya Ketua Majelis Hakim terbentuk logikanya, seperti apa yang diinginkannya. Namun dengan itu ia telah keseleo, terpeleset lidah, bahwa dengan pengakuan itu, justru terbongkar “rahasia besar lain” tentang usaha penyusupan PKI pada NII, tentang PKI yang tampil seolah-olah adalah NII, tentang latar belakang dirinya di masa lalu. Mungkin ini yang disebut dengan misteri peradilan yang kerap terjadi dalam dunia peradilan sepanjang sejarah manusia. Ada sabda dan do’a Nabi Muhammad sholallohu ‘Alaihi Wassalam: “ Ya Allah ya Tuhan kami, keluarkanlah dari dalam tenggorokannya (maksudnya, dari mulutnya), kalimat kalimat yang hak (maksudnya ucapan jujur dan sebenarnya). (HR. Abu Daud).
Gerakan 30 September 1965
Gerakan 30 September (Gestapu) / PKI segera membentuk Dewan Revolusi untuk menjalankan pemerintahan Republik Indonesia dengan mengambil alih kekuasaan (kudeta – coup det’at) dari pemerintah.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Yang makar ”Dewan Revolusi”, tapi yang dituding akan mengambil kekuasaan adalah ”Dewan Jenderal”, nama fiktif yang dibuat-buat, untuk dijadikan sasaran fitnah, buat mencari dalih dan pembenaran aksi ”Gerakan 30 September 1965” yang mereka lakukan.
Berbagai langkah dan aksi dilakukan PKI sebelumnya untuk memperkuat diri dan mematangkan situasi menuju kudeta kedua yang dilakukannya di negara ini. Termasuk menyusup ke dalam tubuh Angkatan Darat, Angkatan Udara, Kepolisian, bahkan dapat menguasai Badan Pusat Intelijen (BPI) yang sangat berpengaruh di bawah pimpinan yang dirangkap oleh Wakil Perdana Menteri I / Menteri Luar Negeri dr. Soebandrio.
Pada saat Gestapu dilancarkan, sasaran utama adalah penculikan dan pembunuhan jenderal-jendral pejabat teras TNI-AD secara sadis sampai dibuang ke dalam sumur tua di Lobang Buaya, Jakarta Timur.
Harus dikemukakan demikian banyak kalangan Islam yang menjadi korbannya termasuk kiyai, pemuda, bangunan pondok dan lain-lain. PKI banyak sekali melakukan aksi melanggar hak asasi manusia.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Dengan akan adanya “pengadilan rakyat” membela PKI di Den Haag, perlu dipertanyakan mengapa bukan PKI itu sendiri yang diadili ?
Aksi-aksi PKI telah menelan jutaan korban jutaan manusia. Bukankah yang dilakukan PKI adalahpelanggaran berat terhadap HAM ? Jangan hanya diangkat masalah reaksi atas apa yang dilakukan terhadap aksi yang dilakukan PKI. Jatuhnya banyak korban di kalangan PKI adalah dalam rangka menumpas kudeta dan perlawanan yang dilakukan PKI terhadap pemerintah yang syah.
Mengapa bungkam terhadap fakta ini ? Telah lama dunia meragukan netralitas dan obyektivitas lembaga-lembaga yang mengatasnamakan Hak Asasi Manusia. Fihak Islam adalah salah satu yang selalu jadi sasarannya. Standar ganda menjadi salah satu ciri utama lembaga-lembaga mengatasnamakan HAM. (Yayan/P2).
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa