Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Muhammadiyah Kritik Pendekatan Deradikalisasi di Indonesia

Rana Setiawan - Jumat, 20 November 2020 - 12:30 WIB

Jumat, 20 November 2020 - 12:30 WIB

6 Views

Yogyakarta, MINA – Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menilai ada yang keliru pada pendekatan yang digunakan oleh negara dalam program deradikalisasi.

“Pengaruhnya pada cara. Melawan sifat radikal dengan cara yang radikal juga,” kritiknya dalam forum diskusi Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kamis (19/11), sebagaimana laporan laman resmi Muhammadiyah yang dikutip MINA, Jumat.

Pernyataan Haedar menanggapi fenomena meski adanya teknologi membuat kehidupan di dunia pada abad ke-21 lebih terbuka, sifat ekstrimisme dalam pandangan pemahaman keagamaan tidak serta merta hilang.

Fenomena ekstrimisme melalui aksi teror, respon simpatik terhadap hal itu maupun suburnya minat terhadap materi keagamaan yang keras, menunjukkan negara tidak benar-benar mampu menahan laju ekstrimisme beragama.

Haedar juga menyoroti cara pandang deradikalisasi yang terpaku hanya pada agama Islam dan umat Islam saja.

Baca Juga: Menag RI dan Dubes Sudan Bahas Kerja Sama Pendidikan

Padahal, dalam sejarahnya terorisme lekat dengan pemahaman ekstrim, sikap tertutup dan anti dialog yang dapat muncul oleh berbagai komunitas baik agama, suku, maupun komunitas politik.

“Semua itu punya irisan dengan praktek-praktek radikal ekstrim maupun dengan terorisme. Jadi terorisme dalam banyak bentuk tidak lahir dari satu agama. Jika labelling (pelabelan) ini diawetkan, maka tidak akan selesai,” jelas Haedar, ia termasuk mendorong penggantian istilah konsep dari ‘deradikalisasi’ menjadi ‘moderasi’.

Tidak hanya satu sisi, Haedar menyampaikan bahwa umat Islam juga perlu melakukan otokritik dan muhasabah atas pandangan keagamaan yang salah dalam mengkonstruksi perbedaan antara jihad nabi dalam bentuk ghazwah dan qital secara kontekstual.

“Perlu ada reorientasi di kalangan muslim sebagai mayoritas,” imbuhnya, termasuk berhenti bersimpati dan melakukan pembenaran terhadap aksi terorisme semata-mata karena yang diserang adalah kelompok yang menzalimi Islam.

Baca Juga: Mendikti Sampaikan Tiga Arah Kebijakan Pendidikan Tinggi Indonesia

“Semua harus melakukan refleksi. Negara harus melakukan perubahan paradigma dan persepektif. Kelompok yang radikal harus mau muhasabah. Kalau tidak maka ini akan berlarut menjadi proyek. Kita semua harus waspada tapi harus dilakukan sebagai objektif. Kampus harus menjadi tempat untuk memoderasi radikalisme dan terorisme,” pungkasnya.(R/R1/P1))

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Kedutaan Besar Sudan Sediakan Pengajar Bahasa Arab untuk Pondok Pesantren

Rekomendasi untuk Anda

Palestina
MINA Preneur
Indonesia
Dunia Islam
MINA Sport
Indonesia