MUADZIN GAZA ASAL LANGKAT SUMATERA UTARA

Oleh Rudi Hendrik, reporter Mi’raj islamic News Agency (MINA).

Namanya hanya satu kata, yaitu “MULKAN”. Pria kelahiran Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara itu, selama 16 tahun berjuang menafkahi keluarganya dengan bekerja sebagai kasar di perkebunan karet dan kelapa sawit. Selama masa kerjanya itu, Mulkan bekerja menyadap karet, memetik sawit hingga beralih ke bagian gudang.

Pria berpendidikan akhir Sekolah Dasar (SD) ini sudah berhasil memproduksi enam orang putera.

 

Ingin daftar, tapi…

Mulkan adalah seorang Muslim yang sudah merapat di dalam kesatuan Jamaah Muslimin (Hizbullah) yang berpusat di Cileungsi, Bogor, Jawa Barat.

Pada saat Taklim Pusat Jamaah Muslimin (Hizbullah) 2012 di Cileungsi, Mulkan pun berangkat dari Medan dan hadir di sana.

Dalam proses taklim tahunan itu, ada pengumuman peluang untuk menjadi ke Gaza atas nama MER-C (Medical Emergency Rescue Committee), sebuah lembaga kemanusiaan di bidang medis dan kegawatdaruratan.

Gaza adalah wilayah Palestina yang  rawan perang, diblokade rapat oleh otoritas Israel dan Mesir. Dalam kondisi rakyat yang terpenjara di daerahnya, Gaza sudah mengalami dua serangan brutal Israel dari darat, udara dan air pada tahun 2008/2009 dan 2012.

Di wilayah ini para relawan MER-C akan bekerja membangun proyek Rumah Sakit (RS) Indonesia, proyek dari rakyat Indonesia untuk rakyat Palestina.

Saat mendengar pengumuman peluang ke Gaza sebagai relawan, Mulkan mengaku ada keinginan.

“Tapi saat itu saya tidak mendaftar, karena salah satu syaratnya harus bermodalkan Bahasa Arab,” katanya.

Dari Sumatera Utara akhirnya ada yang mendaftar sembilan orang, namun di tengah perjalanan, ketika diminta mengurus paspor dan sebagainya, mereka tidak menyanggupi, entah apa alasannya. Maka mereka pun batal berangkat.

Suatu hari, Wali Imam Jamaah Muslimin (Hizbullah) untuk Wilayah Medan berkata kepada Mulkan, “Bagaimana ini, dari sini tidak ada yang berangkat?”

Tanpa pikir panjang lagi, Mulkan menjawab, “Ya sudah, saya saja.”

Namun setelah itu, Mulkan mengaku dirinya bingung sendiri. Saat itu memang ada rasa khawatir juga, karena Gaza adalah daerah konflik.

Namun isteri Mulkan berkata, “Ya sudahlah, serahkan saja semuanya kepada Allah.”

Sejak itulah Mulkan memupuk keberanian dan bersandar hanya kepada Allah.

Anak tertua yang berusia 13 tahun, sempat mempertanyakan tentang sekolah mereka dan makan bagi keluarga yang nanti ditinggal.

“Tidak usah khawatir, kita kan punya Allah,” kata Mulkan menenangkan anaknya.

Mulkan yang sebelumnya tidak pernah menjadi relawan itu, memberikan surat pengunduran dirinya ke perusahaan melalui teman setelah berangkat ke Gaza. Hal itu dia lakukan karena khawatir pengunduran dirinya ditolak.

 Masuk Gaza

Getar-getar rasa khawatir masih bercokol di hati Mulkan ketika gerbang Rafah, gerbang perbatasan Gaza dengan Mesir, sudah di depan mata.

Namun setelah melewati gerbang Rafah yang berarti masuk ke tanah Gaza, ternyata rasa khawatir dan takut itu hilang sama sekali. Meskipun ada serangan bom dari Israel, yang menghajar Gaza di hari itu juga.

“Tapi kami serasa seakan-akan sudah lama tinggal di Gaza, serasa sudah terbiasa,” kata Mulkan.

Dalam aktivitas membangun RS Indonesia di sana, awal-awal tugas Mulkan adalah pembantu tukang, karena memang dia mengaku tidak memiliki keahlian di bidang itu.

Mulkan berangkat semata-mata bermodal niat karena Allah semata, melaksanakan amanah Imam (pemimpin tertinggi dalam Jamaah Muslimin), dan meyakini bahwa apa yang dia lakukan dengan berangkat ke Gaza adalah “jihad”, meski hanya bekerja sebagai tukang yang membangun sebuah rumah sakit traumatologi.

Kemudian, tiga bulan terakhir dia membantu di bagian masak.

Selama di sana, Mulkan mengaku mengalami kesulitan pribadi dari segi bahasa ketika berkomunikasi dengan masyarakat Gaza. Kesulitan lainnya adalah perasaan awal karena jauh dari keluarga.

“Sebab, anak saya enam, mau tidak mau  saya terpikirkan tentang nafkahnya,”ungkap Mulkan. “Sesekali saya pernah komunikasi dengan keluarga, alhamdulillah kondisi mereka baik-baik saja. Selama saya berada di Gaza, tidak ada berita buruk dari isteri dan anak-anak saya.”

Namun sekembalinya dari Gaza, Mulkan baru mengetahui bahwa anak dan isteri pernah jatuh sakit cukup parah. Isterinya pernah mengalami sakit hingga tidak dapat bangun.

Meski ditinggal selama satu setengah tahun, kondisi ekonomi keluarga yang ditinggal justeru kian meningkat. Selama sang suami menjadi relawan di Gaza, isterinya berjualan dan menerima jahitan pakaian.

Mulkan mengaku bahwa sebulan sekembalinya dari Gaza, dia belum bekerja lagi.

 

Positifnya Masyarakat Gaza

Bekerja dan tinggal di Gaza dalam waktu yang cukup lama untuk ukuran seorang relawan, Mulkan dan relawan lainnya sudah tentu sering berkomunikasi dengan penduduk setempat.

“Ketika berbaur dengan masyarakat Gaza, yang saya rasakan adalah begitu ramahnya mereka terhadap orang asing. Jika kita datang ke rumahnya bertamu, mereka sangat senang sekali,” ujar Mulkan.

Mulkan sangat akrab dengan dua keluarga, yaitu keluarga Ahmad dan Solhah. Begitu cintanya Solhah kepada Mulkan, sampai ia melekatkan namanya ke nama Mulkan, menjadi “Mulkan Muhammad Dahlan Solhah”.

Selain keramahan mereka, masyarakat Gaza juga suka mendoakan orang lain jika berjumpa dengannya. Doanya macam-macam, ada yang artinya “Semoga Allah meridhaimu”, “Semoga Allah menjagamu” dan sebagainya.

Masyarakat Gaza juga sangat suka membaca Al-Quran. Jika di masjid untuk shalat berjamaah, meski satu menit lagi qomat, mereka tetap mengambil Al-Quran dan membacanya. Ada yang mengambil Al-Quran lalu baca satu ayat, kemudian qomat. Seperti itulah gambaran kecintaan mereka terhadap Al-Quran.

 

 

Muadzin di Gaza

Awal cerita, Abu Tejo asal Wonogiri, ditawari oleh pembantu masjid bernama Nasri untuk adzan di Masjid Jawiyah yang posisinya tidak jauh dari RS Indonesia. Namun Abu Tejo justeru menunjuk Mulkan, sehingga Nasri pun menyuruh pria asal Langkat, Sumatera Utara itu adzan.

Maka Mulkan pun adzan. Apa yang terjadi?

Mendengar suara adzan tidak seperti biasanya, para jamaah yang datang ke masjid bertanya, “siapa yang adzan tadi?”

Nasri menjawab, “Indinisi… Indinisi…. (Orang Indonesia).”

Beberapa jamaah masjid langsung mengungkapkan pujiannya kepada Mulkan, bahwa suara Mulkan indah. Salah satu budaya masyarakat Gaza adalah suka memuji sesuatu yang baik.

“Suara kamu bagus,” puji beberapa jamaah.

“Ini dari Allah,” jawab Mulkan merendah.

Besoknya ternyata Mulkan disuruh adzan lagi. Sehingga jamaah selalu bertanya siapa yang adzan.

Pada hari Kamis, hari keempat mulai adzan, ada seorang pengusaha asal Jabaliya bernama Ahmad. Karena mendengar suara adzan Mulkan, dia tiba-tiba berhenti dan memarkir mobilnya, lalu mencari orang yang adzan dengan merdunya.

“Siapa yang adzan tadi?” tanyanya.

Setelah kenal dengan Mulkan, Ahmad mengundangnya makan pada hari Jumat.

“Saya jadi muadzin hingga para relawan kembali ke Indonesia. Saya adzan pada waktu Zuhur dan Maghrib, karena relawan selalu shalat jamak,” kata Mulkan. “Terkadang saya dijemput oleh jamaah hanya untuk adzan saja, sebab masjid tidak terlalu jauh.”

Ingin maka terkabul

Selama di Gaza, Mulkan dan relawan yang lainnya seringkali mengalami satu peristiwa serupa yang cukup ajaib, dan itu diakui oleh beberapa relawan.

Kejadian  itu adalah ketika perindividu atau perkelompok menginginkan suatu makanan tertentu yang belum ada di depan mata, maka tidak lama kemudian Allah berikan makanan yang mereka maksud.

Ketika beberapa relawan sedang jalan-jalan, mereka berseloroh, “Ayo, hari ini mau makan apa?”

“Saya mau makan nasi dan ayam,” jawab Mulkan.

Ternyata, setelah shalat berjamaah, ada yang mengundang makan dengan makanan persis yang mereka ucapkan.

Contoh dari relawan yang lain, Karidi asal Wonogiri. Dalam perjalanan pulangnya ke rumah sakit, di jalan dia melihat roti di salah satu toko. Dia ingin membeli, tapi uangnya belum ada. Namun ketika tiba di rumah sakit, ternyata salah satu relawan sudah membeli roti yang serupa dengan yang diharapkan Karidi.

Ternyata di tanah Gaza yang merupakan bagian dari Bumi Syam yang diberkahi, keinginan seseorang mudah dikabulkan oleh Allah.

 

Kembali ke Gaza

Ketika pembangunan RS Indonesia sudah selesai 100 persen pada Desember 2013, maka tugas para relawan pembangunan pun selesai.

Setelah menunggu satu bulan untuk bisa keluar Gaza, para relawan akhirnya bisa menembus gerbang Rafah.

Sekeluarnya relawan dari Gaza, Mulkan mengatakan kepada teman-teman relawan yang lain, “Kita ini tidak pulang.”

“Kalau tidak pulang, apa namanya?” tanya relawan yang lain.

“Kita ini silaturahim kepada keluarga kita. Jika silaturahim, berarti kita akan pulang kembali ke negeri kita (Gaza).”

Terbukti, beberapa relawan akan kembali lagi ke Gaza bersama beberapa relawan yang baru.

Mulkan mengungkapkan, ketika meninggalkan Gaza, sama seperti yang lainnya, ada rasa gembira karena akan bertemu dengan isteri dan anak, serta kerabat lainnya.

Tapi setelah melewati Rafah, sampai ke Sinai, Mesir, mereka merasakan ada perasaan sedih dan ingin menangis, seolah-olah mereka meninggalkan keluarga mereka sendiri di Gaza.

Ketika pulang ke Medan, tetangga atau pun teman kerja di sana, tidak ada yang tahu bahwa Mulkan baru pulang dari Gaza. Karena memang, keberangkatan Mulkan ke Gaza tidak disebarluaskan ke tetangga sekitar.

Lama setelahnya, barulah berita tersebar.

“Ada teman yang menyebut saya gila,” kata Mulkan. (P09/EO2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA).

 

 

 

Comments: 0