Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Merajut Kebersamaan dalam Iftar Multietnis, Kisah Harmoni PSMTI Pekalongan di Bulan Ramadhan

Zaenal Muttaqin Editor : Ali Farkhan Tsani - 52 detik yang lalu

52 detik yang lalu

0 Views

Ramadhan menjadi jembatan multietnis untuk kebersamaan (Foto: Istimewa)

SAAT matahari mulai tenggelam dan azan Maghrib menggema di Lapangan Jetayu, Kota Pekalongan, Jawa tengah, ratusan tangan dari beragam suku dan agama menyantap hidangan berbuka bersama.

Acara buka puasa kolosal yang digagas Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Kota Pekalongan ini bukan sekadar ajang santap.

Di balik 1.200 porsi opor, telur pindang, dan takjil, tersirat kisah tentang kota yang tetap utuh meski dirajut dari perbedaan.

Di sudut Lapangan Jetayu, seorang Tionghoa dengan sablon kaus “Bhinneka Tunggal Ika” tersenyum sambil membagikan takjil kepada dua remaja berjilbab.

Baca Juga: Pintu Surga Bernama Ar-Royyan Buat yang Berpuasa Ramadhan

Di meja sebelah, seorang anggota TNI membantu menyiapkan telur pindang khas Tionghoa yang disandingkan dengan megono, kuliner khas Jawa.

Inilah potret buka bersama ke-5 PSMTI Pekalongan, di mana tradisi Tionghoa, Jawa, dan semangat Ramadhan menyatu dalam satu meja.

Ketua PSMTI Kota Pekalongan, Sholeh Dahlan, bercerita tentang filosofi di balik menu yang disajikan.

“Telur pindang simbol panjang umat dalam budaya Tionghoa, sedangkan megono mewakili keramahan Jawa. Kami ingin Ramadan menjadi momentum merangkul semua makna kebajikan,” ucapnya.

Baca Juga: Doa Lailatul Qadar

Acara yang digelar pada Ahad sore (16/3) ini juga menghadirkan dialog antargenerasi. Lin Mei, pemudi keturunan Tionghoa, berbagi kisah.

“Saya belajar makna ngabuburit dari teman Muslim saya. Kini, kami saling mengingatkan waktu buka puasa meski beda keyakinan,” tuturnya.

Walikota Pekalongan, Achmad Afzan Arslan Djunaid (Aaf), yang turut membagikan nasi opor, menyebut acara ini sebagai “laboratorium toleransi”.

“Di sini, kami tidak hanya berbagi makanan, tapi juga cerita dan doa. Inilah Pekalongan: batiknya berwarna-warni, masyarakatnya juga,” ujarnya sembari menyebut batik sebagai metafora keragaman kota.

Baca Juga: Falafel Gantikan Daging jadi Menu Utama Berbuka Puasa Warga Gaza

Sentuhan Spiritual dan Seni

Tak hanya hidangan, acara ini diramaikan lantunan shalawat yang dibawakan grup kasidah muda-mudi Tionghoa Muslim, diiringi tabuhan rebana.

Sebuah pertunjukan wayang potehi (wayang Tionghoa) dengan cerita Islam tentang Nabi Sulaiman juga menjadi magnet warga.

“Buka bersama seperti ini mengingatkan kita bahwa lapar dan dahaga di Ramadhan bukan hanya ujian fisik, tapi juga kesempatan merasakan ‘lapar’-nya perpecahan dan ‘dahaga’-nya toleransi,” ucap Sholeh Dahlan.

Baca Juga: Memaknai Nuzulul Quran Sebagai Pedoman Hidup

Sementara lampion-lampion merah yang dipasang di sekitar lapangan mulai menyala, seakan menjadi metafora harapan: bahwa cahaya kebersamaan bisa menerangi kegelapan radikalisme. []

Mi’raj News Agency (MINA) 

Baca Juga: Aceh Besar Juara Umum Musabaqah Tunas Ramadhan

Rekomendasi untuk Anda

Tausiyah
Kolom
Indonesia
MINA Health
Para petugas Pusat Pengelolaan Sampah Nasional Arab Saudi mengumpulkan kain ihram yang ditinggalkan oleh para jamaah di tenda-tenda atau penginapan mereka di akhir musim haji. (MWAN/Twitter/tangkapan layar)
Dunia Islam