Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mewaspadai Duri Dakwah

Bahron Ansori - Senin, 15 Oktober 2018 - 12:23 WIB

Senin, 15 Oktober 2018 - 12:23 WIB

21 Views

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

Apa jadinya jika Islam tanpa dakwah. Secara bahasa, dakwah berasal dari bahasa Arab: دعوة‎, da’wah; “ajakan”, adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah sesuai dengan garis akidah, syariat dan akhlak Islam. Kata dakwah merupakan masdar (kata benda) dari kata kerja da’a yad’u yang berarti panggilan, seruan atau ajakan.

Dakwah sangat diperlukan untuk menyebarkan syariat Islam ini. Karena itu, dakwah menjadi sebuah kewajiban yang harus dilakukan setiap muslim. Tanpa dakwah, maka Islam ini tidak akan tersebar luas ke belahan bumi. Tanpa dakwah, maka rahmatnya Islam tidak akan dirasakan oleh penduduk dunia yang masih hidup dalam kegelapan (dzulumat).

Namun, dalam kenyataannya, tidak setiap muslim bisa melakukan dakwah. Jika pun ia bisa melakukannya, maka tak jarang ia tertusuk duri-duri dalam berdakwah. Karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam dakwah adalah menyampaikan kebenaran dengan penuh kesabaran. Sebaliknya, jika duri-duri itu sudah menusuk kaki, maka ia akan jatuh dan terhempas dari jalan dakwah.

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Terkait duri-duri dalam dakwah itu, secara tegas, Allah Ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya,

وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ

“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (Qs. Ali Imran: 164)

Di dalam ayat di atas setidaknya memberikan pelajaran sangat penting dalam sebuah perjuangan menyebarkan agama islam dan mengajak kepada kebaikan (dakwah). Dalam berjuang dan berdakwah, para rasul dan pengikutnya, tidak pernah berputus asa, menjadi lemah ataupun berhenti dalam dakwah meskipun cobaan datang silih berganti menimpa mereka.

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Ayat di atas, memberikan gambaran kepada setiap muslim bahwa dalam dakwah harus berhati-hati sebab di sana ada duri-duri yang sewaktu-waktu bisa saja menusuk kaki. Setidaknya ayat di atas memberi gambaran jelas bahwa ada  beberapa sifat yang mesti diwaspadai oleh para dai penyeru kebenaran sehingga mereka tidak terjatuh di jalan dakwah.

Pertama, Wahn  (famaa wahanu). Sifat wahn dapat diartikan seperti dalam sebuah hadis ketika para sahabat bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang sebuah penyakit wahn, “Wama al-wahn ya Rasulallah?” Rasulullah menjawab, “Hubbuddunya wa karohiyatul maut” Cinta dunia dan takut mati.

Wahn adalah sifat cinta dunia dan takut mati. Sifat wahn banyak merenggut para penyeru  kebenaran yang berguguran satu demi satu. Bisa jadi karena tidak kuat atas siksaan, ataupun godaan manisnya dunia yang melenakan. Seorang dai yang telah memasuki arena dakwah dalam pertarungan hak dan kebatilan akan dihadapkan dengan hal ini. Sejarah telah menceritakan itu.

Bukankah Rasulullah juga pernah ditawari harta yang bergelimang? Tawaran untuk menjadi penguasa di jazirah Arab? Serta dijanjikan wanita Arab yang paling mempesona? Asalkan Rasul meninggalkan dakwahnya. Namun, jawaban yang Rasulullah katakan adalah, “Kalau sekiranya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku niscaya aku tidak akan meninggalkan dakwah ini.”

Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin

Lihatlah, betapa teguhnya pendirian Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan seandainya mereka orang-orang kafir itu mampu meletakkan matahari di tangan kanannya, dan bulan di tangan kirinya, maka Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan pernah sekalipun meninggalkan dakwahnya.

Kedua, Wama dho’ufu (sifat lemah). Tidak ada satupun perjuangan di dunia ini, termasuk mendakwahkan kebenaran tanpa menemu hambatan. Kebenaran adalah musuh bagi kebatilan, karena itu sifat lemah bagi seorang dai hanya akan membuatnya jatuh berguguran di jalan dakwah sebelum ia merasakan nikmatnya berjuang.

Jangankan kita, ketika Nabi Musa As mendakwahi Fir’aun dan mengajaknya untuk mentauhidkan Allah, maka Nabi Musa pun mendapat ancaman yang tidak kalah sengit.  Namun, apakah Nabi Musa bersifat dan bersikap lemah? Tidak, Nabi Musa terus membangun rasa optimis dan tawakal kepada Allah bersama para pembantunya.

Lihat pula bagaimana Abu Jahal dan golongannya mencoba untuk menghalang-halangi dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat? Apakah Nabi bersikap lemah, walau tidak sedikit sahabat yang menemui kematian akibat siksaan orang-orang kafir? Tidak, sekali lagi, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam terus bangkit hingga Islam benar-benar jaya di masanya.

Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa

Sifat lemah inilah yang harus selalu diwaspadai oleh seorang yang hendak menyampaikan kebenaran. Tidak sedikit orang yang tertusuk duri di jalan dakwah ini. Maka, tidak ada kekuatan bagi seorang penyampai kebenaran kecuali selalu memohon perlindungan kepada Allah dan bertawakal hanya kepada-Nya.

Ketiga, wamastakanu (berdiam diri). Para dai adalah orang-orang yang tidak pernah berdiam diri. Sekali saja mereka berdiam diri, artinya sama saja mereka sudah tertusuk duri-duri dakwah itu. Para pejuang kebenaran itu selalu mencoba untuk terus bangkit dan bangkit lagi meski situasi dan kondisi di lapangan cukup sulit.

Hatinya gundah, pikirannya kalut bila melihat kemaksiatan terjadi di mana-mana. Bagaimana mungkin hatinya menjadi tenang bila kelak ia akan ditanya oleh Allah tentang apa yang sudah ia lakukan untuk mencegah manusia dari melakukan kemaksiatan di muka bumi ini.

Andai mencegah kemaksiatan dan kemungkaran itu belum juga menampakkan hasilnya, maka seorang penyeru kebenaran tidak akan berkcil hati. Ia sadar semua penentu kehidupan ini adalah Allah Ta’ala. Baginya, yang terpenting adalah sebuah proses harus dilakukan dan dilalui. Allah hanya melihat proses yang dilakukan hamba-Nya. Adapun hasil hanya Allah saja yang mengetahui.

Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati

Ketiga hal di atas adalah duri-duri dakwah. Bukan tidak mungkin salah satu dari ketiga duri itu akan menusuk kaki seorang dai yang sudah lama berpijak pada kebenaran. Bukan tidak mungkin seorang dai terjatuh di medan dakwah karena desakan ekonomi yang begitu kuat.

Bukan tidak mungkin seorang dai yang sudah punya reputasi dakwah internasional akan terperosok akibat tusukan duri dakwah  bernama al wahn, sifat lemah dan berdiam diri karena sudah merasa lelah. Akibatnya, kemaksiatan dan kemungkaran terus menguat dan menyebar ke berbagai pelosok negeri. Bila sudah begitu, maka Allah tak lama lagi akan menegur manusia dengan menitipkan bencana gempa dan tsunami pada bumi.

Dalam ayat selanjutnya, Qs. Ali Imron ayat 147, Allah mengajarkan sebuah doa untuk para penyeru kebenaran agar senantiasa teguh menyampaikan kebenaran. Doa itu adalah, “Robbanaa ighfir lana dzunubanaa wa isrofanaa fii amrinaa wa tsabbit aqdaamanaa wanshurna ‘alal qoumil kafiriin”. Artinya, “Wahai Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami, dan sikap berlebihan kami dalam urusan kami, kuatkanlah langkah kaki kami, dan tolonglah kami atas orang-orang yang kafir.”

Semoga Allah senantiasa menguatkan langkah para penyeru kebenaran (dai) dan menjauhkannya dari duri-duri dakwah yang bisa membuat kaki berdarah dan terjatuh. Tak ada kata terlambat untuk mengambil peran besar dan penting dalam menyeru kebenaran melalui berbagai cara. Karena menjadi penyeru kebenaran adalah profesi mulia sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya, “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah subhanahu wa ta’ala, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (Qs. Fushshilat: 33)

Baca Juga: Menjaga Akidah di Era Digital

Al-Imam Abdur Razzaq rahimahullah dalam Mushannaf-nya meriwayatkan dari Ma’mar, dari al-Hasan, beliau berkata tentang tafsir ayat (di atas), “(Yang disebutkan dalam ayat) ini adalah kekasih Allah Subhanahu wa ta’ala, wali Allah, yang terbaik di sisi Allah subhanahu wa ta’ala dan pilihan Allah subhanahu wa ta’ala. Dia adalah penduduk bumi yang paling dicintai Allah oleh subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala menerima dakwahnya. Ia mengajak manusia kepada apa yang telah Allah subhanahu wa ta’ala terima dari dakwahnya, dan ia beramal saleh dalam penerimaan-Nya. Kemudian ia berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.’ Inilah khalifah Allah subhanahu wa ta’ala.” (Tafsir Ibnu Katsir). (A/RS3/RI-1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Amerika itu Negara Para Pendatang!

Rekomendasi untuk Anda

MINA Health
Kolom
Kolom
Indonesia
Kolom