Menyusuri Jejak Kesultanan Turki Utsmani

Istana Topkapi menjadi simbol kejayaan Turki Utsmani.

Oleh: Rendi Setiawan, Wartawan MINA

Esok adalah hari yang sangat bersejarah. Hampir seabad lamanya Imperium Utsmani hilang dari peta dunia. Tepat 3 Maret 1924, kesultanan yang sudah berdiri sejak akhir abad 12 Masehi itu bubar setelah mengakui kekalahannya dalam Perang Dunia I atas pasukan Sekutu di Eropa.

adalah sebuah kekaisaran Islam lintas benua yang didirikan oleh suku-suku Turki di bawah pimpinan Osman Bey di barat laut Anatolia pada 1299 Masehi. Turki Utsmani lahir di tengah dunia Islam yang sedang dalam kondisi tidak menentu, terlebih setelah Perang Salib berkepanjangan yang menghancurkan itu dan mundurnya Kesultanan Seljuk.

Di awal-awal perkembangannya, Osman Bey sebagai pemimpin tertinggi meluaskan pengaruhnya di wilayah Asia Kecil. Sang Sultan mengirim surat kepada mereka untuk memilih tiga pilihan, yakni tunduk dan memeluk agama Islam, membayar jizyah, atau diperangi. Banyak di antara mereka yang memilih untuk tunduk dan memeluk agama Islam, sebagian yang lain mau membayar jizyah.

Tetapi tidak sedikit pula yang menentang dan bersekutu dengan Tartar untuk melawannya. Sultan Osman bersama dengan anaknya Orkhan menyerang wilayah barat Byzantium hingga ke selat Bosphorus. Osman juga memindahkan ibu kota kerajaan dari Qurah Hisyar/Iskisyihar ke Bursa.

Perkembangan pesat Turki Utsmani di awal abad ke 13 masehi, mendapat pengakuan dari para pembesar Seljuk dan kaum muslimin. Mereka kemudian bersatu menghadapi kekejaman Mongol yang sewenang-wenang setelah berhasil melenyapkan Dinasti Abbasiyah beberapa puluh tahun sebelumnya di Baghdad.

Untuk mengokohkan eksistensinya sebagai satu-satunya kesultanan Islam yang cukup kuat saat itu, Turki Utsmani membentuk pasukan Janissari Inkisyariyyah yang dibina sejak kecil dan diarahkan serta dibimbing agar masuk islam. Mereka juga diasramakan dalam lingkungan dan suasana Islam. Masyarakat digolongkan sesuai dengan agama, sehingga fatwa ulama menjadi hukum yang berlaku.

Jatuhnya

Turki Utsmani  menjelma menjadi kekuatan yang sangat diperhitungkan dunia setelah berhasil membebaskan kota Konstantinopel dari tentara Romawi pada 1453 masehi. Dunia terperanjat, tidak ada satu pun yang menyangka kota dengan pertahanan paling kuat saat itu bisa runtuh. Gereja lalu menyerukan persatuan gereja-gereja di Eropa untuk membalas kekalahannya di Konstantinopel.

Adalah Sultan Mehmed II atau Muhammad Al-Fatih yang telah berhasil melakukan pembebasan itu. Dengan peralatan yang tiada pernah ditemukan sebelumnya, strategi militer yang mumpuni, kota Konstantinopel bisa jatuh ke tangah panglima berusia 25 tahun itu hanya dalam beberapa bulan saja.

Sultan Mehmed II sukses memasuki wilayah Konstantinopel dengan membawa serta kapal-kapal mereka melalui perbukitan Galata, untuk memasuki titik terlemah Konstantinopel, yaitu Selat Golden Horn. Ketika itu, Sultan Mehmed II beserta ribuan tentaranya menarik kapal-kapal mereka melalui darat.

Meski ada tentaranya yang mengatakan kemustahilan untuk melakukan startegi tersebut. Namun, Mehmed II tidak gentar. Dia dengan tegas mengatakan kepada seluruh tentaranya untuk bergegas dan melaksanakan strategi tersebut.

Tujuh puluh kapal diseberangkan melalui bukit hanya dalam satu malam, saking hebatnya Sastrawan Yoilmaz Oztuna berkata,

“Tidaklah kami pernah melihat atau mendengar hal ajaib seperti ini, Mehmed II telah menukar darat menjadi lautan dan melayarkan kapalnya di puncak gunung. Bahkan usahanya ini mengungguli apa yang pernah diilakukan oleh Alexander yang Agung.”

Sultan Mehmed II menjadi jawaban dari kabar gembira Rasulullah yang tertera pada hadisnya. “Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” (HR Ahmad dalam Al Musnad).

Setelah kejatuhan Konstantinopel, serbuan propaganda orang-orang Eropa yang menggambarkan Utsmani sebagai kaum kafir yang barbar, distimulasi oleh para diplomat dan pedagang, begitu juga seniman, yang melakukan perjalanan ke Konstantinopel dan menyaksikan kebudayaan Turki secara langsung. Propaganda jahat itulah yang terus dilakukan terhadap Islam hingga sekarang.

Dari sudut pandang para penguasa Eropa, kejatuhan Konstantinopel merupakan malapetaka bagi negara-negara Kristen. Bagi mereka, keseimbangan kekuasaan di dunia telah berubah untuk selamanya. Hampir selama tiga dekade kemudian, Utsmani memukul lebih dalam di Eropa, menyerbu kota Otranto di sebelah selatan Italia.

Pada 1529 masehi, bala tentara Utsmani yang dipimpin oleh Sultan Sulaiman, berada di luar tembok-tembok Wina. Menurut Haydn Williams, penulis ‘Turquerie: An Eighteenth-Century European Fantasy’, Eropa Barat jatuh ke dalam ‘keadaan syok’.

Bahkan, reputasi disiplin tentara Utsmani tumbuh begitu besar sampai-sampai kekuatan dunia Islam itu menginspirasi sebuah istilah baru di antara negara-negara Eropa yang ketakutan sebagai ‘bahaya Turki’ atau ‘Turkengefahr’ sebagaimana orang Jerman mengatakannya.

Beberapa abad setelah euforia kebahagiaan itu, Turki Utsmani layaknya kesultanan-kesultanan lain yang memiliki periode perkembangan, kemajuan, dan kemunduran. Pun demikian dengan Turki Utsmani mengalami fase tersebut. Pada awal abad ke 18 masehi, para penerus Turki Utsmani kewalahan memantau wilayahnya yang semakin luas dan besar.

Konstitusi Utsmani

Pada pertengahan 1876 masehi, untuk pertama kalinya Utsmani mengumumkan adanya pembentukan Konstitusi Utsmani. Konstitusi yang hanya berjalan beberapa bulan ini diinisiasi oleh Kelompok Turki Muda, berkiblat pada sistem kepemerintahan yang banyak dianut negara-negara Barat saat itu.

Menurut Sejarawan William L. Cleveland, beberapa anggota Kelompok Turki Muda menyimpulkan rahasia kesuksesan Eropa bukan hanya terletak pada pencapaian teknis tetapi juga pada organisasi politiknya. Mereka berpandangan bahwa konstitusi berperan sebagai fungsi pemeriksaan atas otokrasi dan memberikan kesempatan untuk mengubah kebijakan.

Sultan Abdul Hamid II yang saat itu baru saja menerima mandat sebagai pucuk pimpinan Utsmani berjanji akan menegakkan konstitusi tersebut. Tak sampai setahun berselang pandangan Sultan Abdul Hamid II mengenai Konstitusi Utsmani berubah 180 derajat, dari yang awalnya mendukung menjadi menolak.

Tahun 1877 masehi, Sultan Abdul Hamid II memberanikan diri untuk membekukkan Konstitusi Utsmani hingga waktu yang belum ditentukan, meski dia mengetahui risiko yang akan dihadapi. Kenekatannya dilatarbelakangi akibat munculnya beberapa pemberontakan di wilayah perbatasan dan perseteruan dengan Kekaisaran Rusia yang ingin memperluas pengaruhnya hingga Laut Hitam.

Perseteruan itu diawali dari keinginan orang-orang ultra-nasionalis di wilayah Balkan untuk merdeka dari Utsmani. Kegaduhan antara Istanbul dengan sejumlah pihak di Balkan membuka peluang Kekaisaran Rusia masuk di dalamnya. Sultan Abdul Hamid II berpandangan bahwa Konstitusi Utsmani hanya akan membuat wilayah Utsmani semakin terkikis.

Menurut Eugene Rogan penulis buku ‘The Fall of the Khilafah’, ikut campurnya Kekaisaran Rusia didasari oleh pandangan bahwa mereka adalah penerus Byzantium dan pemimpin spiritual gereja Ortodoks Timur. Dengan situasi itu, tamatlah riwayat konstitusi yang dikenal sebagai Konstitusi Utsmani 1876 itu.

Perjanjian Berlin

Pada 24 April 1877, Kekaisaran Rusia mendeklarasikan perang terhadap Utsmani. Di tahun yang sama, Rusia yang dibantu Austria-Hongaria dan sejumlah negara di wilayah Balkan berhasil mengepung Istanbul. Gerak cepat Rusia tidak bisa diimbangi Utsmani yang saat itu sedang mengalami konflik horizontal.

Pada Juni 1878, delegasi Utsmani terbang ke Berlin, Jerman, untuk menghadiri Kongres Berlin. Menurut Rogan, pertemuan itu dihadiri oleh sejumlah delegasi dari negara Eropa seperti Inggris, Perancis, Austria-Hongaria hingga Italia untuk membahas perseteruan Istanbul-Krimea dalam setahun terakhir.

Pertemuan di Berlin itu kemudian menghasilkan apa yang dinamakan Perjanjian Berlin. Sebagai buntut kekalahan atas Pasukan Tsar Rusia, Utsmani menderita kerugian teritorial yang sangat besar. Utsmani harus merelakan dua per lima dari wilayahnya dan seperlima penduduknya di Balkan dan Anatolia Timur lepas.

Utsmani juga kehilangan sejumlah wilayah lain yang dicaplok beberapa negara Eropa. Selain daerah yang diserahkan dalam Perjanjian Berlin, Inggris memperoleh Siprus dan Mesir tahun 1882 masehi. Sementara Perancis mencaplok Tunisia pada 1881 masehi.

Setelah Perjanjian Berlin yang merugikan, Sultan Abdul Hamid II tidak lagi mau mendengar adanya seruan dan suara-suara sumbang mengenai konstitusi, termasuk kritikan terhadap sang Sultan. Siapa saja yang tidak mematuhinya, akan segera ditangkap. Sikap itulah yang kemudian dijadikan oleh Kelompok Turki Muda sebagai sikap Hamidian Absolutism.

Perang Dunia I

Antara tahun 1908 dan 1913, Utsmani menghadapi ancaman internal dan eksternal yang sangat berat. Salah satunya adalah suara untuk kembali kepada aturan Konstitusi Utsmani 1876, diiniasiasi oleh kelompok yang mengatasnamakan dirinya sebagai Komite Persatuan dan Kemajuan Turki (CUP).

Pada 3 Juli 1908, anggota CUP dari militer, Ajudan Mayor Ahmed Niyazi, memimpin 200 tentara bersenjata lengkap dan warga sipil pendukungnya untuk mengobarkan revolusi. Mereka menuntut Sultan Abdul Hamid II mengembalikan Konstitusi 1876 dan menghidupkan Parlemen Utsmani.

Upaya yang kemudian dinamai Revolusi Turki Muda ini berhasil. Sultan Abdul Hamid II mengabulkan tuntutan mereka

Revolusi tak menyudahi persoalan di dalam negeri. Kondisi di luar pun dipenuhi hiruk-pikuk peperangan. Rusia bergabung dengan Inggris dan Perancis membentuk persekutuan yang dikenal sebagai Sekutu. Jerman yang saat itu berperang dengan Sekutu mengajak Utsmani yang memang masih punya masalah dengan tiga kekuatan itu.

Utsmani masuk dalam pusaran perang besar pada November 1914. Sejarah kemudian mencatat, keputusan inilah yang menjadi antiklimaks Utsmani. Sempat menang di Galipolli berkat seorang perwira bernama Mustafa Kemal, Utsmani tak kuasa menerima kekalahan demi kekalahan. Bersama Jerman, Utsmani pun menjadi pecundang dalam perang besar selama empat tahun tersebut.

Rogan berpendapat, kekalahan Utsmani itu merupakan bencana besar bagi kekhalifahan. Bukan berarti Utsmani tak pernah kalah. Sejak 1699 masehi, Utsmani berperang dan mereka kerap kalah. Tapi, kekhilafahan masih bisa berdiri tegak. Menurut Rogan, kondisinya sangat berbeda setelah Perang Dunia 1.

Perjanjian Sevres

Sekali lagi, Utsmani dipaksa menerima kenyataan. Mereka tak punya pilihan lain kecuali bekerja sama dengan pemenang perang. Mereka mesti menyepakati Perjanjian Sevres, meskipun isinya memberatkan seperti pembagian wilayah oleh Eropa. Namun, Gerakan Nasional Turki yang dipimpin Mustafa Kemal mengakui bahwa Utsmani tak mungkin mengembalikan wilayah yang sudah lepas.

Perjanjian Sevres ditandangani Sekutu pada Selasa 10 Agustus 1920 di Paris, Perancis, setelah melalui 15 bulan perencanaan. Perjanjian ini dirancang untuk semakin melemahkan kekuatan Utsmani melalui sanksi-sanksi berat di dalamnya. Italia, Inggris, dan Perancis menandatanganinya atas nama Sekutu yang menang.

Salah satu poin penting dari perjanjian itu adalah pembagian wilayah Utsmani di Timur Tengah. Perancis mengambil alih Lebanon, Suriah dan wilayah di Anatolia bagian selatan. Sementara Inggris mengambil alih Palestina dan Irak. Ketentuan pembagian ini telah diputuskan dalam sebuah perjanjian rahasia bernama Sykes-Picot pada 1918 masehi antara Inggris dan Perancis yang disetujui oleh Kerajaan Rusia.

Nama Sykes-Picot diambil dari nama masing-masing delegasi, yakni: Sir Mark Sykes dari Inggris dan François Georges-Picot dari Perancis.

Sementara itu, Yunani yang aktif dalam perlawanan terhadap Utsmani diberi kendali atas Smirna, meskipun secara teknis tetap berada dalam Utsmani. Namun, orang-orang Smirna diberi pilihan referendum mengenai apakah mereka ingin tetap menjadi bagian Utsmani atau bergabung dengan Yunani.

Sementara Italia diberi Kepulauan Dodecanese serta pengaruh di wilayah pesisir Anatolia.

Perjanjian itu membuat Selat Dardanelles menjadi perairan internasional dan melucuti kekuasaan Utsmani atasnya. Selain itu, beberapa pelabuhan dekat Istanbul berubah menjadi zona bebas internasional yang bebas dilalui. Secara teritorial ini merupakan kerugian besar bagi sebuah negara.

Perjanjian Sevres bertujuan mengamankan kepentingan Sekutu di Timur Tengah. Selain itu, Sekutu juga memperoleh sumber daya minyak yang belum lama ditemukan di daerah itu. Perjanjian Sevres juga mengakui daerah-daerah tertentu sebagai negara berdaulat yang independen, di antaranya Kerajaan Hijaz dan Armenia.

Ketentuan dalam Perjanjian Sevres ditentang oleh salah satu anggota Revolusi Turki Muda, Mustafa Kemal. Menurut Kemal, Perjanjian Sevres sangat memberatkan rakyat Turki bukan pemimpin-pemimpin Utsmani.

Tahun 1922, Kemal membawa pasukannya dalam tiga pertempuran melawan Armenia, Perancis, dan Yunani. Ia memenangkan ketiga pertempuran itu dan dianggap pahlawan bergelar ‘Ataturk’. Ia berhasil menguasai politik dalam negeri. Setelah kemenangan itu, Turki memaksa Sekutu untuk mengembalikan wilayah-wilayah Turki yang direbut selama Perang Dunia I.

Pada 3 Maret 1924, Kemal bersama Grand National Assembly (Majelis Agung Nasional Turki), mengakhiri riwayat perjalanan panjang nan mengagumkan Turki Utsmani. (A/R2/RS2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.