Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

MUI: SERTIFIKASI DA’I UNTUK TINGKATKAN KUALIFIKASI

kurnia - Rabu, 25 Maret 2015 - 19:05 WIB

Rabu, 25 Maret 2015 - 19:05 WIB

771 Views ㅤ

Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Cholil Nafis (Foto : MUI)

Dakwah-MUI-Pusat-Cholil-Nafis-300x168.jpg" alt="Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Cholil Nafis (Foto : MUI)" width="300" height="168" /> Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Cholil Nafis (Foto : MUI)

Jakarta, 5 Jumadil Akhir 1436/25 Maret 2015 (MINA) – Ketua Komisi Dakwah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH Cholil Nafis mengatakan, setifikasi da’i diperlukan untuk meningkatkan kualifikasi kemampuan para da’i di Indonesia.

“Da’i bersertifikat maksudnya adalah adanya tingkatan level kualitas da’i sesuai standar bisa dipertanggung jawabkan”, ujar Cholil.

Menurutnya, tujuan sertifikasi da’i bukanlah semacam surat izin untuk berdakwah. Tapi, semacam tingkatan leveling, misalkan di mana da’i level dasar, level tengah, dan level atas.

Dia menambahkan, perlu adanya sertifikat da’i karena untuk mengetahui da’i yang bersekolah, da’i yang tidak bersekolah, da’i yang mempunyai kedalaman ilmu, dan da’i yang sifat dakwahnya retorik, katanya kepada Mi’raj Islamic News Agency (MINA) saat dihubungi, di Jakarta, Selasa (24/3).

Baca Juga: HNW Sebut Gencatan Senjata di Gaza Tak Boleh Lupakan Kejahatan Israel

Jadi, level-levelnya perlu dibuat bukan perlu ada sertifikasi da’i. Sebab, siapapun boleh menyampaikan dakwah asalkan da’i tersebut faham. Hal yang tidak boleh adalah sertifikasi dengan alasan membuat batasan berdakwah, tegas Cholil.

Cholil menghimbau, agar para da’i sebelum terjun di medan dakwah haruslah berbekal ilmu. Adapun rektorika hanya sebagai alat, adapun yang disampaikan adalah ilmu.

Ia juga menambahkan, kepada masyarakat dalam mengundang da’i, memang perlu dilihat kualitas keilmuannya dan dapat  dipertanggung jawabkan. Boleh humor, menghibur, namun harus lebih memberikan tuntunan daripada tontonan.

Sementara, Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Anwar Abbas mengatakan, sertifikasi dai tidak perlu dilakukan karena membuat kehidupan dakwah  menjadi monoton dan menjenuhkan.

Baca Juga: UN Versi Baru Digelar November 2025 Bagi Siswa SMA Sederajat

“Orang-orang yang potensial dan tidak mau disertifikasi atau dipersulit proses sertifikasinya tentu tidak akan bisa berdakwah, dan ini akan merugikan umat, karena umat tidak bisa mendapatkan materi dakwah yang  berbobot,” terang Anwar.

Menurutnya, ide sertifikasi dai juga bisa diperalat oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mengekang kehidupan dakwah itu sendiri.

Kemungkinan itu bisa terjadi jika ada dai yang dinilai berdakwah di luar ketentuan pemberi sertifikat. Lalu, sertifikat dicabut sehingga yang bersangkutan tidak lagi bisa berdakwah.

“Akibatnya kehidupan dakwah menjadi monoton dan menjenuhkan. Karena dalam kehidupan dakwah akhirnya tidak ada lagi kritisisme. Hal ini tentu jelas tidak baik bagi perkembangan  umat dan atau masyarakat bangsa,” ujar Anwar.

Baca Juga: PWI Pastikan Presiden Prabowo Hadiri HPN Riau 2025

Ia pun menyimpulkan, bahwa sertifikasi dai bukanlah langkah yang tepat untuk menangkal paham radikalisme.

Bendahara PP Muhammadiyah ini menilai, paham radikalisme berkembang karena adanya kemiskinan, ketidakadilan, dan diskriminasi. Selama ketidakadilan,diskriminasi dan kemiskinan tidak tertanggulangi maka radikalisme akan tetap ada. (L/P002/P4).

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: 32 WNI Jadi Korban Perdagangan Manusia di Thailand

Rekomendasi untuk Anda

Palestina
Indonesia
Indonesia
Dunia Islam
Kolom
Khadijah