Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

MIMPI ORANG AFRIKA ADA DI KEGELAPAN LAUT MEDITERANIA

Rudi Hendrik - Sabtu, 9 Mei 2015 - 03:54 WIB

Sabtu, 9 Mei 2015 - 03:54 WIB

934 Views

Seorang anak Suriah yang tenggelam di Laut Mediterania diangkat oleh Penjaga Pantai Italia. (Foto: dok. MEMO)
Lingkungan miskin Charkos di ibukota Ethiopia, Addis Ababa. (Foto: dok. De Birhan)

Lingkungan miskin Charkos di ibukota Ethiopia, Addis Ababa. (Foto: dok. De Birhan)

Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Charkos di ibukota Addis Ababa, Ethiopia, adalah lingkungan yang tidak berbeda dengan banyak kota-kota lain di negara-negara Afrika.

Lapak-lapak pemukiman dengan lembaran seng, gang yang kotor dengan sanitasi yang buruk.

Cerita-cerita dari warga yang tinggal di lingkungan itu sama dengan cerita warga Afrika yang lain. Kemiskinan, rasa putus asa, kejahatan. Ada beberapa cerita yang positif juga, tapi sangat jauh dibandingkan yang negatif.

Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir

Banyak pemuda di Charkos yang berkeinginan besar ingin pergi, bukan hanya meninggalkan kota, tapi juga meniggalkan Ethiopia, negara itu.

Mereka ingin pergi dengan risiko rute laut dan gurun yang berbahaya. Mereka harus membayar penyelundup ribuan dolar untuk naik perahu, padahal mereka adalah anggota keluarga miskin. Hal itu mereka tempuh semata-mata berharap bisa sampai ke Eropa atau ke negara-negara Teluk.

Misalnya Elias, Biruk dan Bekele, mereka tumbuh besar dengan mimpi suatu hari pergi meninggalkan kota itu, memiliki kehidupan yang lebih baik di benua lain yang jauh dari rumah.

Namun mereka dibunuh oleh pejuang Islamic State atau ISIS bersama migran Ethiopia lainnya di Libya, dalam perjalanan mereka mencoba membuat mimpi itu menjadi kenyataan.

Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia

Ibu Bekele mengatakan, ia bahkan tidak tahu anaknya telah meninggalkannya. Ia baru tahu ketika ada telepon dari Sudan, meminta uang untuk membayar penyelundup yang membantunya melakukan perjalanan melalui gurun Sahara dan ke Libya.

Dari Libya, Bekele berharap menyeberangi laut Mediterania ke Italia dan kemudian  ke salah satu negara Eropa lainnya yang belum diputuskannya.

<a href=

Migran Afrika berakhir di Libya saat mereka melakukan perjalanan, mereka ditangkap oleh Islamic State atau ISIS. (Foto: dok. Mereja.com)" width="300" height="172" /> Migran Afrika berakhir di Libya saat mereka melakukan perjalanan, mereka ditangkap oleh Islamic State atau ISIS. (Foto: dok. Mereja.com)

Lima dari 28 migran Afrika yang dieksekusi massal oleh ISIS di Libya, berasal dari Charkos, termasuk Bekele.

Teman-teman mereka mengatakan, Bekele dan lainnya masih terlihat di Charkos sekitar dua bulan lalu.

Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh

Inilah alasan mereka, meski menantang kematian

Seorang produser Al Jazeera untuk Afrika, Catherine Wambua-soi, mewawancarai beberapa teman Bekele. Berikut ini petikannya:

Al Jazeera: Mengapa teman Anda pergi?

Jawaban: Mereka adalah orang-orang baik yang mencari kehidupan yang lebih baik. Ethiopia tidak cukup bagi mereka, tidak cukup bagi kami.

Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh

Al Jazeera: Apa yang salah dengan tinggal di negeri sendiri, hidup di sini ?

Jawaban: Tidak ada kesempatan. Jika saya tidak pergi, saya akan terjebak di sini dan saya tidak ingin menjadi beban bagi keluarga saya.

Al Jazeera: Tapi ketika Anda sudah mengetahui betapa berbahayanya perjalanan itu, apakah Anda masih mau dengan risiko kematian ?

Jawaban: Saya tahu itu berbahaya, tapi mungkin saya yang menjadi salah satu dari sedikit yang melakukan dengan aman. Jadi ya, saya akan mengambil risiko itu.

Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung

Al Jazeera: Ini perjalanan yang sangat mahal, tidak kurang dari AS $ 3.000. Tentunya dengan uang sebanyak itu, Anda dapat memulai bisnis di sini.

Jawaban: Keluarga kami tidak bisa memberikan kami uang sementara kami berada di sini. Mereka hanya mau membantu ketika ada rencana untuk pergi, karena mereka lebih yakin pada akhirnya mereka dikirimi uang kembali (jika anaknya sukses di negara orang).

Girema yang tidak patah semangat

Michael Girema berusia 20 tahun dan dia sudah berusaha melakukan perjalanan. Pada Maret tahun ini, ia menyeberang ke Sudan dan membayar penyelundup untuk membawanya ke Libya dan selanjutnya dengan perahu menuju Italia.

Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel

Namun perjalanannya hanya sampai ke perbatasan Libya. Penyelundupnya tidak menemui kesepakatan dalam pembayaran dengan polisi perbatasan. Mereka pun kembali ke Sudan dan uang yang mereka telah bayar dalam perjalanan pertama tidak pernah dikembalikan lagi.

“Perjalanan sangat sulit,” kata Girema.”Penyelundup tidak peduli tentang apa pun, kecuali uang.”

Ketika dia ditanya oleh Al Jazeera, apakah ia akan melakukan perjalanan lagi.

“Ya, tidak sekarang, saya tidak punya uang dan itu berbahaya, tetapi ketika kondisi lebih tenang, saya akan mencoba lagi,” jawab Girema.

Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel

Faktor pendorong untuk bermimpi

Menjadi miskin adalah kekuatan pendorong bagi orang-orang untuk meninggalkan Ethiopia.

Beberapa pengamat berpendapat, selain kemiskinan, ada mentalitas lama yang “membutakan” dan masih melekat dalam dekade terakhir, yaitu “hidup lebih baik di luar negeri”, sedangkan di negeri sendiri tidak ada peluang.

Mehari Taddele Maru yang pernah bekerja di migrasi manusia Uni Afrika dan sekarang menjadi konsultan migrasi, perdamaian dan keamanan, mengatakan, “Sebelumnya, selama rezim militer ada pepatah, Anda harus keluar dari negara melalui Bole, bandara, atau Bale, gurun. Ini benar-benar menjelaskan pola pikir yang ada selama bertahun-tahun dan satu dekade. Ini adalah pola pikir psikologi sosial kolektif tentang mimpi sebuah daratan, negara-negara tujuan dengan banyak kesempatan. Ini telah menjadi faktor pendorong.”

Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara

Pemerintah Ethiopia telah menyiapkan beberapa program lokakarya kejuruan untuk memberdayakan para pemuda, termasuk memberikan pinjaman bunga rendah untuk kelompok-kelompok pemuda dan perempuan yang memiliki ide-ide bisnis yang baik, terutama fokus pada bidang pertanian.

Tetapi, sebagian orang mengaku tidak tahu tentang fasilitas yang disediakan pemerintah ini atau mereka mengatakan “terlalu sulit untuk diakses”.

Selama ada kemiskinan, perang saudara, penindasan dan keyakinan kuat bahwa hidup lebih baik di negeri lain, orang-orang akan selalu mencari cara untuk mencoba sampai ke sana, ke “negeri harapan”.

Akhir mimpi di Laut Mediterania

Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu

MIGRAN-25-300x225.jpg" alt="Perahu migran kelebihan muatan dan oleng di tengah laut. (Foto: TORM A/S)" width="300" height="225" /> Perahu migran kelebihan muatan dan oleng di tengah laut. (Foto: TORM A/S)

Cerita ini tidak hanya mewakili mimpi dari warga satu negara Afrika, Ethiopia, tetapi ini adalah mimpi banyak warga negara Afrika lainnya, terutama negara Afrika yang memiliki konflik.

Warga miskin Sudan, Somalia, Mali, Nigeria, Eritrea dan lainnya, termasuk warga Suriah di Timur Tengah, mereka memimpikan hidup di salah satu negara Benua Biru, bekerja di sana kemudian mendapatkan penghasilan dan menabungnya untuk dikirimkan kepada keluarganya di tanah air, atau bisa membawa keluarganya dan berkumpul di tempat yang sama.

Namun sayang, terkadang perjalanan mereka harus berakhir di tangan kelompok Islamic State atau ISIS di Libya. Jika selamat dari Libya, banyak dari mereka harus berakhir di dasar Laut Mediterania ketika perahu mereka terbalik dan karam.

Pada  Sabtu 18 April 2015, sebuah kapal yang membawa sekitar 950 migran dari berbagai negara, bertolak dari pelabuhan Libya menuju benua Eropa, tepatnya ke Italia.

Baca Juga: RSIA Indonesia di Gaza, Mimpi Maemuna Center yang Perlahan Terwujud

Namun pada kegelapan malam, kapal yang sarat muatan tersebut menabrak kapal dagang pembawa peti kemas. Kapal migran oleng dan terbalik lalu karam.

Keesokannya, Polisi Penjaga Pantai Italia hanya menemukan 28 korban selamat di air dan 24 mayat. Selebihnya hilang. Menurut kesaksian korban yang selamat, sekitar 300 orang terkunci di ruang palka ketika perahu itu karam.

Itu bukan insiden pertama, sebelumnya telah banyak perahu yang dinaiki migran terbalik dan tenggelam di Laut Mediterania. Bahkan ada perahu yang pecah dan penumpangnya hanyut hinga ke pulau di laut Yunani

Setidaknya 1.750 orang migran tewas tahun ini karena mencoba menyeberangi Laut Mediterania, peningkatan 20 kali lipat pada periode yang sama pada 2014 di mana hanya 96 orang migran meninggal.

Meskipun mereka bisa berlabuh di Benua Biru, mereka harus melalui proses imigrasi yang sangat panjang dan ketat, terlebih ketika mereka dinyatakan sebagai migrant ilegal. Mereka hanya akan diam terkurung dalam kamp penampungan tanpa kejelasan.

Fenomena gelombang migran dari Benua Afrika yang menyerbu Benua Eropa tanpa henti, menjadi masalah mengkhawatirkan bagi pemerintah Uni Eropa dan masyarakatnya. Mungkin dari sejuta mimpi, hanya satu dua yang menjadi nyata di negeri orang. (T/P001/P2)

Sumber: Al jazeera dan Anadolu Agency

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Afrika
Palestina
MINA Millenia
MINA Health