Menyusuri Kampung Pelangi Taichung yang Memikat Hati (catatan perjalanan wisata ke Taiwan)

oleh: Widi Kusnadi, Wartawan MINA di Taipe.

“Lets go, came on guys, high speed rail has arrived and soon depart to (Ayo kita berangkat. Kereta cepat sudah sampai dan segera berangkat ke Taichung)”, suara tourguide (pemandu wisata) itu mengagetkan lamunanku. Segera aku berkemas masuk ke kereta cepat yang sudah berhenti dan segera menuju kota Taichung yang berjarak 164 km dari Taipei.

Kami menuju salah satu destinasi wisata premium di yakni .

Pagi itu, meski udara dingin menusuk pori-pori kulit, dengan semangat bak pejuang kemerdekaan, aku persiapkan diri sebaik mungkin mengikuti arahan Pak Luke Lu, tourguide kami. . Dalam hati aku masih terkagum-kagum dengan keindahan dan kemajuan transportasi kota Taipei. Maklum baru pertama kali ini aku ke Taiwan, meski beberapa teman dan kerabat bercerita tentangnya karena sudah beberapa tahun berada di negara Taiwan (menjadi TKI).

Kedatanganku ke Taiwan ini sebagai wartawan yang diundang Kementerian Pariwisata Taiwan untuk berkunjung dan meliput beberapa obyek wisata di sana. Mereka ingin mendatangkan wisatawan mancanegara sebanyak mungkin untuk promosi negara itu dan meraup devisa negara, terutama dari Indonesia yang banyak penduduknya suka bertamasya. Di situlah enaknya menjadi wartawan, bisa Fantasyiru fil ardh (bertamasya=red) gratis, dengan fasilitas yang baik, tentu saja untuk memperhatikan dan merenungkan ayat-ayat Allah Yang Mahakuasa.

Well, kembali ke laptop, perjalananku kali ini dari kota Taipei menuju Taichung hanya ditempuh sekitar 40 menit saja dengan kereta cepat itu (kecepatan 280 km/jam). Kota Taichung terletak di tengah-tengah negara Taiwan, di wilayah pegunungan (dataran tinggi) sehingga udaranya lebih dingin (180 di siang dan 20 di malam hari) daripada Taipei yang berada di bibir pantai utara Taiwan.

Segera setelah tiba, Pak Luke Lu, pemandu wisata mengangkut kami menuju sebuah kampung yang mereka sebut dengan Kampung Pelangi (Rainbow village), berada di distrik Nantun, Taichung.

Kampung Para Veteran

Setelah 30 menit perjalanan dari stasiun Taichung, tibalah kami di sebuah kampung yang penuh warna, hingar bingar dengan kombinasi warna tembok rumah serta halamannya yang cemplorot (istilah jawa) memikat mata pengunjung sebagai dampak pantulan terangnya sinar matahari.

Selama kunjungan itu, Pak Luke menjelaskan dengan gamblang, mengapa dan bagaimana sejarahnya kampung itu bisa ada. Ternyata, kampung itu tidak lepas dari sejarah panjang para veteran perang Cina yang melarikan diri dari negaranya ke Taiwan karena kalah dalam perebutan kekuasaan.

Pada 1949, Partai Kuomintang (Cina) mengalami kelakalahan perang malawan rezim Mao Ze-dong. Karena khawatir akan pembantaian, para pimpinan partai itu bersama dengan dua juta tentara dan keluarganya bermigrasi dari Guang Zu menuju ke Taiwan.

Oleh pemerintah yang berkuasa saat itu, mereka diizinkan tinggal, maka para pengungsi membangun rumah-rumah kecil untuk tinggal sementara. Ada puluhan ribu rumah dibangun untuk menampung jutaan pengungsi itu.

Setelah bertahun-tahun mereka tinggal di kota itu, beranak pinak dan mencari nafkah di Taichung, pada tahun 2000 pemerintah Taiwan mengeluarkan kebijakan untuk membongkar perumahan mereka dan akan dibangun apartemen yang lebih layak huni.

Karena memang status tanah itu adalah milik negara, maka mereka merelakan rumahnya dibongkar dengan catatan pemerintah memberi diskon 40 persen kepada pemilik rumah apabila mereka ingin membeli apartemen yang telah dibangun. Harga apartemen berkisar 30 juta dolar Taiwan (sekitar Rp.1,5 miliar).

Adalah seorang kakek tua bernama Huang Yun-fu, yang tidak ingin rumahnya dibongkar. Ia kemudian membeli banyak cat dan melukis rumah dan halamannya dengan lukisan burung, pelangi dan panorama yang indah. Selain sebagai bekas tentara, hobi Pak Huang ini adalah melukis. Ia ingin menyalurkan bakat melukisnya sebelum rumahnya bongkar.

Sebelum tiba saat pembongkaran, Pak Huang menyampaikan proposal kepada pemerintah setempat kiranya rumah yang telah diberi gambar warna-warni itu tidak dibongkar, tetapi agar tersisa sedikit bangunan digunakan sebagai monumen peninggalan sejarah.

Atas ide kreatifnya itu, pemerintah mengabulkan permohonannya dan sebelas rumah yang telah diwarnai itu tidak dibongkar, sementara puluhan ribu rumah lainnya diratakan dengan tanah. Pak Huang pun diberi izin untuk tetap tinggal di rumahnya selama ia masih hidup.

Pada tahun 2008, beberapa mahasiswa dari Ling Tung University (terletak di kota Taichung) berinisiatif menggalang dana untuk membantu memugar rumah Pak Huan agar bisa dijadikan obyek wisata. Rupanya ide itu mendapat sambutan positif dari masyarakat Taiwan. Mereka memberikan donasi untuk menjadikan rumah Pak Huan dan sekitarnya sebagai tempat bersejarah sekaligus obyek wisata. Dengaan dana yang terkumpul, jadilah rumah Pak Huan menjadi obyek wisata dengan nama Rainbow Village (Kampung Pelangi). Di atas kawasan  cukup kecil (sekitar setengah hektar).

Namun antusias pengunjung sangat tinggi. Berdasarkan data dari kementerian pariwisata Taiwan tercatat, sedikitnya satu juta kunjungan wisatawan (baik dari dalam dan luar negeri Taiwan) di Kampung Pelangi itu.  Masyarakat sekitar pun merasakan manfaat dengan berjualan berbagai makanan dan aksesoris di tempat itu.

Subhanallah, ternyata, seorang yang kreatif itu tidak hanya memberi manfaat bagi dirinya sendiri, tapi juga bagi orang lain, masyarakat sekitar. Meski sudah usia senja, Pak Huang tetap memberi kontribusi positif kepada negara dan masyarakat sekitanya dari ide kecil, mengecat rumah dan jadilah saat ini menjadi Kampung Pelangi yang indah menawan hati.

Sedikit catatan, kami belum menemukan makanan halal dan tempat ibadah (mushala) di tempat itu dan sekitarnya.  Semoga Kementerian Pariwisata Taiwan, khususnya pengurus Kampung Pelangi memberi fasilitas ramah Muslim di tempat itu. (L/P2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)