Jakarta, 3 Ramadhan 1436/20 Juni 2015 (MINA) – Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak seluruh permohonan uji materi terhadap Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya mengenai perkawinan beda agama. Umat Islam patut bersyukur atas keputusan itu.
Namun, Neng Djubaedah SH MH sebagai salah seorang perwakilan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam kasus uji materi ini, menengarai pihak yang kalah akan terus berusaha dan berjuang untuk menggolkan upaya dibolehkannya perkawinan beda agama di Indonesia di lain waktu dan kesempatan.
Pasalnya, seusai sidang, Neng Djubaedah mendengar para penggugat berbicara di belakang arena sidang: “Kita siapkan lagi untuk berikutnya.”
“Jadi nak, kita tetap harus waspada,” ujar Neng, dosen FH Universitas Indonesia dan anggota MUI, dalam pesan pendek yang beredar di lingkungan MUI. demikian siaran pers MUI yang diterima Mi’raj Islamic News Agency (MINA).
Baca Juga: BKSAP DPR Gelar Kegiatan Solidaritas Parlemen untuk Palestina
Fahira Idris, anggota DPD yang termasuk menerima pesan itu, langsung menjawab, “Benar bunda Neng, kita harus tetap waspada karena ‘mereka’ tidak akan tinggal diam.”
Dalam sidang pembacaan keputusan di Gedung MK, Kamis (18/6), MK menolak seluruh permohonan uji materi terhadap Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Seluruhnya. Menurut hakim, undang-undang tersebut sama sekali tidak melanggar konstitusi.
“Mahkamah berpendapat bahwa permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum dan menolak seluruh permohonan yang diajukan pemohon,” kata Hakim Konstitusi, Arief Hidayat dalam sidang putusan di Jakarta.
Dalam pertimbangannya, hakim berpendapat bahwa agama menjadi landasan bagi komunitas, individu, dan mewadahi hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Baca Juga: Warga Israel Pindah ke Luar Negeri Tiga Kali Lipat
Sementara negara, menurut hakim, berperan menjamin kepastian hukum serta melindungi pembentukan keluarga yang sah.
Menurut hakim, bunyi pasal yang menyatakan bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan dicatat sesuai aturan perundangan, bukanlah suatu pelanggaran konstitusi.
Hakim berpendapat bahwa perkawinan tidak boleh dilihat dari aspek formal, tapi juga aspek spiritual dan sosial.
Perkara ini teregistrasi dengan Nomor 68/PUU-XII/2014. Pemohon perkara ini adalah empat orang warga negara Indonesia atas nama Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, dan Anbar Jayadi.
Baca Juga: Timnas Indonesia Matangkan Persiapan Hadapi Bahrain
Mereka menguji Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya berpotensi dirugikan dengan berlakunya syarat keabsahan perkawinan menurut hukum agama.
Menurut pemohon, pengaturan perkawinan sebagaimana yang tercantum dalam aturan tersebut akan berimplikasi pada tidak sahnya perkawinan yang dilakukan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, misalnya nikah beda agama. (T/P002/R02)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Timnas Indonesia Matangkan Persiapan Hadapi Bahrain