Muhammadiyah Steps UMY Dukung Kawasan Tanpa Rokok

Yogyakarta, MINA – Muhammdiyah Steps Universitas Yogyakarta siap mendukung Pemerintah Daerah dalam melakukan segala upaya yang diperlukan dalam hal memperkuat, menetapkan, melaksanakan dan juga menegakkan Peraturan Daerah tentang secara Komprehensif.

Hal tersebut ditegaskan dalam Pertemuan Tingkat Tinggi Bupati dan Walikota yang digelar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dalam rangka penguatan pengendalian konsumsi rokok: Kawasan Tanpa Rokok; larangan iklan, promosi, sponsorship; dan pengendalian tempat penjualan rokok pada kabupaten/kota di Indonesia.

Pertemuan yang digelar secara daring, Rabu (5/5), bertujuan untuk memberikan dukungan kepada Kabupaten/Kota di Indonesia dalam memperkuat, menetapkan, melaksanakan dan juga menegakan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok secara Komprehensif.

Kegiatan High Level Meeting diikuti oleh Bupati/Walikota beserta Organisasi Perangkat Daerah terkait di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi Jawa Timur.

Hadir sebagai pemateri pada 2 sesi pertemuan tersebut  I Nyoman Suwirta, S.Pd, MM (Bupati Kabupaten Klungkung), Drs. H. Sutedjo (Bupati Kabupten Kulonprogo), Dr. Bima Arya Sugiarto (Walikota Bogor), Roosita Meilani Dewi S. E. M. Sc (Center of Human dan Development Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan), Muhammad Khamid ( Kepala Desa Pemenang Desa Sehat dan Desa Tanpa Rokok di Kabupaten Kebumen), dan di Moderatori oleh Sutantri, Ns, M.sc,Ph.D (Director UMY) dan dr Supriyatiningsih, Sp.OG.,M.Kes (Senior Research dan Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta).

Kegiatan ditutup dengan kesimpulan dari Moderator bahwa segala upaya yang kita laksanakan hari ini dapat memberikan dampak bagi Pengendalian Konsumsi Rokok di Indonesia khususnya melindungi generasi bangsa.

Sebagaimana Pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang unggul menjadi fokus utama pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Indonesia diprediksi akan mengalami bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun) lebih besar dibandingkan penduduk usia tidak produktif (berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun). Salah satu hambatan Indonesia dalam menuju Bonus Demografi tersebut diakibatkan karena adanya perilaku merokok.

Proporsi konsumsi tembakau (hisap dan kunyah) pada penduduk usia 15 tahun ke atas (2016 -2018) juga mengalami kenaikan dari 32.8% (Sirkesnas 2016) menjadi 33.8% (Riskesdas 2018) dan berdasarkan hasil Sirkesnas dan Riskesdas menunjukkan terjadinya peningkatan prevalensi perokok usia 15-18 tahun, yaitu; dari 8,8% (Sirkesnas 2016) menjadi 9,1% (Riskesdas 2018).

Kerugian akibat konsumsi tembakau menjadi bukti yang mendorong dari para pembuat kebijakan untuk mengatasi masalah serius akibat rokok, terutama di Indonesia.

Untuk melindungi kesehatan masyarakat dari dampak konsumsi dan paparan asap rokok pemerintah merespon dengan menetapkan berbagai kebijakan dan aturan Pengendalian Tembakau termasuk menetapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) melalui Undang-Undang Kesehatan No 36 Tahun 2009 yaitu Pasal 115 ayat 1 dan 2 mengamanatkan kepada Pemerintah Daerah (wajib) untuk menetapkan dan menerapkan KTR di wilayahnya dan Peraturan Pemerintah No.109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Tembakau Bagi Kesehatan.

Pada Pasal 52 dinyatakan bahwa Pemerintah Daerah wajib menetapkan Kawasan Tanpa Rokok di wilayahnya dengan Peraturan Daerah.

Tidak hanya kawasan tanpa rokok pengendalian konsumsi secara masif dilakukan dengan pelarangan iklan, promosi, sponsorship dan pengendalian tempat penjualan rokok di Indonesia.

Beberapa daerah sudah menerapkan kebijakan ini diantaranya adalah Kota Bogor dan Kota Jakarta. Kota Bogor menjadi pelopor pengendalian tembakau di Indonesia; dibuktikan dengan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2018 tentang Kawasan Tanpa Rokok yang melarang rokok elektronik, shisha, dan produk tembakau sejenis lainnya.

Perda KTR Kota Bogor tidak hanya menetapkan KTR saja namun larangan terhadap iklan, promosi dan sponsor rokok. Larangan ini tidak mempengaruhi pendapatan asli daerah terhadap pemasukan dari periklanan bahkan larangan iklan rokok tersebut berpengaruh positif terhadap peningkatan pendapatan Kota Bogor.

Pada 2008 dengan 372 papan iklan rokok, pendapatan Bogor mencapai Rp 97 Miliar. Pada 2013 setelah pelarangan diberlakukan, pendapatan Bogor mencapai Rp 464 Miliar.(R/R1/P1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)