Menyusuri Jejak Masjid Tertua di Kota Pontianak (Oleh: Rendi Setiawan)

Pemandangan pesisir Sungai Kapuas memang indah. Sungai yang membelah Kalimantan Barat ini panjangnya mencapai 1.143 kilometer, dan menjadi sungai terpanjang di Kalimantan, bahkan Indonesia. Hulu Sungai Kapuas berada di Pegunungan Muller dan hilirnya di Selat Karimata yang berseberangan dengan Pulau Sumatera. Sungai ini menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat di sekitarnya. Tak heran banyak bangunan penting yang dibangun di pinggiran sungai.

Salah satu bangunan yang cukup megah dan dibangun di pinggiran Sungai Kapuas adalah Masjid Jami Sultan Syarif Abdurrahman. Nama masjid ini sangat populer di kalangan masyarakat Kota . Jarang dijumpai warga setempat yang tidak mengetahui keberadaan masjid berumur ratusan tahun ini, sebab masjid tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari berdirinya Kota Pontianak itu sendiri.

Dalam sebuah monumen yang dibangun di depan Masjid Sultan Syarif Abdurrahman tercatat bahwa pendiri masjid ini sekaligus pendiri Kota Pontianak. Dia bernama Syarif Abdurrahman Al Kadrie (w. 1808 m), seorang keturunan Arab, putra Habib Husein, penyebar agama Islam di Jawa.

Dikisahkan bahwa Syarif Abdurrahman melakukan perjalanan dari Mempawah dengan menyusuri Sungai Kapuas. Ikut dalam rombongannya beberapa saudara dan sejumlah orang dengan menggunakan 14 perahu kayu. Mereka tiba di persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak pada Rabu, 23 Oktober 1771 M atau bertepatan dengan 14 Rajab 1185 H dan mendirikan Masjid Jami Sultan Syarif Abdurrahman.

Nama masjid ini diberikan oleh Syarif Usman yang merupakan putra dari Syarif Abdurrahman sekaligus sultan ke-3 dari Kesultanan Kadriah dan meneruskan pembangunan masjid hingga selesai. Pemberian nama masjid ini bertujuan untuk mengenang jasa-jasa sang Ayah.

Untuk dapat menginjakkan kaki di masjid ini, pengunjung memiliki dua opsi. Opsi pertama, menempuh jalur laut menggunakan sampan maupun kapal cepat. Opsi kedua, melalui darat menggunakan bus atau kendaraan pribadi melewati Jembatan Kapuas.

Sepanjang jalan menuju masjid ini, banyak didapati orang-orang ramai melakukan jual beli dengan beragam barang. Jalan masuk ke Masjid Jami Sultan Syarif Abdurrahman tidak seluas jalan utama di Kota Pontianak, hanya cukup untuk persimpangan dua kendaran dari berlawanan arah. Sementara kedua pinggir bahu jalan penuh dengan orang-orang lalu lalang. Wilayah ini padat penduduk.

Tidak sampai 10 menit dari jalur utama, pengunjung akan mendapati persimpangan jalan dengan dua tujuan berbeda. Jalan yang mengarah ke sisi kiri berarti menuju . Sementara jalan yang mengarah ke sisi kanan berarti menuju pasar ikan, dilanjutkan dengan jembatan kayu mengarah ke Masjid Jami Sultan Syarif Abdurrahman.

Menurut penuturan Kepala Seksi Bimas Islam Kankemenag Kota Pontianak, Muslimin, Masjid Jami Sultan Syarif Abdurrahman selalu ramai dikunjungi. Tidak hanya wisatawan lokal, bahkan juga wisatawan dari mancanegara. Biasanya, mereka datang tidak hanya ke masjid, tapi juga ke Istana Kadriah yang jaraknya tidak terlalu jauh.

Arsitektur Masjid

Masjid yang 90 persennya dibangun menggunakan kayu ini memiliki arsitektur yang unik. Terdapat enam tiang pancang yang terbuat dari kayu belian dengan ukuran diameter yang besar dan kokoh. Dua pelukan tangan orang dewasa tak akan mampu mencapai lingkaran pilar. Jendelanya yang berjejeran dengan pintu masuk, berukuran besar-besar, juga dari kaca tembus pandang. Ada pula kaca yang berwarna merah dan kuning.

Yang menarik perhatian tentu saja enam pilar utama, di mana sejak berdiri masjid ini hingga sekarang, tiang-tiang itu belum pernah diganti. Masjid yang mampu menampung sekitar 1.500 jemaah ini juga memiliki letak yang berbeda dengan masjid-masjid pada umumnya.

Pada sisi kiri pintu masuk masjid, terdapat pasar ikan tradisional. Sementara di bagian belakang masjid merupakan permukiman padat penduduk Kampung Beting, Kelurahan Dalam Bugis. Pada bagian depan masjid, yang menghadap ke selatan terbentang pemandangan indah Sungai Kapuas.

Sama seperti masjid pada umumnya, masjid ini juga memiliki mihrab yang di dalamnya terdapat mimbar yang cukup unik. Sekilas bentuk mimbar mirip seperti geladak kapal. Bentuk langit-langit mihrabnya dibuat dari papan. Atap ini berbentuk prisma segi enam dibuat dari sirap, kayu belian yang dipotong tipis-tipis, berwarna coklat dan di atasnya terdapat hiasan berupa ornamen berbentuk seperti sebuah botol berwarna hijau.

Masjid ini memiliki serambi di tiga sisinya. Di bagian utara dan selatan, serambi masjid ini memiliki panjang 33 meter dengan lebar 2 meter. Di bagian timur, ukuran panjangannya adalah 27 meter dengan lebar 2 meter. Setiap sisi serambi terdapat pagar dengan tinggi 80 cm. Terdapat 26 tiang di bagian serambi ini yang memiliki fungsi untuk menopang bagian atapnya.

Di bagian atapnya yang semula terbuat dari rumbia, kini menggunakan sirap. Atap masjid ini memiliki tingkat empat, pada tingkat kedua, terdapat jendela-jendela kaca berukuran kecil. Sementara di bagian paling atas, atapnya mirip kuncup bunga atau stupa.

Sebagai masjid yang melintasi zaman, tentu telah banyak menyaksikan orang-orang yang mengajarkan ilmu agama. Beberapa ulama terkenal pernah mengajarkan agama Islam di masjid ini, antara lain: Muhammad Al Kadrie, Habib Abdullah Zawawi, Syekh Zawawi, Syekh Madani, H. Ismail Jabbar, dan H. Ismail Kelantan. (A/R2/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rendi Setiawan

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.