SETIAP tahun, jelang Hari Raya Idul Fitri, jutaan orang di Indonesia berbondong-bondang pulang ke kampung halaman. Fenomena ini dikenal sebagai “mudik”, sebuah tradisi yang telah mengakar dalam budaya masyarakat.
Namun, di balik keramaian dan kemacetan, mudik menyimpan makna mendalam yang selaras dengan prinsip-prinsip Islam.
Dari sudut pandang agama Islam, mudik bukan sekadar ritual tahunan, melainkan manifestasi dari nilai silaturahmi, syukur, dan penguatan ikatan kemanusiaan.
Mudik sebagai Wujud Silaturahmi
Baca Juga: Mudik Lebaran, Wujud Cinta dan Bakti pada Orangtua
Dalam Islam, menjaga hubungan keluarga (silaturahmi) adalah kewajiban yang ditekankan.
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.” (HR. Bukhari).
Baca Juga: Hakikat Kembali kepada Fitrah: Sebuah Tinjauan Ilmiah dan Syar’i
Mudik menjadi sarana untuk merealisasikan ajaran ini. Perjalanan panjang yang ditempuh demi bertemu orang tua, sanak saudara, dan kerabat mencerminkan komitmen untuk merawat hubungan yang Allah perintahkan.
Di saat yang sama, tradisi ini mengingatkan kita bahwa keluarga adalah pondasi utama dalam membangun masyarakat yang harmonis, sebagaimana diajarkan Islam.
Momentum Syukur atas Nikmat Fitri
Idul Fitri adalah puncak dari perjuangan selama Ramadhan, saat umat Muslim merayakan kemenangan setelah sebulan berpuasa dan mendekatkan diri kepada Allah. Mudik, dalam konteks ini, menjadi bentuk syukur.
Baca Juga: 10 Hakikat Mudik bagi Seorang Muslim
Dengan pulang ke kampung halaman, seseorang seolah mengembalikan diri ke asal-usulnya, mengingat jasa orang tua, dan mensyukuri setiap langkah hidup yang Allah berikan.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
فَا ذْكُرُوْنِيْۤ اَذْكُرْكُمْ وَا شْکُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِ
“Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 152)
Baca Juga: Tradisi Mudik, Sejak Kapan Dilakukan?
Berkumpul dengan keluarga di hari Fitri adalah cara untuk mengakui bahwa kebahagiaan sejati terletak pada rasa syukur dan kebersamaan.
Memaafkan dan Memperbarui Hubungan
Lebaran identik dengan tradisi saling memaafkan. Islam mengajarkan bahwa memaafkan adalah jalan menuju ketenangan jiwa dan rahmat Allah.
Mudik memberikan kesempatan untuk bertemu langsung dengan orang-orang yang mungkin pernah memiliki kesalahpahaman, lalu membersihkan hati dengan saling mengucap “mohon maaf lahir dan batin”.
Baca Juga: Urgensi Rukyatul Hilal sebagai Bagian Dari Syariat Islam
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلْيَـعْفُوْا وَلْيَـصْفَحُوْا ۗ اَ لَا تُحِبُّوْنَ اَنْ يَّغْفِرَ اللّٰهُ لَـكُمْ ۗ وَا للّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“… dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nur 24: Ayat 22)
Dengan mudik, momentum untuk saling memaafkan menjadi lebih bermakna karena dilakukan dengan keikhlasan dan tatap muka.
Baca Juga: Palestina: Tanah Suci yang Terlupakan
Mengikis Kesenjangan, Menguatkan Ukhuwah
Mudik juga mencerminkan prinsip persamaan derajat dalam Islam. Di kampung halaman, semua orang, kaya atau miskin, pejabat atau buruh, bersatu dalam kebahagiaan sederhana.
Tidak ada strata sosial yang membedakan saat saling berkunjung dan berbagi hidangan.
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:
Baca Juga: Munculnya Kabut Tebal di Akhir Zaman
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa atau harta kalian, tetapi kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim).
Tradisi ini mengingatkan kita bahwa kemuliaan manusia terletak pada ketakwaan, bukan materi.
Tantangan Mudik: Ujian Kesabaran dan Kepedulian
Baca Juga: Keluarnya Binatang dari Perut Bumi: Tanda Besar Akhir Zaman
Meski mulia, mudik kerap diwarnai kesulitan: macet, kelelahan, atau risiko kecelakaan. Di sinilah nilai Islam tentang kesabaran (sabar) dan tolong-menolong (ta’awun) diuji.
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mengajarkan:
المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ
“Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya; tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya (dalam kesulitan).” (HR. Bukhari).
Baca Juga: Mudik Simbol Kebersamaan
Mudik mengajak kita untuk tetap berempati, saling membantu sesama pemudik, berbagi makanan, atau sekadar tersenyum menghadapi situasi sulit.
Mudik sebagai Ibadah Sosial
Dalam perspektif Islam, mudik bukan sekadar adat, tetapi ibadah yang menyatu dengan nilai spiritual.
Setiap langkah pulang ke kampung halaman bisa bernilai pahala jika diniatkan untuk menyambung silaturahmi, bersyukur, dan memperbaiki hubungan dengan sesama.
Baca Juga: Dakwah yang Menggugah: Ketika Etika dan Adab Menjadi Kunci Keberhasilan
Sebagaimana setiap amal tergantung niatnya, mudik pun menjadi bermakna ketika dijalani dengan kesadaran bahwa kebahagiaan sejati adalah kembali kepada Allah dan merawat ikatan yang Dia ridhai.
Mari jadikan mudik sebagai refleksi diri: sejauh mana perjalanan fisik kita mencerminkan perjalanan hati mendekat kepada Sang Pencipta? Selamat mudik, selamat merayakan Fitri dengan penuh makna! []
Mi’raj News Agency (MINA)