Meraih Rasa Manisnya Iman

Oleh Bahron Ansori, jurnalis MINA

mempunyai rasa yang manis. Tapi tentu saja untuk merasakannya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Diperlukan perjuangan keras. madu dan gula, tentu saja semua bisa dirasakan oleh setiap orang, tapi tidak sama dengan manisnya iman.

Dari Abbas bin Abdil Muttholib bahwasanya ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda

ذَاقَ طَعْمَ الإِيْماَنِ مَنْ رَضِيَ بِالله رَبًّا وِبِالإِسْلاَمِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا رَسُوْلاً

“Telah merasakan manisnya iman, siapa yang ridha sebagai Robnya, dan Islam sebagai agamanya dan ridha Muhammad sebagai nabi dan rasul.” (HR Muslim)

Sesungguhnya barang siapa yang ridha Allah sebagai Robnya maka ia akan mencintai-Nya dan bertawakkal kepada-Nya serta memohon pertolongan kepada-Nya. Ia cukup dengan-Nya subhaanahu, ia tidak akan meminta kepada selainNya, karena seluruh selain-Nya adalah lemah dan tidak mampu.

Siapa yang tidak merasa cukup dengan Allah maka tidak sesuatupun yang akan mencukupkannya, dan barangsiapa yang ridha kepada Allah maka ia akan meraih segalanya, barangsiapa yang merasa cukup dengan Allah maka ia tidak akan butuh kepada apapun, dan barangsiapa yang merasa mulia dengan Allah maka ia tidak akan hina kepada sesuatupun. Allah berfirman :

أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ

“Bukankah Allah cukup untuk hamba-hamba-Nya.” (QS Az-Zumar : 36)

Barangsiapa yang ridha Muhammad sebagai Rasul maka ia akan mencukupkan Muhammad sebagai tauladannya dan pemimpinnya, serta pemberi arahan baginya, dan ia akan semangat untuk mempelajari sejarahnya dan menjalankan sunnahnya.

Siapa yang ridha Islam sebagai agama maka ia akan merasa cukup dengan Islam, ia akan menjalankan kewajiban-kewajiban dalam Islam, menjauhi yang dilarang, dan meyakini bahwa semua yang ada dalam ajaran islam adalah benar, adil, dan petunjuk.

Iman memiliki rasa manis yang tidak bisa dirasakan kecuali bagi orang yang beriman. Dan iman jika telah masuk ke dalam relung hati maka hati akan berseri dan akan menimbulkan kelezatan dalam hati, akan menjadikan kehidupan bahagia, dan dada menjadi lapang.

Barangsiapa yang merasakan manisnya iman maka ia akan merasakan kelezatan dalam beribadah, ia akan di atas jalanNya, dan akan berkorban dengan segala sesuatu demi Allah. Allah berfirman:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ (٥٨)

“Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS Yunus : 58).

Jika manisnya iman telah merasuk dalam relung hati maka akan menjadikan pemiliknya selalu bersama Allah di setiap waktu dan di setiap tempat, dalam gerakannya dan diamnya, siang dan malam, ia selalu bersama Penciptanya dan Penolongnya.

Oleh karenanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan kita untuk selalu berkata,

Baca Juga:  Hebatnya Jadi Wartawan Muslim, Pelanjut Risalah Nabi SAW

رضيت بالله ربا وبالإسلام دينا وبمحمد صلى الله عليه وسلم نبيا

“Aku ridha Allah sebagai Rob, Islam sebagai agama, dan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai nabi.” (HR At-Tirmidzi).

Meninggalkan maksiat karena Allah akan membuahkan rasa manis dalam hati, orang yang meninggalkan maksiat karena takut dan malu kepada Allah maka ia akan merasakan manisnya Iman.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

النظرة سهم من سهام إبليس مسمومة فمن تركها من خوف الله أثابه جل وعز إيمانا يجد حلاوته في قلبه

“Pandangan (haram) adalah anak panah beracunnya Iblis, barang siapa yang meninggalkannya karena takut kepada Allah maka Allah Azza wa Jalla akan memberinya ganjaran keimanan, yang ia rasakan manisnya iman tersebut di hatinya.” (sanadnya shahih).

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سَوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إلاَّ لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

“Tiga perkara yang jika terdapat pada seseorang maka ia akan merasakan manisnya iman, (1) Allah dan RasulNya lebih ia cintai dari pada selainnya, (2) Ia mencintai seseorang, ia tidak mencintainya kecuali karena Allah, dan (3) Ia benci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Manisnya iman harganya mahal, dan memberi pengaruh yang diberkahi. Harga manisnya iman adalah ” Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari pada selainNya “. Yaitu Allah dalam bacaan qur’annya dan Nabi dalam sunnahnya lebih dicintai oleh seorang mukmin daripada selain keduanya.

Tatkala bertentangan antara kemaslahatanmu dengan syari’at maka engkau mendahulukan kepentingan syariat dan keridhaan Allah, engkau memilih ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya daripada mengikuti hawa nafsu dan yang lainnya. Maka jadilah Allah di sisimu yang dicintai secara total. Dan tatkala itu jadilah jiwa bergantung kepada Allah.

Cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam maksudnya adalah seorang muslim tidaklah menerima sesuatupun baik perintah maupun larangan kecuali dari ajaran Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, ia tidak menempuh kecuali jalan Nabi hingga ia tidak menerima sedikitpun keberatan terhadap keputusan Nabi, serta ia berhias dengan akhlak Nabi dalam hal kedermawanan, mendahulukan orang lain, kesabaran, tawdhul, dan yang lainnya.

Di antara harga manisnya Iman “Ia mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya melainkan karena Allah”, ini maksudnya adalah seorang mukmin menjalin hubungannya diatas pondasi keimanan. Ia mencintai kaum mukminin meskipun mereka adalah orang-orang yang lemah dan fakir, dan ia membenci para pelaku kemaksiatan dan kaum musyrikin meskipun mereka adalah orang-orang yang kuat dan kaya.

Baca Juga:  Miris, Pintar dalam Urusan Dunia Tapi Bodoh Urusan Akhirat

Hakikat dari mencintai karena Allah adalah kecintaannya tidak bertambah karena kebaikan orang lain dan tidak berkurang karena sikap kaku orang lain. Dan makna hadits menggali makna-makna persaudaraan dalam Islam yang tidak akan murni dan kokoh dan erat kecuali jika persaudaraan tersebut karena Allah dan dalam keridhaan Allah. Persaudaraan Islam yang benar tidak akan merasakan manisnya iman kecuali jika melazimi ketakwaan. Allah berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al-Hujurat: 10).

Allah juga berfirman,

الأخِلاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلا الْمُتَّقِينَ (٦٧)

“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf: 67).

“Dan ia benci untuk kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke neraka”, disana ada orang yang beribadah kepada Allah dengan berada di tepi, Maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam Keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang, rugilah ia di dan di . yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.

Jika datang dunia maka iapun beriman, akan tetapi jika dunia pergi darinya maka iapun berlepas diri dari keimanan dan kembali kepada kondisinya semula.

Seorang mukmin yang benar, tidaklah terpengaruh dengan datang dan perginya dunia, hatinya kokoh, ia selalu dermawan dalam kondisi susah dan senang, dan kondisi miskin dan kaya, sehat dan sakit.

Orang-orang yang merasakan kelezatan iman mereka menyebutkan tentang kelezatan tersebut. Salah seorang dari mereka berkata, “Sungguh ada waktu-waktu kebahagiaan yang lewat di hati, aku katakana jika seandainya penghuni surga dalam kondisi seperti ini, maka sungguh mereka dalam kenikmatan”. Yang lain berkata, “Sesungguhnya di dunia ada surga, barangsiapa yang tidak masuk ke dalamnya maka ia tidak akan masuk ke dalam surga akhirat”. Yang ketiga berkata, “Sesungguhnya keimanan memiliki kegembiraan dan kelezatan di hati, barangsiapa yang tidak merasakannya maka ia telah kehilangan imannya atau kurang imannya, dan ia termasuk dari golongan yang Allah berfirman tentang mereka:

قَالَتِ الأعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الإيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ

“Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi Katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu.” (QS Al-Hujuroot : 14)

Di antara mereka yang merasakan manisnya iman adalah Khubaib bin ‘Adiy radhiallahu ‘anhu –yang tertawan oleh kaum musyrikin-. Dikatakan kepadanya, “Apakah kau suka jika Muhammad menggantikan posisimu dan engkau dalam kondisi selamat bersama keluargamu”. Tatkala itu ia hampir dibunuh dengan disalib. Maka beliau berkata, “Demi Allah, aku tidak suka jika aku bersama istri dan anak-anakku, dan aku memiliki dunia dan kenikmatannya sementara Rasulullah tertusuk duri!”

Baca Juga:  Protes Mahasiswa Pro-Palestina Menyebar di Eropa

Wanita yang merasakan manisnya iman, tatkala sampai kepadanya bahwa Nabi  telah terbunuh dalam perang Uhud. Maka wanita inipun pergi ke medan pertempuran, ternyata ayahnya terbunuh, saudara lelakinya terbunuh, putranya terbunuh, dan suaminya terbunuh. Wanita inipun berkata, “Apa yang dilakukan oleh Rasulullah ?”. Tatkala matanya memandang Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (masih hidup) maka iapun merasa tenang dan ia berkata, “Wahai Rasulullah, seluruh musibah menjadi ringan selama engkau selamat”.

Orang yang merasakan manisnya iman jika engkau mencincang tubuhnya maka ia tidak akan bergeser dari agamanya. Kaum musyrikin meletakan batu di atas dada Bilal agar ia kafir, maka Bilal berkata, “Ahad, Ahad, Yang Maha Esa, dan bergantung kepadaNya segala sesuatu”

Heraklius raja Romawi yang semasa dengan Nabi ‘alaihi as-sholaatu was salaam, ia bertanya kepada Abu Sufyan, “Apakah ada yang murtad diantara pengikut Muhammad karena benci terhadap agamanya?” Abu Sufyan berkata, “Tidak”. Heraklius berkata, “Demikianlah keimanan jika manisnya telah merasuk ke dalam hati”

Jika seorang muslim telah merasakan manisnya iman maka ia akan menjadi manusia yang lain, ada rasa yang lain dalam kehidupannya. Ia membangun manisnya iman dengan suka memberi, ia bahagia dengan pemberiannya bukan dengan menerima pemberian, ia memberikan kebaikan bagi orang lain, ia berusaha agar dirinya agung di sisi Allah meskipun di sisi manusia ia adalah orang yang rendah.

Di antara ciri-ciri manisnya iman: Seorang mukmin meyakin dari relung hatinya yang paling dalam bahwasanya rizki di tangan Allah, apa yang Allah anugerahkan kepada seorang hamba maka tidak ada seorangpun yang bisa mencegahnya, dan bahwasanya seseorang/jiwa tidak akan mati hingga dipenuhi rizqinya dan ajalnya.

Di antara buah bentuk manisnya iman: seorang mukmin terbebaskan dari hawa nafsunya dan godaan jiwanya yang menyeru kepada keburukan dan fitnah harta. Ia terbebaskan dari sikap pelit dan kikir, serta ia berhias dengan muroqobatullah (selalu merasa diawasi oleh Allah), berhias dengan ikhlas, kedermawanan dan mendahulukan kepentingan saudaranya. Allah berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (٩٧)

“Siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS An-Nahl : 97).

Tentu saja, manisnya iman lebih manis dari manis gula dan madu, dan untuk meraih serta merasakan manisnya iman, seorang muslim harus berjuang lebih keras lagi, wallahua’lam.(RS3/P1)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

Wartawan: Bahron Ansori

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.