Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Muhammad (SAW), Sang Mutiara (Oleh: Imam Shamsi Ali)

sajadi - Kamis, 13 Oktober 2022 - 09:49 WIB

Kamis, 13 Oktober 2022 - 09:49 WIB

11 Views

Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation, New York

Hari-hari ini Umat Islam di seluruh penjuru dunia mengingat kelahiran Muhammad, Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam. Terlepas setuju atau tidak dengan berbagai cara atau acara untuk mengingat kelahiran itu, Umat semuanya tanpa kecuali pastinya sepakat untuk selalu memperbaharui dan memperkuat keimanan serta kecintaannya kepada Muhammad Shalallahu alaihi wasallam.

Sehingga sesungguhnya perbedaan pendapat dan sikap itu tidak perlu menjadikan Umat ini terpecah dan saling bermusuhan karenanya. Masing-masing punya hak berpendapat dan mengambil sikap sesuai keyakinan masing-masing. Toh, sekali lagi, semuanya memilki iman dan cinta kepada baginda Rasul sebagai “common ground”.

Terlepas dari perdebatan tentang “Maulid” atau kelahiran Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam mungkin ada baiknya kita sekali melihat siapa dan bagaimana harusnya kita menempatkan Rasulullah. Sebab seringkali terjadi sikap “eksejerasi” (berlebihan) akibat tendensi ekstrim dalam melihat Rasulullah. Ekstrim dalam melihat Rasul ini menjadikan sebagian lepas pegangan keagamaan dan cenderung mengikuti emosi atau sentimen semata.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Al-Quran sendiri memberikan beberapa defenisi atau karakteristik tentang Rasul. Baik dari aspek akhlak yang sangat dipuji (wa innaka la’alaa khuluqin ‘azhim) hingga ke aspek kejiwaan yang begitu kasih dan sayang kepada seluruh manusia (rahmatan lil-alamin). Bahkan Al-Qur’an juga menyebut beliau sebagai sosok yang sangat “tegas” kepada kekufuran (asyiddaa alal kuffaar). Namun sangat lemah lembut kepada sesama (rauufun rahim).

Kali ini saya akan mengutip satu ayat yang mendefenisikan Rasulullah dengan sangat unik. Ayat itu ada di Surah Al-Kahf ayat 110 yang berbunyi: “Katakan (wahai Muhammad) kalau saya adalah manusia seperti kalian diwahyukan kepadaku bahwasanya tuhan kalian adakah Tuhan yang Satu”.

Ayat ini sangat dalam dan luas untuk dirincikan. Tapi secara global ada dua sisi penting dari Rasulullah yang diekspos. Satu, bahwa Muhammad itu manusia seperti manusia lainnya. Dua, bahwa Muhammad itu mendapatkan wahyu tentang Tuhan yang Maha Tunggal.

Sebagai “basyar” dengan penekanan “mitslukum” atau seperti manusia lain bermakna bahwa Muhammad itu juga memiliki semua karakteristik atau sifat dasar manusia lainnya. Beliau makan, minum, tidur, lelah, marah (walau marahnya untuk kebaikan), bahkan sedih dan menangis (ketika putranya meninggal). Rasulullah juga punya hasrat hawa nafsu atau syahwat dan karenanya melakukan pernikahan.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Realita ini yang kemudian menjadikan orang-orang kafir Quraish mempertanyakan “Kenapa bukan malaikat yang diutus kepada mereka”? Bahkan mempertanyakan sosok Muhamad sebagai orang biasa. Bukan seorang raja atau seseorang yang kaya raya.

Sungguh maha bijak Allah ketika mengutus RasulNya dari kalangan manusia biasa. Karena dengan itu sang Rasul akan menjalani kehidupan sebagaimana manusia lainnya. Beliau menikah dan membangun keluarga misalnya untuk menjadi contoh bagi manusia untuk melakukan hal yang sama.

Walaupun beliau adalah manusia biasa tapi pada lanjutan ayat Allah menegaskan: “diwahyukan padaku (Muhammad)”. Menunjukkan bahwa realita sebagai manusia biasa tidak menjadikannya seperti manusia lainnya. Tapi justeru beliau adalah manusia agung, unik dan Istimewa. Memiliki berbagai kelebihan dan sempurna dalam kapasitasnya sebagai manusia.

Realita ini menampakkan sebuah paradoks: manusia biasa, tapi tidak seperti manusia yang lain. Tapi memang itulah yang digambarkan misalnya dalam puji-pujian para pencinta, khususnya di kalangan Muslim Asia Selatan: “Muhammad itu manusia. Tapi bukan seperti manusia. Tetapi Muhammad adalah mutiara. Dan manusia bagaikan bebatuan”.

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Dalam sebuah syair yang lain disebutkan: “kesempurnaannya mencapai puncak ketinggian. Keindahannya menyingkap kegelapan. Semua sisinya begitu indah. Maka bersholawatlah kepadanya dan keluarganya”.

Keindahan baginda Rasulullah yang begitu sempurna ini karena tersinari oleh wahyu (yuuhaa) yang memang memiliki kekuatan yang dahsyat: “sekiranya Al-Quran ini Aku turunkan di atas sebuah pegunungan niscaya engkau akan lihat gunung itu goncang dari takut kepada Allah”.

Kekuatan wahyu yang membentuk keindahan Rasul itu sekaligus menghadirkan nilai (value) dalam kehidupan beliau. Sehingga dengan nilai itu beliau menjadi “walking Quran” (Al-Quran yang berjalan). Sekaligus dengan kehidupan yang sempurna dalam nilai itu menjadikan beliau tauladan bagi seluruh manusia: “Sungguh pada diri Rasul itu ada suri tauladan untuk kalian”.

Di hari-hari mengingat kelahirannya mari kita semua berusaha memperbaharui iman, meningkatkan kecintaan, sekaligus membangun komitmen untuk menjadikan Rasulullah sebagai role model (suri tauladan) untuk kita dalam segala lini kehidupan.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

اللهم صل وسلم وبارك عليه!
(AK/RE1/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Rekomendasi untuk Anda

Feature
Kolom
Indonesia
Palestina
Kolom