ILMU adalah cahaya, dan cahaya itu tidak akan mampu diraih kecuali oleh hati yang bersih dan jiwa yang tulus. Pendidikan sejati bukan sekadar proses mentransfer pengetahuan dari guru kepada murid, melainkan perjalanan spiritual dan intelektual yang melibatkan hati, akhlak, dan keteladanan. Sebab ilmu yang bermanfaat tidak lahir dari kata-kata yang indah semata, tetapi dari keikhlasan mendidik, keteladanan yang nyata, serta cinta yang tulus dalam mengantarkan generasi menuju masa depan yang lebih baik.
Generasi hari ini hidup di tengah derasnya arus informasi dan godaan zaman. Mereka lebih mudah mengakses teknologi daripada menundukkan kepala membaca buku. Mereka lebih sering terhubung dengan layar gawai dibandingkan menatap mata orang tua atau gurunya. Dalam kondisi seperti ini, tugas seorang pendidik, orang tua, maupun tokoh masyarakat menjadi semakin berat: bukan hanya membimbing akal pikiran, tetapi juga menuntun hati agar tetap berada di jalan cahaya.
Rasulullah ﷺ adalah teladan terbaik dalam mendidik generasi. Beliau tidak hanya mengajarkan wahyu dengan lisan, tetapi mempraktikkan setiap ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari. Ketika beliau berkata tentang sabar, beliau pula yang pertama kali mencontohkan kesabaran. Saat beliau menyeru umat untuk jujur, beliau adalah orang yang paling dikenal dengan kejujurannya, sehingga digelari al-Amin. Inilah pesan penting bagi para pendidik: keteladanan jauh lebih kuat pengaruhnya daripada sekadar ucapan.
Pendidikan dengan hati berarti melihat anak didik bukan sebagai bejana kosong yang harus diisi, melainkan sebagai jiwa yang harus dibimbing dengan penuh kasih sayang. Seorang guru atau orang tua harus memahami bahwa setiap anak unik, dengan potensi dan kelebihannya masing-masing. Ada yang cepat dalam memahami ilmu pengetahuan, ada yang lambat tetapi memiliki kekuatan pada sisi akhlak, seni, atau empati. Mendidik dengan hati berarti menghargai keunikan itu, tidak memaksakan standar tunggal, tetapi menuntun sesuai fitrah yang Allah karuniakan.
Baca Juga: Muhammadiyah Dorong Pemuda Jadi Aktor Global Lewat Youth Diplomacy Forum
Keteladanan adalah kunci keberhasilan pendidikan. Seorang anak bisa saja lupa apa yang dia dengar, tetapi ia jarang lupa apa yang ia lihat. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga penuh kehangatan, kejujuran, dan kesederhanaan, cenderung akan membawa nilai-nilai itu dalam kehidupannya. Sebaliknya, anak yang setiap hari melihat pertengkaran, kebohongan, atau kekerasan, akan merekamnya sebagai kebiasaan yang kelak ia tiru. Maka, sebelum kita menginginkan generasi berakhlak mulia, kitalah yang harus terlebih dahulu mencontohkannya.
Meraih cahaya ilmu juga berarti menanamkan nilai bahwa ilmu bukan sekadar sarana mencari pekerjaan atau status sosial, melainkan jalan untuk mengenal Allah dan menebar manfaat. Imam Al-Ghazali pernah berkata, “Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan.” Inilah yang harus kita tanamkan kepada generasi: belajar bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan agar hidup mereka menjadi cahaya bagi sesama.
Dalam mendidik, kesabaran adalah senjata utama. Tidak semua anak langsung berubah setelah dinasihati, tidak semua murid langsung cemerlang setelah diajar. Tugas seorang pendidik adalah terus menanamkan benih kebaikan, walau hasilnya belum terlihat. Boleh jadi, benih itu baru tumbuh bertahun-tahun kemudian. Tetapi yakinlah, setiap kata tulus, setiap doa penuh cinta, dan setiap keteladanan akan meninggalkan jejak yang tidak akan hilang.
Hati seorang anak mudah disentuh dengan kasih sayang. Maka, pendidikan dengan hati menuntut kita untuk lebih banyak mendengar daripada memerintah, lebih banyak merangkul daripada menghakimi. Guru yang bijak bukan hanya pandai mengajar di kelas, tetapi juga mampu mendengarkan keluh kesah muridnya. Orang tua yang baik bukan hanya pandai memberi aturan, tetapi juga mampu menjadi tempat pulang bagi hati anak-anaknya.
Baca Juga: Membangun Generasi Qur’ani di Era Digital
Ketika hati disentuh, ilmu akan lebih mudah masuk. Sebaliknya, jika hati tertutup karena luka, maka sehebat apa pun pengetahuan yang diajarkan akan terasa asing. Oleh sebab itu, mendidik dengan hati adalah seni menyembuhkan, seni menumbuhkan, dan seni menuntun jiwa menuju cahaya.
Di era modern ini, kita sangat membutuhkan generasi yang bukan hanya cerdas, tetapi juga berakhlak mulia. Dunia sudah terlalu penuh dengan orang pintar, tetapi kurang orang yang berhati bersih. Maka, mari kita lahirkan generasi yang tidak hanya menguasai teknologi, tetapi juga menjadikan ilmu sebagai cahaya untuk menebarkan kebaikan dan kedamaian.
Tugas ini memang berat, tetapi setiap langkah kecil dalam mendidik dengan hati dan keteladanan adalah investasi abadi. Sebab doa anak saleh yang tumbuh dari didikan penuh cinta akan terus mengalirkan pahala meski kita sudah tiada. Inilah warisan sejati yang tak ternilai: generasi berilmu, berhati mulia, dan berakhlak Qur’ani.
Maka mari kita jadikan rumah, sekolah, dan lingkungan sekitar sebagai taman ilmu dan kasih sayang. Jadilah guru yang tidak hanya mengajar, tetapi juga menginspirasi. Jadilah orang tua yang tidak hanya menafkahi, tetapi juga meneladani. Jadilah masyarakat yang tidak hanya mengkritik, tetapi juga mendukung tumbuhnya generasi terbaik.
Baca Juga: Santri Al-Fatah Jambi Lulus Kedokteran UMJ Jalur Beasiswa Hafiz Qur’an
Dengan hati yang tulus dan keteladanan yang nyata, insya Allah cahaya ilmu akan bersinar terang, menuntun langkah generasi kita menuju masa depan yang penuh keberkahan. Sebab cahaya itu bukan hanya menerangi dirinya, tetapi juga menerangi dunia.[]
Mi’raj News Agency (MINA)