MER-C Harap RS Indonesia di Myanmar Jadi Simbol Perdamaian

Jakarta, MINA – Pembangunan Rumah Sakit (RS) Indonesia di , Mymanmar sudah memasuki tahap akhir. Rumah sakit yang diinisasi oleh lembaga kemanusiaan Medical Emergency Rescue – Committee (MER-C) itu diharapkan menjadi simpul perdamaian di wilayah tersebut.

“Rumah sakit ini diharapkan menjadi simbol perdamaian masyarakat setempat dan juga menjadi simbol persahabatan dua negara, Indonesia dan Myanmar,” kata Anggota Presidium MER-C dr. Joserizal Jurnalis dalam keterangan persnya di Gedung MER-C, Jakarta, Jumat (29/11).

Menurut dr. Joserizal, bukan hal yang mudah membangun rumah sakit di wilayah konflik. Namun, medis dan kesehatan adalah hal yang penting dalam kehidupan, terlebih dalam situasi perang atau konflik. Hal itu juga yang membuat MER-C berpikir untuk menerapkan program jangka panjang.

Ia melanjutkan, sampai saat ini isu Rohingya masih menjadi isu utama di kawasan dan dunia. MER-C telah memberikan bantuan dengan mengirimkan tim medis untuk membantu korban konflik di wilayah tersebut sejak September 2012 lalu.

“Tim MER-C menjadi lembaga swadya masyarakat pertama dari Indonesia yang dapat melakukan pelayanan kesehatan di kedua belah pihak, baik Muslim maupun Budha,” katanya.

Dr. Joserizal menjelaskan, berdasarkan hasil assesment tim saat itu, fasilitas kesehatan di kamp-kamp pengungsi yang ada masih sangat minim dan MER-C mencanangkan pembangunan sarana kesehatan yang bersifat pemanen yang dapat diakses oleh kedua belah pihak.

Sementara itu, relawan MER-C yang baru pulang dari Myanmar, Nur Ikhwan Abadi mengungkapkan, salah satu kendala yang memperlambat proses pembangunan di Myanmar adalah masih terdapat sejumlah konflik.

Di Myanmar, kata dia, masyarakat takut keluar rumah setelah jam enam sore, lantaran militer setempat akan menembak siapa saja yang keluar di jam tersebut tanpa alasan yang jelas. Ia menyebut masih ditemukannya beberapa ranjau di pinggir-pinggir jalan.

“Konflik di Myanmar itu berbeda dengan konflik yang terjadi di Gaza Palestina. Jika di Palestina konflik di udara, di laut, sementara di Myanmar konfliknya di darat, face to face. Jika konflik terjadi, relawan masuk ke dalam rumah sakit, dan pembengunan terhenti,” katanya.

Nur Ikhwan bercerita, akibat konflik tersebut membuat beberapa kontraktor enggan melanjutkan pembangunan rumah sakit tersebut. Sehingga, kata dia, relawan sendiri yang melanjutkan pembangunan, dari mulai mencari peralatan dan perlengkapan, hingga membangun tempat-tempat yang dirasa bisa menopang aktifitas di rumah sakit.

“Rumah sakit tersebut membutuhkan kekuatan daya sekitar 125 KVA. Kami di Myanmar memberikan genset berkekuatan 220 KVA. Selain itu, kami juga membuat penampungan air seluas 4×40 meter dengan kedalaman 3 meter karena memang di wilayah itu air cukup sulit didapatkan,” katanya. (L/Hju/R06)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.