Jakarta, 30 Muharram 1437/13 November 2015 (MINA) – Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Cholil Nafis mengatakan, kedepan kita akan melakukan dai bersertifikat bukan bersertifikat dai. Sebab, dai bersertifikat arti jika dai tidak bersertikat tidak boleh berkhotbah yang jadi masalah di Indonesia sangat sulit untuk menentapkan dai bersertifikat.
“Banyak fenomena di internet dai berdakwah melalui media baik ustadz Youtube maupun ustadz televisi, yang terpenting berani menyampaikan dakwah,” Cholil.
“Tujuan program ini, dilakukan agar para dai dibekali strategi yang tepat, nanti mereka diberi sertifikat, jadi ini bukan sertifikasi dai, akan tetapi kita akan membuat dai bersertifikat,” kata Cholil dalam acara “Halaqah Komisi Dakwah MUI” di Kantor MUI Pusat, Jakarta, Jumat (13/11) malam.
Peran dai bersertifikat MUI menjadi penting karena ‘rijalud dakwah’ sudah dituntut untuk siap menghadapi berbagai kondisi. Dia mencontohkan bagaimana saat ini terjadi kelangkaan penulis Muslim di tengah banyaknya artikel yang menyesatkan di sejumlah media massa maupun media sosial.
Baca Juga: BKSAP DPR Gelar Kegiatan Solidaritas Parlemen untuk Palestina
“Kita harus mampu mengcounter orang-orang yang membuat tulisan-tulisan seperti itu, begitu pula di ajang debat televisi, kita masih kekurangan,” katanya.
Dia menambahkan, seharusnya kita mampu menampilkan orang yang pandai berdebat, sebab saat ini banyak orang pinter tetapi tidak tahu cara berdebat. Menurutnya, dakwah umat Islam di Indonesia menghadapi dinamika kehidupan yang semakin berat, perkembangannya semakin banyak, tantangannya juga semakin banyak.
“Tantangannya semakin besar, kita semakin tidak siap, dakwah kita sama sekali tidak membawa dampak besar sehingga tidak bisa melakukan perubahan besar,” ujarnya.
Oleh karena itu, dia mendukung gagasan Komisi Dakwah MUI untuk merumuskan kembali sejumlah tantangan dakwah agar nantinya bisa memberikan panduan yang berguna untuk para da’i di tengah gempuran arus informasi.
Baca Juga: Warga Israel Pindah ke Luar Negeri Tiga Kali Lipat
“Masyarakat yang mulai memahami sekularisme makin banyak, adanya pembenaran pernikahan beda agama hanyalah contoh kecil dari tantangan tersebut,” kata Cholil.
Masalah lainnya juga muncul terkait minimnya toleransi internal umat Islam, “Seringkali kita tidak bisa menjaga diri, sehingga berpotensi memicu konflik, lihat saja di televisi, radio dan lain-lain,” katanya.
Menurutnya MUI sudah mempunyai garis tersebut, dalam hal perbedaaan kita harus toleransi, dalam hal penyimpangan kita tidak bisa toleransi.
“Perbedaan itu hanya di wilayah perbedaan, kalau di luar itu namanya penyimpangan. Di wilayah ini jangan sampai umat Islam mempermasalahkan perbedaan atau masalah khilafiah lagi,” tegasnya.
Baca Juga: Timnas Indonesia Matangkan Persiapan Hadapi Bahrain
“Kita tidak bisa menonjolkan ego kelompok atau ashobiyyah jama’iyyah. Karenanya MUI ingin menerapkan dakwah yang terkoordinasi. Supaya tepat pada sasaran,” tuturnya.
Para dai juga perlu mengetahui sasaran dakwah. Menurutnya, dalam berdakwah perlu sasaran jelas, perlu ada peta untuk mengetahui tantangan di tingkat nasional, karena tiap daerah mempunyai tantangan-tantangan yang bersifat khusus.
Dengan mengetahui peta dakwah, para da’i bisa mempersiapkan bagaimana menghadapi realitas dimana Muslim adalah minoritas di suatu daerah, atau bagaimana ketika berada di daerah yang mayoritas muslim. “Ini harus jelas petanya, sehingga kita bisa melakukan dakwah,” tegasnya.
Cholil menyatakan siap untuk segera mempersiapkan dakwah berbasis data, dengan peta dakwah digital. “Di data tersebut, kita bisa tahu misalnya dimana tempat pemurtadan, garis Islam yang mana, paham apa, sehingga masing-masing dai bisa mengakses secara online melalui keanggotaan tertutup,” paparnya.
Baca Juga: Timnas Indonesia Matangkan Persiapan Hadapi Bahrain
Menurutnya, ikhtiar itu ditempuh agar cara dakwah para dai tidak lagi tersusun secara sporadis, namun berbasis data jadi strateginya enak. (L/P002/R02)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)