Bogor, 5 Rajab 1436/24 April 2015 (MINA) – Kementerian Agama melalui Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren melakukan pembahasan atas adanya insiatif penetapan Hari Santri Nasional (HSN).
Sekertaris Jenderal Pengurus Pusat Muhammadiyah, KH. Abdul Mu’thi mengatakan, pentingnya momentum itu untuk mempersatukan umat Islam, bukan memperlemah ukhuwah umat Islam.
“Kalau HSN ini pada akhirnya ditetapkan, maka hal itu harus menjadi hari yang mempersatukan umat Islam, bukan memperlemah ukhuwah umat Islam, “ tegas Abdul Mu’thi saat menjadi narasumber pada acara Focus Group Discussion (FGD) Pendidik dan Kependidikan Keagaman dengan tema “Hari Santri dalam Perspektif Lembaga Keagamaan,” Bogor, Kamis.
Abdul Mu’thi mengingatkan, jangan sampai wacana penetapan HSN ini justru menjadikan sesama umat Islam gaduh dan saling berdebat, dan terkadang hal itu justru dilakukan di ruang publik.
Baca Juga: MUI Tekankan Operasi Kelamin Tidak Mengubah Status Gender dalam Agama
“Jangan sampai ketika diluncurkan yang berdebat itu para tokoh pimpinan ormas. Karena ujung-ujungnya kita menjadi lemah karena suatu hal yang bersifat kultural dan politik yang justru membuat akidah lemah dan ukhuwah terpecah,” jelas Mu’thi, demikian keterangan pers yang diterima Mi’raj Islamic News Agency (MINA).
Hal kedua yang digarisbawahi Abdul Mu’thi dalam konteks pembahasan rencana penetapan HSN adalah terkait definisi santri harus jelas dan clear.
“Santri itu didefinisikan seperti apa? Apakah merujuk pada santri tradisional dan modern, atau kategori lainnya?” tanya Abdul Mu’thi.
Menurutnya, persoalan definisi santri ini harus disikapi dengan hati-hati karena faktanya istilah santri juga mengalami proses evolusi dalam konteks perkembangan di Indonesia.
Baca Juga: Prof. El-Awaisi Serukan Akademisi Indonesia Susun Strategi Pembebasan Masjidil Aqsa
“Harus diclearkan terlebuh dahulu persoalan definisi ini agar jangan sampai ketika menetapkan HSN definisinya tidak ketemu,” jelasnya.
Abdul Mu’thi juga menyoroti masalah tujuan dari penetapan HSN. Apakah nantinya akan menjadi hari libur nasional atau sekedar menandai saja sebagai hari peringatan (momentum). Kalau sifatnya hanya momentum, hampir tiap hari dalam kalender Indonesia sudah ada momentum. “Orang Indonesia paling ahli dalam membuat seperti itu,” ujarnya.
Adapun kalau akan dijadikan sebagai hari libur nasional, lanjut Mu’thi, maka Indonesia merupakan negara yang memiliki hari libur resmi terbanyak di dunnia.
“Indonesia memiliki 16 hari libur resmi. Korsel nomor dua dengan 15 hari resmi libur,” jelasnya.
Baca Juga: Syeikh Palestina: Membuat Zionis Malu Adalah Cara Efektif Mengalahkan Mereka
Masih terkait tujuan, Mu’thi menggarisbawahi bahwa kalaulah akan ditetapkan, maka HSN harus dibuat dalam tujuan yang sangat besar dalam rangka membawa umat Islam pada arus besar kehidupan keumatan dan kebangsaaan.
“Harus dilihat signifikansinya dalam konteks bagaimana Islam lebih mewarnai kehidupan kebangsaan. Pahlawan Indonesia kalau dijejer, sebagian besarnya memang para ulama. Artinya adanya Indonesia sekarang ini adalah karena perjuangan dan sumbangan yang luar biasa dari umat Islam Indonesia,” jelasnya.
Mu’thi menambahkan bahwa konteks penetapan HSN harus jelas, apakah dalam konteks ingin menegaskan Indonesia ada karena sumbangan para ulama, atau hanya karena ingin memiliki hari santri lalu ada acara-acara tertentu yang supervisial belaka.
“Apakah dalam konteks membangkitkan kesadaran nasional atau hanya ingin menyenangkan diri sendiri sehingga substansinya justru tidak bisa dicapai,” tandasnya.
Akan hal ini, Mu’thi berharap Kementerian Agama menginisiasi untuk menjaring masukan-masukan secara resmi kepada masyarakat luas, utamanya dari ormas-ormas Islam terkait rencana penetapan HSN ini. (T/P002/R03)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Imaam Yakhsyallah Mansur: Ilmu Senjata Terkuat Bebaskan Al-Aqsa