Jakarta, 5 Jumadil Akhir 1436/25 Maret 2015 (MINA) – Ketua Komisi Dakwah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH Cholil Nafis mengatakan, setifikasi da’i diperlukan untuk meningkatkan kualifikasi kemampuan para da’i di Indonesia.
“Da’i bersertifikat maksudnya adalah adanya tingkatan level kualitas da’i sesuai standar bisa dipertanggung jawabkan”, ujar Cholil.
Menurutnya, tujuan sertifikasi da’i bukanlah semacam surat izin untuk berdakwah. Tapi, semacam tingkatan leveling, misalkan di mana da’i level dasar, level tengah, dan level atas.
Dia menambahkan, perlu adanya sertifikat da’i karena untuk mengetahui da’i yang bersekolah, da’i yang tidak bersekolah, da’i yang mempunyai kedalaman ilmu, dan da’i yang sifat dakwahnya retorik, katanya kepada Mi’raj Islamic News Agency (MINA) saat dihubungi, di Jakarta, Selasa (24/3).
Baca Juga: Menag Bertolak ke Saudi Bahas Operasional Haji 1446 H
Jadi, level-levelnya perlu dibuat bukan perlu ada sertifikasi da’i. Sebab, siapapun boleh menyampaikan dakwah asalkan da’i tersebut faham. Hal yang tidak boleh adalah sertifikasi dengan alasan membuat batasan berdakwah, tegas Cholil.
Cholil menghimbau, agar para da’i sebelum terjun di medan dakwah haruslah berbekal ilmu. Adapun rektorika hanya sebagai alat, adapun yang disampaikan adalah ilmu.
Ia juga menambahkan, kepada masyarakat dalam mengundang da’i, memang perlu dilihat kualitas keilmuannya dan dapat dipertanggung jawabkan. Boleh humor, menghibur, namun harus lebih memberikan tuntunan daripada tontonan.
Sementara, Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Anwar Abbas mengatakan, sertifikasi dai tidak perlu dilakukan karena membuat kehidupan dakwah menjadi monoton dan menjenuhkan.
Baca Juga: Polisi Amankan Uang Rp150 M dari Kasus Judol
“Orang-orang yang potensial dan tidak mau disertifikasi atau dipersulit proses sertifikasinya tentu tidak akan bisa berdakwah, dan ini akan merugikan umat, karena umat tidak bisa mendapatkan materi dakwah yang berbobot,” terang Anwar.
Menurutnya, ide sertifikasi dai juga bisa diperalat oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mengekang kehidupan dakwah itu sendiri.
Kemungkinan itu bisa terjadi jika ada dai yang dinilai berdakwah di luar ketentuan pemberi sertifikat. Lalu, sertifikat dicabut sehingga yang bersangkutan tidak lagi bisa berdakwah.
“Akibatnya kehidupan dakwah menjadi monoton dan menjenuhkan. Karena dalam kehidupan dakwah akhirnya tidak ada lagi kritisisme. Hal ini tentu jelas tidak baik bagi perkembangan umat dan atau masyarakat bangsa,” ujar Anwar.
Baca Juga: Polisi Tangkap Satu DPO Kasus Judol, Uang Rp5 M Diamankan
Ia pun menyimpulkan, bahwa sertifikasi dai bukanlah langkah yang tepat untuk menangkal paham radikalisme.
Bendahara PP Muhammadiyah ini menilai, paham radikalisme berkembang karena adanya kemiskinan, ketidakadilan, dan diskriminasi. Selama ketidakadilan,diskriminasi dan kemiskinan tidak tertanggulangi maka radikalisme akan tetap ada. (L/P002/P4).
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Syubban Fatayat Masjid At-Taqwa Cibubur Gelar Program Youth Camp di Purwakarta