Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA
Bagaimana mungkin seorang muslim bisa mengamalkan Islam dengan penuh keyakinan jika pemahaman tentang syahadatainnya saja masih belum benar. Karena itu, penting bagi seorang muslim untuk mengenal dan memahami apa itu syahadatain. Tujuannya jelas, jika benar memahami syahadatain yang memang menjadi pondasi awal keislamanan seseorang, maka bangunan-bangunan di atasnya akan berdiri kokoh.
Jika seseorang telah benar-benar memahami dan meyakini dua kalimat syahadat, maka pastilah akan tumbuh dalam dirinya al-mahabbah (kecintaan) kepada Allah semata,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ ۗ
“…dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah, 2: 165).
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Kecintaan kepada Allah Ta’ala diantaranya dibuktikan dengan ar-ridho (sikap rela), yakni menerima Allah sebagai Rabb, menerima Islam sebagai agama, dan menerima Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Rasul.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ذَاقَ طَعْمَ الْإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا
“Akan merasakan kelezatan iman, orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Rasul” (HR Muslim).
Dengan sikap ridha seperti itu, berarti mereka benar-benar telah mewarnai dirinya dengan shibghatallah.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
صِبْغَةَ اللَّهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةً وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ
“Shibghah (celupan) Allah, dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah.” (QS. Al-Baqarah, 2: 138).
Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwa shibghatallah maknanya yaitu “Agama Allah”. Hal senada diriwayatkan dari Mujahid, Abul ‘Aliyah, ‘Ikrimah, Ibrahim, al-Hasan al-Bashri, Qatadah, ‘Abdullah bin Katsir, ‘Athiyah al-‘Aufi, Rabi’ bin Anas, as-Suddi, dan lain-lain.
Jadi, orang yang memahami dan yakin kepada syahadatain, pastilah qalbu, akal, dan jasadnya akan terwarnai oleh agama Allah Ta’ala.
Pengaruh Syahadatain
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Interaksi seorang manusia dengan syahadatain mewarnai kondisi hati (qalban) manusia; menjadikan segala hal yang berkaitan dengan keyakinan, kepercayaan, opini, dan asumsinya (i’tiqadan); motivasi, tujuan, ketetapan hati, tekad, dan keinginannya (niyyatan) terwarnai oleh agama Allah Ta’ala. Tidak lapuk oleh hujan, tidak lekang oleh panas. Tidak terpengaruh oleh situasi dan kondisi. Tidak lemah karena bencana, tidak lesu, dan tidak menyerah kepada musuh.
وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ
“dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran, 3: 146).
Akal mereka beserta pemikiran, gagasan, ide, konsep, opini, dan pandangannya (fikrah); serta metode dan cara hidupnya (minhajan) pun akan senantiasa mengacu kepada nilai-nilai syahadatain,
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.”(Al-An’am, 6: 153).
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
Mereka tidak putus-putusnya berdzikir dan berfikir sehingga memahami dan merasakan keagungan al-Khaliq, kekuasaan-Nya, keluasan ilmu-Nya, hikmah-Nya, juga rahmat-Nya.
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal..” (QS. Ali Imran, 3: 190).
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan Kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah Kami dari siksa neraka.’” (QS. Ali Imran, 3: 191).
Jasad mereka beserta seluruh perbuatan, tindakan, dan aksinya (‘amalan); serta seluruh pelaksanaan dan implementasinya ( tanfidzan) akan senantiasa mengacu kepada nilai-nilai Islam.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
وَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَيُوَفِّيهِمْ أُجُورَهُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
“Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, maka Allah akan memberikan kepada mereka dengan sempurna pahala amalan-amalan mereka; dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Ali Imran, 3: 57).
Kesimpulannya, interaksi dengan seseorang dengan syahadatain pada akhirnya akan melahirkan taghyir (perubahan) pada qalbu, akal, dan jasad seseorang. Lihat bagaimana syahadatain telah mengubah Umar bin Khattab dari seorang penentang dakwah menjadi pembela dakwah. Syahadatain mengubah Mush’ab bin Umair seorang pemuda perlente, menjadi duta dakwah pembuka hidayah bagi penduduk Madinah.
Syahadatain mengubah Salman Al-Farisi -seorang yang diperbudak-, menjadi tokoh terhormat karena sarat kontribusinya kepada Islam. Lihatlah bagaimana syahadatain menanamkan izzah pada Rib’i bin Amir sehingga mampu berbicara lantang di hadapan Rustum -panglima perang Persia-, padahal ia hanyalah prajurit biasa. Wallahu A’lam.(A/RS3/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-2] Rukun Islam, Iman, dan Ihsan