Jakarta, MINA – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah KH. M. Cholil Nafis, menyampaikan seruan penting tentang peran agama, khususnya ulama, dalam menghadapi krisis perubahan iklim yang semakin mengancam keseimbangan alam dan kehidupan manusia.
Hal tersebut dia sampaikan saat menjadi pembicara kunci dalam Konferensi Nasional IRI 2024 mengusung tema “Kerangka Pentahelix dalam Penanganan Penggundulan Hutan Tropis dan Perubahan Iklim Berbasis Agama” secara hibrida (luring dan daring) di Jakarta pada Sabtu (14/9).
Dalam kesempatan tersebut, dia juga mengajak para ulama dan pemuka agama untuk mengambil peran aktif dalam memberikan peringatan tentang pentingnya menjaga lingkungan.
Cholil menekankan bahwa perubahan iklim tidak bisa dipandang hanya sebagai fenomena alam, melainkan juga sebagai akibat dari perbuatan manusia yang merusak keseimbangan alam.
Baca Juga: Presiden Prabowo Beri Amnesti ke 44 Ribu Narapidana
“Nafsu akan kebendaan dan hidup material yang mengabaikan harkat martabat manusia adalah alur yang menyimpang dari jalan lurus moralitas keagamaan,” ujar Kyai Cholil yang juga Rais Syuriyah PB Nahdlatul Ulama.
Sebagai pemuka agama, Cholil menilai agama memiliki peran strategis dalam mengedukasi masyarakat terkait dampak perubahan iklim. Agama tidak hanya memiliki konstituen yang jelas, tetapi juga memiliki pedoman yang tertuang dalam kitab suci yang mendorong manusia untuk menjaga lingkungan.
“Banyak ayat dalam Al-Quran yang secara tegas mengajak umat Islam untuk bersikap ramah lingkungan dan mencegah kerusakan alam,” imbuhnya.
Cholil menyebutkan, prinsip-prinsip agama dapat membantu manusia dalam menghadapi perubahan iklim melalui konsep Lima R: Reference (rujukan kitab suci), Respect (saling menghormati), Restrain (pengendalian diri), Redistribution (berbagi), dan Responsibility (tanggung jawab).
Baca Juga: Prediksi Cuaca Jakarta Akhir Pekan Ini Diguyur Hujan
“Konsep tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti perilaku hemat, penghindaran dari sikap boros (mubadzir), dan mendukung mitigasi perubahan iklim,” ujarnya.
Ia menekankan, perubahan iklim bukanlah isu yang bisa diserahkan sepenuhnya pada meja perundingan antarnegara. Fatwa ulama dan seruan pemuka agama diharapkan mampu memberikan dimensi etis dalam merespon krisis lingkungan ini, bebas dari kepentingan politik dan ekonomi.
MUI melalui Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (LPLH-SDA) telah mengeluarkan berbagai fatwa yang terkait dengan pelestarian lingkungan, seperti Fatwa No.02/2010 tentang Air Daur Ulang, Fatwa No.22/2011 tentang Pertambangan Ramah Lingkungan, hingga Fatwa No.30/2016 tentang Hukum Pembakaran Hutan dan Lahan. Fatwa-fatwa ini bertujuan untuk memberikan pedoman syariah kepada umat Islam tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup.
Cholil juga menyinggung program ecoMasjid yang diluncurkan oleh MUI bersama Dewan Masjid Indonesia (DMI). Program ini bertujuan untuk mendorong masjid-masjid di Indonesia menjadi ramah lingkungan dengan memanfaatkan sumber daya air secara bijak dan menggunakan energi terbarukan.
Baca Juga: Menag Tekankan Pentingnya Diplomasi Agama dan Green Theology untuk Pelestarian Lingkungan
Mengingat jumlah masjid yang mencapai sekitar 800 ribu dan populasi Muslim yang signifikan di Indonesia, Cholil yakin umat Islam di Indonesia dapat memberikan kontribusi besar dalam mengatasi perubahan iklim.
Cholil mengakhiri pesannya dengan menekankan pentingnya aksi nyata dalam menghadapi perubahan iklim. Ulama diharapkan dapat menyuarakan seruan moral dan etis kepada masyarakat agar lebih peduli terhadap lingkungan dan melakukan langkah-langkah konkret untuk menjaga alam.
“Menjaga lingkungan adalah bagian tak terpisahkan dari ibadah sosial yang melibatkan hubungan manusia dengan alam lingkungannya,” pungkasnya.
Dengan demikian, tanggung jawab untuk menjaga alam dan mengurangi dampak perubahan iklim menjadi bagian dari amanah keagamaan yang harus diemban oleh seluruh umat, terutama melalui peran aktif ulama dalam membimbing dan mengedukasi masyarakat.
Baca Juga: Menhan: 25 Nakes TNI akan Diberangkatkan ke Gaza, Jalankan Misi Kemanusiaan
Rangkaian kegiatan konferensi nasional IRI ini diawali seminar dengan menghadirkan dua narasumber ahli, yakni Dr. Mego Pinandito, Deputi Bidang Kebijakan Pembangunan, BRIN dan Doddy S. Sukadri, Ph.D., Senior Advisor at the Institute for Sustainable Earth Resources (I-SER), Universitas Indonesia.
Selanjutnya pemaparan presentasi Abstrak dari karya-karya ilmiah terpilih yang sesuai dengan enam sub-tema yang ditentukan IRI dalam mengeksplorasi kerangka pentahelix, pendekatan kolaboratif yang melibatkan pemerintah, akademisi, bisnis, masyarakat sipil, dan media, sebagai cara untuk mengatasi deforestasi dan perubahan iklim berbasis agama.
Fasilitator Nasional IRI Indonesia, Dr Hayu Prabowo menyatakan, konferensi tahunan IRI kedua ini melibatkan lima pemangku kepentingan utama (pemerintah, akademisi, bisnis, masyarakat sipil, dan media) untuk mengatasi penggundulan hutan tropis dan perubahan iklim.
“Sebanyak 49 abstrak diterima, menunjukkan peningkatan minat terhadap peran agama dalam perlindungan hutan. Konferensi ini mendorong kolaborasi sains dan agama untuk solusi lingkungan yang holistik,” pungkas Hayu.[]
Baca Juga: BMKG: Waspada Gelombang Tinggi di Sejumlah Perairan Indonesia
Mi’raj News Agency (MINA)