Oleh: Datuk Haris Molana, wartawan Portal Satu di Aceh
Ratusan orang berdesakan di Meunasah Sagoe, Kecamatan Seunuddon Baro, Aceh Utara, Ahad 10 Mei 2015. Di sinilah tempat penampungan sementara bagi ratusan warga Rohingya yang mendarat usai terombang-ambing di lautan, sebelum akhirnya diangkut ke Markas Polres Aceh Utara.
Wajah mereka terlihat letih, baju yang dikenakan kumel dan beberapa diantaranya merintih kelaparan.
Satu diantara mereka bernama Razu, pria berusia 27 tahun berkulit gelap dan ceking, tapi mampu berdialog dalam bahasa Melayu. Razu bercerita tentang kisah mereka hingga terdampar di pantai Samudera Pasai.
Baca Juga: Tak Ada Tempat Aman, Pengungsi Sudan di Lebanon Mohon Dievakuasi
Awalnya, perahu milik orang Thailand yang dia bersama imigran lainnya tumpangi, kehabisan bahan bakar. Mereka akhirnya terombang ambing di laut lepas.
Menurut Razu, ratusan manusia perahu tersebut berasal dari Myanmar dan Bangladesh. Mereka adalah Muslim yang berangkat menuju Malaysia sejak tiga bulan lalu. Pada tujuh hari terakhir, perbekalan mereka habis. Mereka pun terpaksa menahan lapar dan hanya minum air laut.
Razu bersama teman-temannya berangkat ke Malaysia dengan menyewa boat tongkang dan ditemani agen dari Thailand serta Burma. Sejak awal mereka membayar biaya perjalanan laut itu kepada para agen dengan harga 7.000 Ringgit per jiwa.
“Namun di perbatasan Malaysia kami ditinggalkan oleh mereka. Kami ternyata ditipu oleh agen ilegal tersebut,” katanya.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Razu mengungkapkan, dirinya dan keluarga Myanmar lainnya, terpaksa meninggalkan negaranya lantaran tidak diakui sebagai warga negara oleh pemerintahan rezim Myanmar.
Pemerintah Myanmar tidak mengakui kewarganegaraan etnis Rohingya, karena menganggap masyarakat Muslim ini bukan kelompok etnis yang sudah ada di Myanmar, sebelum kemerdekaan Myanmar pada 1948. Hal itu ditegaskan kembali oleh Thein Sein, Presiden Myanmar dalam laporan Al Jazeera pada 29 Juli 2012, bahwa negaranya tidak mungkin memberikan kewarganegaraan kepada kelompok Rohingya yang dianggap imigran gelap dan pelintas batas dari Bangladesh itu. Mereka menyebutnya orang “Bengali”.
Dalam catatan PBB, Rohingya hanya disebut sebagai penduduk Muslim yang tinggal di Arakan atau Rakhine, Myanmar. Dari sudut kebahasaan, bahasa yang diklaim sebagai bahasa Rohingya sebenarnya termasuk ke dalam rumpun bahasa Indo-Eropa, khususnya kerabat bahasa Indo-Arya.
Parahnya lagi Muslim Rohingya di Arakan turut mengalami berbagai macam kejahatan dari kelompok Budhis Rakhine dan aparatnya yang sudah termasuk dalam pembersihan etnis.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Di negara ini, desa-desa Muslim dibakar, masyarakat Muslim dibantai, para wanita Muslim diperkosa, harta mereka dijarah, dan yang selamat terpaksa mengungsi ke negara-negara tetangga. Hingga saat ini, penderitaan Muslim di sana belum juga berakhir, termasuk Razu dan ratusan kerabatnya yang terdampar di Aceh Utara ini.
“Oleh agen tersebut kami tak dikasih cakap, tak dikasih makan serta minum. Siapa yang membantah langsung dipukul dan tak tanggung-tanggung digorok dibuang ke laut,” ujar Razu menceritakan pengalamannya di lautan lepas.
Ia mengatakan, semula mereka berangkat menggunakan dua perahu. Namun di tengah lautan lepas, mereka disatukan dalam perahu yang sama lantaran 80 orang lebih saudaranya tewas oleh tindakan agen. Mayat mereka dibuang ke lautan lepas.
“Ayah, ibu, serta kakek saya tewas dibunuh tentara di negara sana,” kata Razu sembari meneteskan air mata. “Burma tak menginginkan kami. Jika kami masuk lagi ke sana, pasti hidup pun sampai segitu saja,” katanya lagi.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Ia mengatakan, warga Rohingya di negaranya mendapat diskriminasi termasuk dalam urusan pernikahan.
Menurut Razu, warga Muslim yang ingin menikah harus berusia 30 tahun. Hal ini berbanding terbalik dengan kelompok agama mayoritas di sana.
“Umur 12 tahun pun bagi wanita dipersilahkan untuk menikah. Ini yang membuat kami tidak tahan di sana,” kata Razu.
Ia ingin ke Malaysia untuk mencari rezeki dan menyambung hidup.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
“Saya ingin menetap di Malaysia atau di Indonesia. Di negara tersebut lebih aman dan bisa mencari rezeki,” kata Razu.
Razu terlihat lelah. Dia belum makan sejak tiba di Meunasah Sagoe. Kondisinya memprihatinkan dan harus mendapat perawatan medis dengan segera. Pakaian-pakaian mereka yang kumal diganti dengan baju baru sumbangan warga setempat.
Sebelum menutup pembicaraan, Razu bertekad untuk bertahan di Indonesia atau Malaysia. Ia juga lebih memilih mati di dua negara ini daripada harus kembali ke tempat asalnya.
Warga setempat terus berdatangan melihat Razu dan kawan-kawan. Mereka memberikan roti, kue basah, kopi, rokok dan makanan lainnya kepada “manusia perahu”.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Ratusan Rohingya dari Myanmar dan Bangladesh ini kemudian mendapat perintah untuk bersiap-siap berangkat menuju Mapolres Aceh Utara. Sementara siang semakin terik merambat pelan menjelajahi Bumi. (T/P001/P2)
Sumber: Portal Satu
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel