Jakarta, MINA – Lembaga kemanusiaan Medical Emergency Rescue – Committee (MER-C) memandang perlu adanya program pendidikan (prodi) manajemen bencana secara formal di perguruan tinggi baik negeri maupun swasta mengingat Indonesia adalah wilayah rawan bencana.
Hal itu disampaikan oleh Anggota Presidium MER-C dr. Arief Rahman saat konferensi pers bertema “Palu – Donggala: Titik Krusial Refleksi Penanganan Tsunami Aceh” di Gedung MER-C, Jalan Kramat Lontar, Senen, Jakarta Pusat, Jumat (12/10).
“Indonesia seharusnya sudah berpengalaman menangani bencana pasca bencana besar pertama yang terdokumentasi dengan baik yakni saat tsunami Aceh 2004 lalu. Tapi sekarang tidak terlihat ada program pendidikan manajemen bencana baik di tingkat S1 maupun S2,” katanya.
Arief menjelaskan, prodi manajemen bencana untuk wilayah seperti Indonesia sangat diperlukan. Apalagi selama ini, program mitigasi bencana yang dilakukan petugas-petugas BPBD maupun lembaga terkait kepada masyarakat hanya seputar bagaimana turun dari lantai yang tinggi, bagaimana mencari tempat perlindungan yang baik.
Baca Juga: MUI Tekankan Operasi Kelamin Tidak Mengubah Status Gender dalam Agama
“Selama ini kalau di wilayah atau kabupaten tertentu di Indonesia terkena musibah, wilayah sebelahnya latah melakukan mitigasi bencana, tetapi hanya sekedar bagaimana turun dari lantai yang tinggi atau mencari tempat perlindungan yang baik,” katanya.
Arief bercerita, rekannya sesama relawan kemanusiaan dari luar negeri menganggap Indonesia sebagai hypermarketnya musibah. Sebab musibah apapun ada di Indonesia, tak terkecuali angin topan yang notabene bukan musibah asli Indonesia.
“Teman-teman relawan dari luar negeri justru ada yang bilang Indonesia ini hypermaketnya musibah. Bahkan topan pun sekarang ada di Indonesia. Mereka justru ingin belajar dari Indonesia cara menangani bencana karena mereka (relawan) di luar negeri hanya belajar dari buku-buku, sementara kita bersinggungan langsung,” katanya.
Terkait cara penanganan, diakui Arief, musibah Aceh yang terjadi 14 tahun silam terbilang cukup cepat. Sementara penanganan evakuasi korban gempa dan tsunami di Palu dan Donggala sedikit lambat, tiga hari pasca gempa tim SAR baru terlihat di lokasi terdampak musibah.
Baca Juga: Prof. El-Awaisi Serukan Akademisi Indonesia Susun Strategi Pembebasan Masjidil Aqsa
“Saat tsunami Aceh, pemerintah belum mengatur regulasi bantuan internasional yang masuk ke dalam negeri. Sehingga saat itu, tentara bersenjata lengkap hingga kapal perang dari negara lain terlihat di lokasi bencana (tsunami Aceh). Regulasi yang ada sekarang sudah bagus dan lebih ketat,” katanya.
Menurut Arief, lambatnya penanganan bencana alam tak terlepas dari garis komando yang saat ini dipegang oleh Menko Polhukam bukan BNPB. Padahal BNPB adalah lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengerahkan tim SAR maupun tim tanggap bencana dari kementerian-kementerian terkait. (L/R06/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Syeikh Palestina: Membuat Zionis Malu Adalah Cara Efektif Mengalahkan Mereka