Jakarta, MINA – MUI bersama sejumlah ormas Islam mendukung Rancangan Undang-undang Larangan Minuman Beralkohol (RUU Minol). MUI mendorong DPR dan pemerintah menyegerakan membahas RUU Larangan Minol.
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) MUI, Salahudin Al-Ayubi mengatakan, dalam rapat sebelumnya, pihaknya sempat membahas terkait RUU pelarangan minol ini.
Ia mengungkapkan, MUI tidak memungkiri ada aspek kemanfaatan dalam minol ini, khususnya dari sisi ekonomi dan kebudayaan. Namun, kemanfaatan tersebut tidak sebanding dengan biaya yang dibutuhkan untuk merestorasi dampak buruk yang ditimbulkannya.
“Ini yang pada waktu itu mendasari MUI, meskipun ada potensi ekonomi, namun karena dampak buruknya sudah banyak data mengenai dampak negatif sudah sangat banyak sekali,” ujar Salahudin dalam acara Mudzarakah Hukum dan Silaturahim Nasional MUI bertajuk ‘Indonesia Darurat Minuman Beralkohol: Urgensi RUU Larangan Minumal Alkohol’ yang digelar secara Virtual, Kamis (12/8).
Baca Juga: Prediksi Cuaca Jakarta Akhir Pekan Ini Diguyur Hujan
Ia berharap, penyusunan RUU ini nantinya juga tetap berdasarkan pada norma dan aturan-aturan dalam agama Islam. Pasalnya, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.
“Seharusnya aturan itu dibuat untuk mengakomodasi norma yang sudah berkembang di masyarakat,” tuturnya. “Maka kita dari MUI, menyetujui tentang judul tentang larangan Minuman Alkohol. Karena kita balik ke hukum asalnya, yakni haram,” katanya.
Sementara itu, dukungan mengenai diteruskannya pembahasan RUU pelarangan minuman alkohol juga hadir dari Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
NU menilai pembahasan mengenai RUU ini harus diteruskan sebab masih banyak poin yang perlu ditambahkan.
Baca Juga: Menag Tekankan Pentingnya Diplomasi Agama dan Green Theology untuk Pelestarian Lingkungan
Rais Suriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ahmad Ishomuddin, yang mendukung pengesahan RUU Larangan Minol. Ishomuddin berpendapat, hal-hal yang lebih banyak mudharatnya seperti minol sebaiknya dilarang.
“Sesungguhnya banyak masalah [terkail minol], misalnya batas usia, dan tempat yang boleh menjual. Harus dibahas detail karena UU bukan bermaksud islamisasi, tapi untuk kehidupan bersama. Namun, umat Islam sebagai yang terbanyak di Indonesia tentu boleh menyampaikan pendapatnya,” kata Ishomuddin.
Dia melanjutkan, tindakan pemerintah atas rakyat harus mengacu pada kemaslahatan rakyat. Maksud dia, RUU Minol harus segera dibahas dan disahkan karena menyangkut kemaslahatan masyarakat.
“RUU Minol tentu harus mengacu kemaslahatan, yaitu menjaga syariat agama yang dimaksudkan Allah SWT. Itu ada 5 yakni agama, jiwa, kecerdasan/akal, keturunan, dan harta. Jadi penyusunan RUU Minol ini harus berpatokan terhadap perlindungan agama,” terang dia.
Baca Juga: Menhan: 25 Nakes TNI akan Diberangkatkan ke Gaza, Jalankan Misi Kemanusiaan
“Enggak mungkin orang minum alkohol sampai mabuk bisa jaga agamanya, jiwanya, akalnya, bahkan keturunannya, harta. Maka sebaiknya segala yang mencakup hal ini itu yang dimaksud kemaslahatan. Sebaliknya segala yang melepaskan 5 hal ini mafsadah [rusak/buruk],” tambahnya.
RUU Minol sudah pernah dibahas di periode 2009-2014 dan 2014-2019, namun kerap gagal mencapai keputusan final. Salah satu alasan yakni perdebatan kata ‘larangan’ pada RUU oleh sejumlah pihak, sehingga hal ini pun menjadi salah satu pokok bahasan dalam diskusi MUI.
Berkaitan hal ini, Ishomuddin tegas setuju dengan MUI bahwa kata ‘larangan’ yang dipakai, bukan ‘aturan’ atau lainnya. Ia menekankan kembali sesuatu yang lebih banyak mudaratnya harus dilarang.
“Saya ingin usulkan judul yang sama dengan MUI agar nanti di DPR ini enggak terjadi perselisihan lagi RUU Larangan Minol. Alasannya suatu tindakan pemerintah yang tidak didasarkan pada kemaslahatan dan dimaksudkan untuk memberikan manfaat, maka tidak sahih UU yang dibuat apabila dampaknya merusak mayoritas rakyat, pasal-pasalnya tidak benar dan tidak diperkenankan agama. Dosa dari minuman keras dan perjudian lebih besar dari manfaat yang diperoleh,” jelas dia.
Baca Juga: BMKG: Waspada Gelombang Tinggi di Sejumlah Perairan Indonesia
Sementara Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Trisno Raharjo yang hadir pada kesempatan ini juga mendorong pembahasan RUU Minol di DPR agar bisa segera disahkan. Kendati demikian ia berpendapat memang harus ada larangan yang dibedakan kepada sejumlah pihak.
“Secara umum Muhamadiyah menganggap persoalan minol ini terlarang dan dalilnya jelas. Memang menarik Indonesia dengan mayoritas Islam tidak punya UU tegas yang melarang minol. Kalaupun ada lebih ke aspek perdagangan sehingga bisa kita pahami penyusunan RUU berkaitan minol ini penting dan bagi umat islam baik dilakukan pengaturannya,” kata Trisno.
“[Tapi] kita memahami Indonesia majemuk yang perlu pengaturan hati-hati. Kita tahu Bali, Nusa Tenggara memproduksi dan menjual buat wisatawan, menurut kami ini memang perlu pemilahan. Tapi kalau kita umat Islam saya kira itu memang perintah,” lanjut dia.
Trisno mengatakan sejumlah pengecualian memang bisa dilakukan. Namun harus ada larangan ketat bagi umat Islam dan anak-anak di bawah umur terkait konsumsi minol, meski bukan muslim.
Baca Juga: Longsor di Salem, Pemkab Brebes Kerahkan Alat Berat dan Salurkan Bantuan
“Saya kira [larangan] ini yang harusnya bisa dilakukan terutama anak sampai 21 tahun. Kita enggak punya. Kita enggak boleh ada ruang di mana pun, anak-anak beragama apa pun sampai ditentukan usianya [bisa mengkonsumsi minol] menurut UU. Ini aturan-aturan yang perlu kita atur. Juga menurut saya perlu diatur sanksi. Pengecualian-pengecualian saya kira enggak masalah, tapi ada aturan tegas,” pungkasnya.(R/R1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Tausiyah Kebangsaan, Prof Miftah Faridh: Al-Qur’an Hadits Kunci Hadapi Segala Fitnah Akhir Zaman