DI TENGAH semangat kebangkitan dakwah dan pembinaan umat, muncul kebutuhan akan sebuah pusat kegiatan yang dapat menjadi wadah bagi para ikhwan untuk berkumpul, berdiskusi, dan memperdalam ilmu agama. Konsep markaz sebagai pusat ibadah, kegiatan, pembinaan, dan pendidikan pun menjadi penting dalam sejarah perkembangan Taklim Pusat.
Awal mula konsep markaz dapat ditelusuri ke Lampung. Pada masa itu, di Jabodetabek, para ikhwan menghadapi kesulitan dalam berkonsolidasi karena tempat tinggal mereka tersebar di berbagai wilayah. Hal ini memunculkan inisiatif untuk memiliki satu lokasi pusat yang dapat menampung kegiatan dakwah dan pembinaan secara lebih terstruktur.
Pada tahun 1975, di bawah koordinasi Angga Jayadi, dibeli sebidang tanah di Muhajirun dengan luas 82,3 hektare. Saat pertama kali ditempati, wilayah tersebut masih dipenuhi semak belukar.
Para ikhwan yang menetap di sana mendirikan rumah-rumah sederhana dengan dinding bambu dan lantai tanah, yang kemudian disebut sebagai “rumah derita.” Di tempat inilah mulai terwujud konsolidasi jama’ah, seiring dengan pembangunan masjid sementara sebagai pusat kegiatan ibadah dan dakwah.
Baca Juga: Dapur Taklim Pusat Ponpes Al-Fatah Siapkan Puluhan Ribu Porsi untuk Jamaah
Perkembangan ke Cileungsi
Pada tahun 1980, musyawarah alim ulama dan umara di Muhajirun menghasilkan keputusan penting: perlunya mendirikan markaz di Jakarta sebagai pusat kegiatan, pembinaan, dan pendidikan. Sejalan dengan takdir Allah, pada tahun 1979-1980, tanah di daerah Cileungsi ditawarkan dengan harga 500 rupiah per meter oleh tokoh setempat. Tahun 1980 pun menjadi saksi pembangunan masjid dan beberapa rumah untuk para ustaz.
Santri pertama yang mengawali perjalanan pendidikan di markaz ini berasal dari Pagar Alam, Sumatera Selatan. Menurut Ustaz Abul Hidayat Saerodjie, kegiatan ta’lim di Jakarta yang awalnya hanya diadakan sebulan sekali antara tahun 1980-1983, akhirnya berkembang menjadi Taklim Wilayah Jabodetabek dan kemudian menjadi Taklim Pusat yang diselenggarakan di Cileungsi.
Perjalanan Taklim Pusat
Baca Juga: Sebagian Profit Sewa Bazar Tablig Akbar Cileungsi Didonasikan untuk RSIA Gaza
Dahulu, taklim tidak hanya diadakan di bulan Sya’ban. Karena keterbatasan kebebasan dalam berdakwah, Ustaz Abul Hidayat Saerodji memberikan saran mengadakan taklim pada bulan Sya’ban mendekati Ramadhan, ta’lim diadakan sebagai pembekalan menjelang Ramadhan. Awalnya, kegiatan ini hanya berupa taklim umaro dan taklim umum.
Para pemateri dalam kegiatan ini di antaranya adalah Ustaz Saefuddin, Ustaz Siradj, Ustaz Fadhil, Ustaz Jamiri dari Lampung, Ustaz Hasyim, dan Ustaz Abul Hidayat.
Saat itu, taklim umara dilaksanakan pada malam hari, sementara taklim umum diadakan pada siang hari. Selain itu, kerja bakti mingguan dilakukan untuk membenahi fasilitas, termasuk jalan menuju markaz.
Seiring waktu, Taklim Pusat berkembang menjadi lebih dari sekadar tempat pengajian. Percontohan pondok pesantren dan perkampungan muslim mulai dibangun di Cileungsi, memungkinkan santri dan masyarakat untuk mempraktikkan Islam secara nyata dalam kehidupan bermasyarakat. Kerja sama dengan pihak luar pun mulai terjalin, termasuk program pesantren kilat selama Ramadhan yang mengundang peserta dari luar komunitas markaz.
Baca Juga: Merunut Jejak, Sekarang Taklim Pusat ke-42
Taklim Pusat di Masa Kini
Taklim Pusat bukan hanya menjadi ajang koordinasi, tetapi juga memperkuat ukhuwah dan silaturahmi, memberikan informasi, ilmu, serta memfasilitasi konsolidasi para umaro dalam menyelesaikan berbagai permasalahan. Dari awal, taklim ini telah memiliki rangkaian acara tersendiri, yang kemudian berkembang sesuai kebutuhan zaman.
Di kemudian hari, istilah “Festival Sya’ban” muncul sebagai bentuk modernisasi dari taklim yang dulu hanya terdiri dari taklim umara dan taklim umum. Konsep ini bahkan diterapkan di luar negeri, seperti di Pattani, Thailand, dengan format acara yang mencakup musabaqoh, bazaar dan puncaknya berupa tabligh akbar.
Ustaz Abul Hidayat berpesan agar perjalanan Taklim Pusat ini tetap berlanjut, dengan prinsip yang tidak berubah meskipun bentuk pengembangannya bisa bervariasi.
Baca Juga: Bazar Festival Sya’ban 1446 H Resmi Dibuka
Pemahaman tentang jamaah dan konsep “Khilafah Ala Min Hajin Nubuwah” harus tetap menjadi pegangan dalam setiap langkah dakwah dan pembinaan.
Dari sebuah tanah semak belukar di Muhajirun hingga berkembang ke Cileungsi, Taklim Pusat telah menjadi pilar penting dalam pembinaan umat Islam di Indonesia.
Sejarah awalnya menjadi bukti betapa semangat dakwah dan kebersamaan mampu menciptakan perubahan besar bagi masyarakat. [Fathurrahman Ar-Rasyid]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Cerita Arul Nasrullah; Taklim Pusat Saatnya Baju Baru dan Jajan Bakso