Meraih Prestasi Tertinggi di Bulan Suci

Oleh : Ustadz *

Di dalam Al-Quran, Allah memanggil orang-orang beriman dengan kalimat “yaa ayyuhalladzina aamanuu”, artinya wahai orang-orang yang beriman.

Karena itu, orang-orang yang memiliki jiwa keimanan, patutlah merasa terpanggil untuk memperhatikan dan mengamalkan ayat panggilan tersebut.

Demikian halnya dengan kewajiban berpuasa di bulan suci Ramadhan. Kewajiban berpuasa ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman kepada Allah, tidak untuk semua orang.

Jika kita memiliki keimanan kepada Allah, maka kita tentu akan menyambut perintah ini dengan semangat, komitmen dan penuh kegairahan.

Panggilan puasa itu adalah :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian shaum (puasa) sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa”. (QS Al-Baqarah [2] : 183).

Kata يَاأَيُّهَا  merupakan kata panggilan. Dalam bahasa Arab disebut harfun nida’ حرف النداء (kata panggilan). Ia sama dengan kata “Yaa”. Atau dalam bahasa Indonesia, “Hai” atau “Wahai”.

Dalam Al-Qur’an, ditemukan penggunaan kata “Yaa ayyuha”, seperti pada kata “Yaa ayyuhalladzina amanu,” “Yaa ayyuhan naas,” “Ya ayyuhan nabiy”, “Ya ayyuhal mudats-tsir”, “Ya ayyuhal muzzammil”, dan lainnya.

Maknanya sama, berupa panggilan kepada pihak-pihak tertentu. Biasanya, jika seseorang dipanggil, dia akan bersungguh-sungguh menyambut panggilan itu.

Allah memang telah memperhitungkan bahwa yang bersedia memikul perintah-Nya untuk menjalankan puasa Ramadhan hanyalah orang-orang yang beriman. Karena ibadah puasa ini menuntut pekerjaan fisik, pengendalian nafsu manusiawi, dan membutuhkan pengorbanan kesenangan diri dan kebiasaan setiap hari.

Karena itu, orang yang merasa di dalam dirinya ada iman, orang yang mengaku beriman kepada Allah sebagai Tuhannya, tentu dia akan bersedia mengubah kebiasaannya, menahan lapar dan dahaga, serta mengendalikan nafsunya demi memenuhi panggilan ilahi ini, yakni melaksanakan puasa secara penuh selama bulan Ramadhan.

Di dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, melalui surat Al-Baqarah ayat 183, Allah berbicara kepada orang-orang beriman dan memerintahkan berpuasa kepada mereka.

Pada perintah berpuasa Ramadhan pada Surat Al-Baqarah ayat 183, menggunakan kata “kutiba”, yang diterjemahkan sebagai “diwajibkan”.

Kata “kutiba” ini bermakna “furidha”, yang artinya “difardhukan atau diwajibkan”.

Tujuan Puasa, Meraih

Tujuan disyari’atkannya puasa Ramadhan adalah : لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “agar kalian bertaqwa”.

Ujung ayat ini merupakan tujuan puasa yakni mempersiapkan diri untuk menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah.

Tidak sedikit manusia tergelincir ke lembah nista dan jurang neraka, akibat tidak dapat mengendalikan hawa nafsu dirinya, terutama yang dilakukan oleh mulut dan kemaluannya.

Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits :

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ الْفَمُ وَالْفَرْجُ

Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ditanya tentang penyebab yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga. Maka beliau menjawab, “Bertakwa kepada Allah dan berakhlak yang baik”. Dan beliau ditanya tentang penyebab yang paling banyak menjerumuskan manusia ke dalam neraka. Beliau menjawab, ”Mulut dan Kemaluan.” (HR At-Tirmidzi dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).

Maka menjadi sangat jelas bahwa tujuan utama puasa Ramadhan dengan latihan pengendalian diri seperti disebutkan pada ujung akhir ayat 183 surat Al-Baqarah, adalah agar yang melaksanakannya menjadi orang bertakwa.

Allah pun menyatakan bahwa hanya amalan orang yang bertakwa sajalah yang diterima di sisi-Nya.

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

Artinya : “Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertaqwa”. (QS Al-Maidah [5] : 27).

Taqwa secara bahasa bermakna: hati-hati, waspada, menjaga, takut. Ada pun taqwa secara istilah bermakna : mentha’ati Allah dan tidak memaksiati-Nya, mengingat Allah dan tidak melupakan-Nya, mensyukuri nikmat Allah dan tidak mengkufuri-Nya, atau dengan kata lain menjalankan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya.

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhu berkata, bahwa takwa dengan sebenar-benar takwa adalah takwa dengan jihad di jalan-Nya dengan sebenar-benar jihad, tidak takut terhadap celaan orang-orang yang mencela.

Dengan makna takwa tersebut maka shoimun (orang-orang yang berpuasa) terdidik untuk senantiasa berjihad menjalankan perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya.

Shoimun akan terbiasa untuk selalu waspada, menjaga diri, dan berhati-hati terhadap sesuatu. Yakni berhati-hati terhadap rambu-rambu syariat yang telah ditetapkan Allah berupa perintah dan larangan.

Sebagaimana Umar bin Khattab Radyiyallahu ‘Anhu ketika ditanya tentang takwa, beliau mengatakan, “Apakah kamu pernah melewati jalanan yang berduri?” Si penanya menjawab, ”Ya”. Beliau balik bertanya, “Lalu apa yang kamu lakukan?” Orang itu menjawab, “Jika aku melihat duri, maka aku menyingkir darinya, atau aku melompatinya atau aku tahan langkah”. Maka berkata Umar, ”Seperti itulah taqwa.”

Secara lebih luas taqwa bermakna menjalankan segala kewajiban dan nawafil-Nya (ibadah tambahan), serta menjauhi semua larangan dan perkara syubhat (samar-samar), mafsadat (merusak), lagha (sia-sia), dan makruh (tidak disukai).

Takwa menjadi wasiat abadi karena mengandung kebaikan dan manfaat yang sangat besar bagi terwujudnya kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Takwa merupakan kumpulan dari semua kebaikan dan pencegah segala kejahatan.

Dengan takwa pula harta menjadi barakah, ilmu menjadi manfaat, hidup menjadi bermakna, berbobot dan berkualitas. Dengan takwa niscaya Allah akan mengadakan baginya jalan keluar, dan dengan takwa pula, Allah akan memberikan rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.

Sebaliknya, tanpa takwa, isteri, suami dan anak yang kita cintai bisa berubah menjadi fitnah dan musuh, harta yang kita miliki dapat menjadi malapetaka. Sementara pekerjaan, pangkat, dan kedudukan yang kita punyai berubah menjadi beban dosa. Di hadapan Allah tidak ada gunanya, bahkan menjadi penyesalan yang berkepanjangan. Akibat menggadaikan takwa dengan dosa, melepas takwa diganti dengan kemaksiatan. Na’udzubillahi min dzalik.

Derajat takwa inilah, merupakan derajat tertinggi hamba-hamba Allah di sisi Tuhannya. Sebagaimana Allah tegaskan di dalam ayat :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al-Hujurat/49: 13).

Semoga kita dapat meraih gelar takwa sebagai sebagai hasil puasa Ramadhan. Aamiin yaa Robbal ‘Aalamiin. (A/RS2/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

*Ust. Ali Farkhan Tsani,S.Pd.I. Penulis, Da’i Pondok Pesantren, Wartawan, Penulis Buku Keislaman. Penulis dapat dihubungi melalui : WA 0858-1712-3848 atau  [email protected]

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.