SELASA, 9 Juli 2024 ruas Jalan Tol Cimanggis-Cibitung diresmikan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia Prof. Dr. K.H. Ma’ruf Amin di Jembatan Sungai Cileungsi KM 57+400. Ruas jalan tol tersebut menghubungkan Cimanggis-Cibitung Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Jalan tol itu membelah Cileungsi, melingkari pinggiran kawasan Pesantren Al-Fatah di Dusun Pasirangin. Kampung yang dulunya hutan belantara, kini telah berubah menjadi kawasan ramai penyangga ibu kota, Jakarta.
Tol yang membelah Cileungsi dan pinggiran Dusun Pasirangin itu, mengingatkan Muazzuhrani pada ’janji’ Imaam Muhyidin Hamidy yang sering menghibur dia dan suaminya Ustaz Siradjuddin bin Arsyad saat pertama kali hijrah ke Cileungsi pada tahun 1980.
Lahir tahun 1948, Muazzuhrani, orang biasa memanggilnya Bu Emis atau Bu Siradj. Emis adalah anaknya, bernama lengkap Misfil Laili Rahmi, istri dari M Tobri penyanyi yang kelak menjadi Muazin dengan suara khas di Pasirangin.
Baca Juga: Rima Hassan, Suara Perlawanan dari Kapal Madleen Menuju Gaza
Bu Emis, pernah tidak betah dan enggan pindah ke Cileungsi yang masih hutan belantara, terutama di Dusun Pasirangin. Hanya karena menemani suaminya, Bu Emis tak punya pilihan kecuali taat bersama di jalan dakwah, menebar sunnah mengajak orang untuk mengamalkan hidup berjamaah.
”Saya gak mau ke sini pindah. Anak-anak masih kecil, pada nangis. Tapi waktu itu Imaam Hamidy sering bilang, udah gak usah sedih, nanti di sini akan ada jalan tol, akan ada jalur kereta api. Sudah yang betah ya,” ujar Bu Emis mengingat perkataan Imaam Hamidy saat menghibur mereka ketika pertama kali pindah ke Pasirangin.
Sebelum ke Cileungsi, pada tahun 1976, Ustaz Siradjuddin dan Bu Emis menetap di Talang Padang, Tanggamus, Lampung. Mereka kemudian diamanahkan mendampingi Imaam Wali Al-Fattaah di Tanjungpriuk, Jakarta Utara.
Sebelumnya, Ustaz Rahim Arif lah yang menjadi sekretaris atau kaatib Wali Al-Fattaah. Bu Emis setia mendampingi Ustaz Siraj selama empat tahun di Tanjung Priuk.
Baca Juga: Safiya Saeed, Imigran Somalia yang jadi Walikota Sheffield
Emis dan Ustaz Siradjuddin merupakan orang-orang awal yang menetap dan tahu persis sejarah mula berdirinya Pesantren Al-Fatah. Tahun 1979, Ustaz Siradjuddin hilir mudik ke Cileungsi mencari tanah yang akan dijual untuk pesantren. Ada Bustamin Utje, Toha, Tasrif, mereka termasuk yang dapat amanah pembelian urus tanah di awal tahun 1980.
”Hampir setiap pekan itu, Ustaz Siradj ke sini, urus-urus tanah yang mau dibeli. Susah waktu itu mau beli, masih hutan dan jarang orang yang mau ke kawasan ini,” ujar Bu Emis mengenang pengalaman pertama ikut suaminya mengurus tanah di Cileungsi.
Bu Emis masih ingat, setiap masuk kawasan ini di akhir pekan bersama suaminya, ia akan melewati hutan bambu, kiri kanan banyak pandan duri. Saat waktunya makan siang, Ustaz Siradj biasanya mengajaknya ke rumah Pak Murti di mana di rumah itu mereka akan makan siang, shalat dan istirahat. Pak Murti adalah warga asli Pasirangin, ia sangat paham, seluk belu awal mula pembelian lahan untuk pesantren.
”Jadi setiap Ahad itu ya ke rumah Pak Murti, di situ masak, makan, shalat di rumah itu,” ujarnya.
Baca Juga: Rukhsana Ismail: Walikota Berjilbab Pertama di Rotherham
Tahun 1980, Bu Emis bersama Ustaz Siradjuddin resmi pindah ke Cileungsi. Dari Markas Pisangan, Jakarta mereka totalitas ke Cileungsi, saat itu Ustaz Adjie Muslim dan Sri Aminah, istrinya, sudah lebih dulu berada di Cileungsi, mereka termasuk orang-orang awal yang hijrah dari Lampung ke kampung itu. Baru ada satu bangunan, yaitu Bait Imaam lama yang saat ini jadi Gedung BMT Amanah.
Cileungsi tahun 1980, bukan Cileungsi hari ini. Bu Emis merasakan betul betapa susahnya awal-awal pindah. Jalan setapak, tanah liat becek, jika hujan sandal jepit bisa tertinggal nempel lengket ke tanah, belum ada listrik. Penghasilan tidak ada, hanya ada jatah satu keluarga Rp 500 untuk biaya hidup.
“Kalau anak-anaknya banyak kan nggak cukup. Kadang-kadang ngeliat anak-anaknya tetangga itu kasihan gitu. Lalu nangis. Mencari uang, uang gimana? Mau jualan, jualan apa, orang kan belum ada yang beli,” katanya mengenang masa-masa sulit di Cileungsi.
Meski demikian, Bu Emis mengaku ia tidak terlalu merasakan kekurangan berarti ketimbang yang lain. Saat di Lampung ia memiliki sedikit tabungan dan barang-barang rumah tangga yang tak perlu lagi ia beli saat pertama kali pindah ke Cileungi.
Baca Juga: Madleen Kullab, Nelayan Perempuan Gaza sebagai Nama Kapal Kemanusiaan
Dalam perjalanannya, karena Ustaz Siradjuddin tidak memilik penghasilan dan kerja tetap selain berdakwah, Bu Emis masih ingat jika suaminya pergi dengan baju bersih untuk berdakwah, kembali membawa baju kotor. Kadang gak ada uang, ia pasrah sambil menunggu ustaz pulang, berharap ada uang yang bisa dibelanjakan untuk di rumah.
Muazzuhrani, menjadi saksi perjuangan awal di Cileungsi. Saat itu, kata dia, meski berasal dari daerah yang berbeda dan dari latar belakang yang tidak sama, kebersamaan saat mengawali membuka lahan Pesantren sangat berkesan. Hidup benar-benar terasa saling membantu, berkasih sayang seperti dengan saudara sendiri. Saat susah sama-sama, ketika ada sama berbagi.
”Dulu saya sering baru tidur jam 2 malam, karena banyak tamu ikhwan-ikhwan dari Lampung, dari mana-mana. Kita para ibu di sini yang menyantuni para tamu. Kita masak dan bikin kopi malam-malam,” ujarnya.
Perjalanan menemani dakwah Ustaz Siradjuddin juga penuh dengan pelajaran kesabaran. Bu Emis dan anak-anaknya sering ditinggal hanya karena untuk menjalankan amanah dalam berdakwah. Pernah satu ketika terjadi peristiwa mencekam, saat itu anaknya, Muhammad Abduh dan Muhamad Arsyad Ridho masih kecil diajak Ustaz Siradjuddin untuk menghadiri ta’lim di daerah Cibitung Bogor.
Baca Juga: Imam Syafi’i: Ulama Besar yang Lahir di Gaza
Saat almarhum Ustadz Saefuddin berceramah, tiba-tiba warga sekitar datang dengan emosi, mereka membawa parang, cangkul, golok, arit, dan senjata tajam lainnya untuk membubarkan pengajian yang sedang berlangsung. Ustaz Siradj, Ustaz Saefuddin, dan jamaah pengajian saat itu dievakuasi oleh TNI dan Polisi untuk menghindari amuk massa. Warga saat itu terprovokasi dengan kabar yang tidak benar tentang pengajian tersebut. Saat itulah anak Bu Emis, Ridho dan Abduh terpisah dari Ustaz Siradj dan jamaah lainya yang dievakuasi aparat.
Di usianya yang tak muda lagi, Muazzuhrani hanya bisa mengenang kebersamaan di awal Pesantren itu berdiri. Ia berharap, jejaknya perjalanannya itu dapat diambil hikmah oleh anak-anaknya yang masih ada saat ini, seperti Misfi Laili Rahmi, Syarifah Hidayah, Muhammad Abduh, Muhammad Arsyad Ridho, Khoirunnisa Amalia, Muhammad Hanafi (dari istri yang kedua).
Ia pun berharap jejak perjalanan itu dapat dijadikan i’tibar bagi cucu dari anaknya yang telah tiada seperti dari Robiatul Adawiyyah dan Rita Muthmainnah. Demikan juga, kisah perjalanan itu dapat dipetik hikmah oleh mereka yang hari ini datang ke Cileungsi yang telah berubah drastis menjadi kawasan padat penduduk.
Kini, Jalan tol yang ’dijanjikan’ Imaam Muhyiddin Hamidy, di saat mereka ragu untuk menetap di Cileungsi, benar dan wujud adanya. Jalan impian itu, melingkari pinggiran pesantren yang tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Muazzuhrani, alias Bu Emis atau Bu Siradj. []
Baca Juga: Yahya Waloni, Dari Gereja ke Mimbar Dakwah Islam
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Leila Khaled: Pejuang Perempuan Palestina yang Ikonik dan Abadi dalam Sejarah Perlawanan
Baca Juga: Shaukat Ali Khan (1873-1938): Pejuang Kemerdekaan India dan Pendukung Besar Palestina