Moskow, MINA – Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengharapkan pemerintah Amerika Serikat menutup zona de-eskalasi yang ditetapkan secara unilateral di Suriah utara.
“Sejak awal kehadiran AS di Suriah, orang-orang Amerika mengandalkan PKK atau yang dikenal sebagai kelompok teroris oleh Turki dan sejumlah negara lainnya, kata Sergey kepada Euronews dikutip Mi’raj News Agency (MINA), Jumat (16/2).
“Meski mendapat banyak protes dari Ankara, AS telah memasok senjata PKK dan kemudian mengumumkan pembentukan “pasukan perbatasan” tertentu yang terutama terdiri dari orang Kurdi untuk memberikan keamanan di wilayah perbatasan Suriah-Turki. Setelah itu, Turki memberlakukan peringatannya (melalui Operation Olive Branch), kata Sergey.
Menurutnya, untuk bermain dengan isu Kurdi, seperti yang dilakukan AS dengan hanya pemahaman sempit tentang implikasi geopolitiknya sangat berbahaya dan dapat menyebabkan masalah besar bagi tempat tinggal orang Kurdi.
Baca Juga: ICC Keluarkan Surat Perintah Penangkapan Netanyahu dan Gallant
“Perlu dipikirkan bagaimana memastikan hak yang sama untuk orang Kurdi di dalam batas negara-negara, dimana mereka berada dan tidak mendorong untuk melakukan separatisme,” Lavrov menyimpulkan.
Pada 20 Januari, Turki meluncurkan Operation Olive Branch untuk membersihkan teroris PYD/PKK dan ISIS dari Afrin di Suriah utara.
Menurut Staf Umum Turki, operasi tersebut bertujuan untuk membangun keamanan dan stabilitas di sepanjang perbatasan Turki dan wilayah tersebut serta untuk melindungi orang-orang Suriah dari penindasan dan kekejaman teroris.
“Operasi tersebut dilakukan Turki berdasarkan hukum internasional, resolusi Dewan Keamanan PBB, hak pembelaan diri berdasarkan Piagam PBB dan penghormatan terhadap integritas teritorial Suriah,” katanya.
Baca Juga: Turkiye Tolak Wilayah Udaranya Dilalui Pesawat Presiden Israel
Militer Turki juga mengatakan bahwa hanya target teror yang dihancurkan dan “perhatian dan kepekaan yang maksimal” digunakan untuk tidak membahayakan warga sipil. (T/R03/RS1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Setelah 40 Tahun Dipenjara Prancis, Revolusioner Lebanon Akan Bebas