Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meraih Ketenangan Jiwa, Menggapai Kebahagiaan Sejati

Widi Kusnadi Editor : Bahron Ans. - Rabu, 15 Januari 2025 - 08:21 WIB

Rabu, 15 Januari 2025 - 08:21 WIB

24 Views

Keluarga bahagia (foto: ig)

Ketenangan (السكينة) dalam Islam adalah salah satu anugerah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) yang memberikan rasa tenang, damai dan tenteram dalam hati seseorang.

Dalam Islam, ketenangan merupakan tanda keimanan yang kokoh, serta hasil dari hubungan yang mendalam antara seorang hamba dengan Tuhannya, Allah SWT.

Ketenangan merupakan karunia yang Allah SWT berikan kepada hamba-hamba-Nya yang bertawakal dan beriman.

هُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ ٱلسَّكِينَةَ فِى قُلُوبِ ٱلْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوٓا۟ إِيمَٰنًا مَّعَ إِيمَٰنِهِمْ ۗ وَلِلَّهِ جُنُودُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا (الفتح [٤٨]:٤)

Baca Juga: Tarbiyah dan Ukhuwah: Jantungnya Dakwah

“Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS Al-Fath [48]: 4)

Ketenangan (as-sakīnah) dan kebahagiaan (sa‘ādah) memiliki hubungan erat dalam Islam.  Ketenangan menjadi salah satu kunci utama untuk mencapai kebahagiaan sejati. Kedua konsep ini saling melengkapi dan berakar pada kedekatan seorang hamba dengan Allah SWT.

Ketenangan jiwa memberikan stabilitas emosional dan spiritual yang mendorong seseorang dapat merasakan kebahagiaan sejati. Ketika hati dipenuhi dengan ketenangan karena iman dan tawakal kepada Allah SWT, maka seseorang tidak akan mudah terguncang jiwanya, hanya karena masalah duniawi.

Kebahagiaan sejati tidak bergantung pada harta atau kesenangan duniawi, tetapi pada kedamaian batin. Ibnu Taimiyah Rahimahullah menyebutkan bahwa “kebahagiaan manusia terletak pada ketenteraman hati dan keteguhannya dalam mengingat Allah.” Tanpa ketenangan, kebahagiaan menjadi semu dan bersifat sementara.”

Baca Juga: Gencatan Senjata, Kemenangan Palestina dan Warga Dunia

Ketenangan dalam Zikrullah

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, yang artinya: “… Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28)

Ayat ini menegaskan bahwa ketenangan hati tidak terletak pada materi, jabatan, atau pujian manusia, tetapi pada hubungan yang erat dengan Allah Ta’ala.

Mengingat Allah (zikrullah) meliputi berbagai amalan, seperti membaca Al-Qur’an, berdzikir, dan merenungi kebesaran-Nya.

Baca Juga: Malu dalam Perspektif Islam: Pilar Akhlak Mulia

Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa dzikir adalah jalan untuk membersihkan hati dari kotoran duniawi dan mendekatkan diri kepada Allah.

Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:

“Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Tuhannya dan orang yang tidak berdzikir seperti orang hidup dan mati.” (HR. Bukhari)

Dzikir membawa kehidupan bagi hati yang kering. Dalam dzikir, seorang hamba merasakan kehadiran Allah Ta’ala dalam setiap langkahnya. Hal ini menciptakan ketenangan yang tidak tergantikan oleh apa pun.

Baca Juga: Tanda “Kiamat” Bagi Zionis Israel

Kebahagiaan dalam Tawakal dan Ridha

Tawakal (berserah diri kepada Allah setelah berikhtiar) adalah salah satu kunci kebahagiaan. Allah berfirman, yang artinya:“Barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya).” (QS. At-Talaq: 3)

Seorang yang bertawakal yakin bahwa apa pun yang terjadi adalah bagian dari rencana terbaik Allah. Sikap ini melahirkan ketenangan batin dan kebahagiaan sejati karena ia tidak terbelenggu oleh kegelisahan dunia.

Ridha terhadap ketentuan Allah juga menjadi pintu kebahagiaan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Sungguh mengagumkan keadaan seorang mukmin, karena segala urusannya baik baginya. Jika ia mendapatkan nikmat, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia ditimpa musibah, ia bersabar, dan itu pun baik baginya.” (HR. Muslim)

Baca Juga: Melihat Mona Lisa Di Musée Du Louvre Paris

Dengan ridha, seseorang tidak lagi mempertanyakan hikmah di balik setiap ujian. Ia menyadari bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari ujian yang mendekatkan dirinya kepada Allah.

Memperbaiki Hubungan dengan Sesama

Ketenangan batin tidak hanya tercipta dari hubungan yang baik dengan Allah, tetapi juga dari hubungan harmonis dengan sesama manusia. Allah berfirman, yang artinya:

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ali Imran: 133-134)

Baca Juga: Pagar Laut Tangerang Dibongkar, Tapi Siapa Aktor Pembuatnya?

Memaafkan dan menahan amarah adalah kunci untuk menciptakan kedamaian dalam hati. Imam Ibnul Qayyim Al-Jauzi Rahimahullah dalam kitabnya Madarijus Salikin menyebutkan bahwa sifat pemaaf akan melapangkan dada dan membersihkan hati dari dendam.

Selain itu, memperbaiki hubungan dengan keluarga, sahabat, dan tetangga juga berkontribusi besar dalam menciptakan ketenangan.

Merenungi Hikmah di Balik Ujian

Kehidupan dunia adalah tempat ujian. Allah berfirman, yang artinya: “Dan sungguh, Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155)

Baca Juga: Warga Gaza Hadapi Gencatan Senjata, Antara Suka dan Duka

Ujian adalah sarana untuk meningkatkan keimanan. Ujian adalah cara Allah Ta’ala membersihkan dosa-dosa hamba-Nya dan meninggikan derajat mereka. Maka, dalam setiap ujian terdapat hikmah yang mungkin belum tampak oleh mata manusia.

Seorang mukmin yang memahami hal ini akan senantiasa bersabar dan bersyukur. Kesabaran menjadi tameng dari kegelisahan, sementara syukur menjadi pintu kebahagiaan.

Membangun Kebiasaan Amal Shalih

Amal shalih adalah bahan bakar kebahagiaan hakiki. Allah berfirman, yang artinya: “Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami akan memberi balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)

Baca Juga: Bencana Kebakaran Los Angeles dalam Perspektif Al-Qur’an

Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang penuh ketenangan dan kebahagiaan. Amal shalih, seperti sedekah, membantu sesama, dan menjaga shalat lima waktu, adalah jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

Ketenangan batin dan kebahagiaan hakiki hanya dapat dicapai dengan mendekatkan diri kepada Allah, menjalankan syariat-Nya, dan memperbaiki hubungan dengan sesama.

Dalam setiap dzikir, tawakal, dan ridha, terdapat ketenangan. Dalam setiap ibadah, tersimpan kebahagiaan yang abadi. Maka, bersegeralah menuju Allah, karena hanya dengan-Nya hati menjadi tenang dan bahagia selamanya. []

 

Baca Juga: Pertukaran Tahanan, Bagaimana Nasib Jenazah Al-Sinwar?

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Indonesia
Palestina
Palestina
Khutbah Jumat