Mesir Mediator Gencatan Senjata Konflik Israel-Palestina

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Duta Al-Quds Internasional, Redaktur Senior Kantor Berita MINA

Setelah 11 hari aksi serangan brutal pasukan Israel ke Jalur Gaza, akhirnya negara pendudukan itupun menyerah, dengan menyetujui .

Balasan serangan bertubi-tubi ribuan roket dari Jalur Gaza, yang mampu menembus sistem pertahanan Iron Dome, tak kuasa membuat petinggi Israel harus mengakui kekalahannya.

Maka, gencatan senjata tanpa syarat yang dimediasi Mesir pun diberlakukan sejak Jumat (21/5/2021), dini hari pukul 2:00 waktu setempat Palestina.

https://minanews.net/israel-palestina-capai-gencatan-senjata-gaza-ditengahi-mesir/

Kesepakatan gencatan senjata saat itu diumumkan dalam Sidang darurat kabinet Israel urusan politik dan keamanan yang dipimpin Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, di gedung Kementerian Pertahanan Israel di Tel Aviv Kamis malam (20/5/2021).

Presiden AS Joe Biden dalam pidatonya pun langsung menanggapi kesepakatan gencatan senjata itu, dan mendesak PM Netanyahu untuk mengupayakan penurunan eskalasi.

Mesir telah berhasil menjadi perantara gencatan senjata antara Israel dan gerakan perlawanan Palestina, yang dipimpin Hamas.

Sebelumnya, Mesir ikut bergabung dengan negara-negara Arab lainnya dalam mengutuk serangan terbaru Israel di Gaza dan menyerukan dukungan untuk Palestina.

Teguran langka terhadap Israel oleh Mesir telah menarik perhatian. Ini mengingat hubungan Kairo dengan Tel Aviv dikenal hangat dalam beberapa tahun terakhir.

Fakta pun menunjukkan pihak berwenang Mesir telah menganggap Hamas, kelompok perlawanan yang berkuasa di Gaza, sebagai cabang dari  Ikhwanul Muslimin yang dilarang di Mesir.

Namun, berikutnya peta politiknya berubah dengan cepatnya. Tidak seperti pemerintah Arab lainnya yang telah melampiaskan rasa kemarahan mereka atas pengeboman brutal di Gaza dengan mengutuk agresi Israel. Para pemimpin Mesir telah mengambil langkah-langkah konkret untuk mengakhiri kekerasan.

Dalam beberapa waktu sebelumnya, Mesir pun telah begitu aktif memediasi pertemuan antar faksi-faksi perjuangan utama di Palestina, dalam bingkai rekonsiliasi.

Ketika kekerasan meningkat antara pasukan Israel dengan gerakan perlawanan di Jalur Gaza, delegasi keamanan Mesir melakukan perjalanan ke Gaza dan Tel Aviv pada Jumat (14 /5/2021) untuk mengadakan pembicaraan dengan Hamas dan pejabat Israel dalam upaya menengahi gencatan senjata.

Namun saat itu Israel menolak tawaran Kairo, dan PM Netanyahu malah menjawab dengan geram, bahwa pasukannya akan meningkatkan intensitas serangannya.

Menyusul penolakan Israel atas proposal gencatan senjata Mesir, Menteri Luar Negeri Sameh Shoukry mengutuk “pelanggaran Israel di dinding Masjid Al-Aqsa.”

Pernyataannya disampaikan pada pertemuan Liga Arab melalui konferensi video.

Dia mengatakan, “Mesir telah secara intensif menjangkau Israel dan negara-negara terkait lainnya mendesak mereka untuk mencegah memburuknya situasi di Yerusalem.”

Namun ia merasa menyesal karena seruannya tidak mendapatkan tanggapan yang berarti.

Bantuan Mesir

Presiden Abdel Fattah al-Sisi saat mengunjungi Prancis, Selasa (18/5/2021), dalam rangka lanjutan kerjasama bilateral, menyatakan menjanjikan bantuan  $ 500 juta  (sekitar Rp7,1 triliun) untuk membangun kembali Gaza setelah kerusakan akibat perang.

Kunjungan merupakan rangkaian kesepakatan Mesir yang telah memesan 30 unit jet tempur Rafale dari perusahaan pertahanan Prancis, Dassault Aviation.

Pesanan itu menyusul pembelian 24 jet serupa pada tahun 2015 yang  dibiayai melalui pinjaman 10 tahun.

Mesir pun membuat keputusan dalam sebuah langkah mengejutkan, dengan membuka jalur perbatasan Rafah-Gaza per 15 Mei, hari libur umum di Mesir untuk perayaan Idul Fitri.

Pembukaan perbatasan Rafah memungkinkan warga Palestina yang terluka dalam serangan udara Israel masuk ke Mesir untuk perawatan di rumah sakit Mesir.

Perlintasan Rafah merupakan satu-satunya titik penyeberangan antara Mesir dan Jalur Gaza.

Pembukaan Rafah tanpa batas waktu merupakan langkah yang jarang dilakukan pihak berwenang Mesir. Terlebih pada hari libur, perbatasan Rafah-Gaza biasanya tertutup.

Bahkan Kementerian Kesehatan Mesir pun mengirim tim medis darurat ke perbatasan Rafah untuk memeriksa korban Palestina. Lengkap dengan ambulans  untuk segera mengangkut korban serangan ke rumah sakit yang ditunjuk pemerintah di Semenanjung Sinai utara, Ismailia dan Kairo.

Tidak kurang dari 11 rumah sakit, termasuk enam di Kairo, telah dialokasikan untuk perawatan  warga Palestina yang terluka, menurut Ahram Online.

Selain itu, konvoi besar-besaran bantuan medis, persediaan logistik makanan, dan bahan bakar pun dikirim ke Jalur Gaza pada Senin (17/5/2021). Spanduk besar di badan truk yang membawa perbekalan bertuliskan “Solidaritas terhadap Palestina dari negara dan rakyat Mesir.”

Pergeseran kebijakan Mesir dalam menyikapi aksi Israel juga terlihat dalam perubahan wacana agama oleh ulama Al-Azhar Syaikh Omar Hashem. Syaikh Hashem pada khutbah Jumat (14/5/2021) di Al-Azhar, yang disiarkan secara nasional melalui saluran televisi.

Ia menyerukan persatuan kaum Muslimin dan Pasukan Penangkal Islam  untuk mempertahankan Al-Quds dari “gelandangan asing” di dunia (negara Israel).

Ia juga menegaskan bahwa apa yang diambil dengan paksa harus dikembalikan dengan paksa pula.

Dia mengecam “Zionis yang menindas telah menginjak-injak hak asasi manusia dan kesucian Masjid Al-Aqsa.”

Ia pun merujuk pada sebuah hadits yang menyebutkan kekalahan kaum Yahudi dan kemenangan kaum Muslimin. Ia menyebutkan nubuwat hadits tersebut sudah mulai terbukti dengan terbunuhnya orang Yahudi dalam aksi balasan para pejuang Palestina.

Syaikh Hashem juga mengecam organisasi hak asasi manusia internasional dan pemimpin Arab dan dunia karena dipandang “diam yang memalukan,” dalam menghadapi kekejaman yang dilakukan oleh pasukan Israel.

Khutbah yang penuh semangat itu telah mendapat persetujuan dari Kementerian Wakaf Islam Mesir. Hal ini karena semua khutbah para penceramah dan imam telah disetujui sebelumnya oleh negara, dan ini sering digunakan sebagai pesan pemerintah kepada publik.

Sementara itu, Imam Besar Al-Azhar Sheikh Ahmed el-Tayeb seperti disebutkan Al-Monitor, juga sangat vokal dalam kritiknya terhadap aksi Israel. Syaikh El-Tayeb menggambarkan serangan Israel terhadap jamaah Masjidil Aqsa awal Mei itu sebagai “teror Zionis dan pelanggaran kesucian.”

Mesir-Hamas

Langkah pergeseran terlihat mencolok dari kebijakan Mesir menghadapi konflik Israel-Palestina. ini terutama terhadap Hamas yang sebelumnya dianggap oleh otoritas Mesir sebagai ancaman bagi keamanan Mesir.

Hamas sebagai bagian utama dari pergerakan perjuangan Palestina, bagaimanapun telah mengalami transformasi sejak tahun 2017. Organisasi itu terlihat lebih memprioritaskan politik daripada perlawanan bersenjata, kecuali jika sangat diperlukan seperti menghadapi serangan pasukan Israel ke kawasan Masjidil Aqsa dan Shaikh Jarrah.

Hamas juga tampak memisahkan diri dalam hubungan organisatoris dengan Ikhwanul Muslimin dalam upaya untuk mendapatkan kembali kepercayaan Mesir. Terlebih Mesir, melalui perbatasan Rafahnya, merupakan satu-satunya alternatif jalan keluar perjalanan manusia dan barang dari blokade darat, laut dan udara oleh Israel.

Menurut Prof Mustapha Kamel El Sayed, guru besar ilmu politik di Universitas Kairo, seperti dimuat pada media analisis Timur Tengah, Al-Monitor, edisi 21 Mei 2021, mengatakan bahwa sikap Mesir sehubungan dengan kekerasan terbaru di Jalur Gaza menandakan perubahan hati di pihak Mesir.

Menurutnya, mencairnya hubungan Mesir yang sebelumnya membeku dengan Hamas bukanlah suatu yang baru atau mendadak.

Dia menunjuk pada upaya mediasi Mesir beberapa kali di antara faksi-faksi Palestina untuk mendamaikan mereka menjelang pemilihan nasional Palestina yang dijadwalkan berlangsung bulan Mei ini. Namun kemudian ditunda atas perintah Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas.

Dia juga menilai, kepemimpinan Mesir terkini tidak lagi menganggap Hamas bertanggung jawab atas serangan-serangan di Semenanjung Sinai. Apalagi serangan semacam itu sedang menurun , yang memungkinkan otoritas Mesir untuk mempertimbangkan kembali posisi mereka terhadap Hamas.

Sayed juga percaya, dukungan Mesir untuk Palestina adalah upaya Mesir untuk menghidupkan kembali perannya sebagai mediator regional  antara Palestina dan Israel. Ini karena Mesir memiliki hubungan diplomatik dengan kedua negara, Israel dan Palestina.

Harapan

Banyak pihak berharap, langkah yang diambil oleh kepemimpinan Mesir didukung kuat oleh negara-negara Arab lainnya.

Satu sisi, pembersihan etnis Israel dan pembantaian yang dilakukannya berada pada skala yang belum pernah terlihat sebelumnya. Tentu bagaimanapun Mesir sebagai salah satu negara kuat dalam militer di kawasan dunia Arab, tidak bisa tinggal diam dalam menghadapi pelanggaran di depan matanya

Di samping tentu Mesir ingin menjaga meluasnya kekerasan yang meluas ke wilayahnya. Sebab, jika situasi di Palestina, terutama Jalur Gaza tidak stabil, akan ada efek terhadap wilayah Mesir, tetangga terdekatnya.

Saat ini Mesir telah berhasil menjadi perantara gencatan senjata. Tentu yang lebih penting lagi adalah negara-negara Arab lainnya pada khususnya dan dunia pada umumnya, harus sama-sama memastikan bahwa gencatan senjata tidak hanya untuk sementara. Sehingga tidak ada serangan berikutnya.

Para petinggi Israel harus terus ditekan, sebab faktanya pasukannya masih saja menyerang jamaah kaum Muslimin yang hendak shalat di Masjidil Aqsa. Situasi di Shaih Jarrah pun belum sepenuhnya kondusif.

Gencatan senjata saat ini harus menjadi awal dari proses politik yang menjamin pembentukan negara Palestina merdeka dan berdaulat dalam waktu dekat, dengan Al-Quds sebagai ibu kota abadinya. Semoga. (A/RS2/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.