Jakarta, 27 Sya’ban 1437/4 Juni 2016 (MINA) – Salahudin Alayubi, Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan, Halal dan thayyib adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Menurutnya, halal menjadi prasyarat sesuatu boleh dimakan atau digunakan Muslim, sedangkan thayyib menjadi ambang batas untuk bisa dikonsumsi. Di mana baik untuk dirinya dan tidak mengganggu bekerjanya akal.
“Setiap produk yang menggunakan sentuhan teknologi adalah syubhat,” kata Salahudin pada Temu Wicara Halal di Jakarta, Kamis (2/6) lalu, sebagaimana keterangan pers yang diterima Mi’raj Islamic News Agency (MINA).
Ketika suatu bahan alami telah mengalami pengolahan, lanjut dia, maka memungkinkan tercemar dengan unsur haram. Oleh karena itu sertifikasi halal menjadi penting di sini.
Baca Juga: BPJPH Tegaskan Kewajiban Sertifikasi Halal untuk Perlindungan Konsumen
“Sertifikasi halal menjadi bagian dari proses jaminan produk halal bagi Muslim,” ujarnya. Dalam rangkaian proses sertifikasi halal, MUI memberikan fatwa halal terhadap produk yang sudah memenuhi ketentuan produk halal. Dalam hal ini fatwa MUI memberikan kejelasan terhadap status kehalalan suatu produk.
“Fatwa menjadi acuan bagi masyarakat untuk bisa mengonsumsi atau menggunakan sesuatu,” tambah ahli di bidang syariah ini.
Menanggapi pertanyaan peserta tentang obat yang mengandung unsur haram yang dikonsumsi Muslim, Salahudin menyampaikan boleh dikonsumsi asalkan kondisinya darurat.
Darurat di sini diartikan kondisi seseorang terancam nyawanya atau bertambah parah sakitnya apabila ia tidak mengosumsi obat tersebut.
Baca Juga: BPJPH Tekankan Kembali Wajib Halal Telah Berlaku
“Namun darurat itu bukan untuk selamanya,” tegas Salahudin.
Dalam hal ini setiap Muslim harus mampu membedakan mana kondisi darurat dan mana yang bukan. “Jangan sampai seseorang menggampangkan kondisi darurat dimaksud” tutup Salahudin. (T/R05/P2)
Mi’raj islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: UMK Wajib Sertifikasi Halal 17 Oktober 2026: Bagaimana dengan Produk Luar Negeri?