DI DUNIA yang sedang penat oleh perang dan kebohongan, satu nama kembali muncul dari debu ambisi: Benjamin Netanyahu. Lelaki tua yang wajahnya tak lagi memantulkan nurani, tapi bayang-bayang kekuasaan. Ia berdiri di depan kamera, berbicara tentang masa depan Israel, sementara masa depan ribuan anak Palestina telah ia kubur hidup-hidup di bawah puing-puing Gaza.
Dunia menatap dengan getir. Bagaimana seseorang yang menyalakan api perang tanpa rasa bersalah, kini berbicara tentang “harapan baru”? Kata-katanya terdengar seperti peluru yang dibungkus senyum. Ia tidak berjanji tentang kedamaian, ia hanya mengulang mantra lama: keamanan, terorisme, ancaman — semua pembenaran untuk menembak yang tak bersenjata.
Gaza masih berasap, kuburan massal belum dingin, dan air mata ibu-ibu Palestina belum kering. Tapi ia muncul lagi, dengan jas rapi dan senyum politisi yang lihai. Dunia pun bertanya-tanya: adakah hati yang benar-benar mati hingga tak lagi mengenal rasa malu?
Netanyahu bukan hanya politisi busuk, ia adalah kisah tentang kerakusan yang berulang. Ia tidak sekadar haus jabatan, tapi kecanduan pada kekuasaan. Setiap masa jabatannya menjadi babak baru penderitaan bagi rakyat yang tak punya negara, tapi punya doa yang tak pernah padam.
Baca Juga: [POPULER MINA] Israel Langgar Gencatan Senjata di Gaza dan Pertukaran Tahanan
Ia pernah dicintai, kini dicaci. Bahkan sebagian rakyat Israel sendiri mulai muak dengan ulahnya yang tak punya hati. Mereka berteriak di jalan-jalan Tel Aviv, menolak keangkuhan pemimpin yang menjual moral demi kursi kekuasaan. Tapi seperti tembok yang menolak retak, Netanyahu terus berdiri — menutup telinga dari suara keadilan, menutup hati dari jeritan kemanusiaan.
Dunia telah bersuara. Dari Timur hingga Barat, kecaman datang bergelombang. Lembaga HAM menyebutnya pelaku kejahatan perang, PBB menyeru agar kekerasan dihentikan. Tapi di matanya, semua itu hanyalah angin lalu. Ia tetap berbicara tentang “hak membela diri”, sementara para ibu Palestina terus menggali reruntuhan mencari jasad anak mereka.
Barangkali inilah definisi kekuasaan tanpa nurani: ketika darah menjadi statistik, dan penderitaan dijadikan alat kampanye. Netanyahu berjalan di atas jalan yang ia bangun sendiri — jalan dingin dari beton politik, tanpa bunga kemanusiaan yang tumbuh di sisinya.
Dalam sejarah, kekuasaan semacam ini tak pernah abadi. Firaun pernah menenggelamkan bayi, tapi akhirnya ditenggelamkan oleh laut. Qarun menimbun harta, tapi ditelan bumi. Dan kini Netanyahu menimbun kebohongan dan darah — entah dengan apa sejarah akan menguburnya nanti.
Baca Juga: Taaruf Dunia Konstruksi: Hikmah Robohnya Mushala Pesantren Al Khozini
Dunia Islam tahu, bahwa kezaliman bisa tampak perkasa, tapi hanya sementara. Allah telah berfirman,
وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ
“Janganlah kamu mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang zalim.” (QS. Ibrahim: 42)
Ayat ini adalah cambuk bagi setiap penguasa yang lupa diri, termasuk mereka yang membungkus kekerasan dengan bendera nasionalisme.
Baca Juga: Dari Polemik Trans7 Menuju Etika Media yang Beradab
Netanyahu mungkin berpikir dunia akan lupa. Tapi bagaimana melupakan suara anak kecil yang berkata, “Aku ingin hidup, tapi langitku penuh pesawat perang”? Bagaimana melupakan bayi yang dikeluarkan dari reruntuhan tanpa sempat mengenal ayahnya? Luka seperti ini tak bisa dikubur oleh propaganda.
Jika ia berpikir bisa kembali memimpin, mungkin ia lupa bahwa dunia sudah berubah. Generasi muda Israel pun kini mulai bertanya: sampai kapan harus hidup dalam ketakutan yang diciptakan pemimpinnya sendiri? Sampai kapan berdamai dengan dosa kolektif?
Politik Netanyahu telah menelanjangi wajah Israel di mata dunia. Demokrasi yang mereka banggakan kini terlihat seperti topeng — menutupi wajah kolonialisme modern yang masih hidup di abad ke-21. Dunia menatap, dan semakin banyak yang tak lagi percaya.
Maju lagi dalam pemilu mungkin tampak seperti langkah berani, padahal itu hanyalah bentuk keputusasaan. Ketika kekuasaan menjadi satu-satunya tempat berlindung dari dosa masa lalu, seseorang akan terus berlari ke arah kehancurannya sendiri. Netanyahu sedang menuju ke sana, cepat atau lambat.
Baca Juga: Trans7 Tidak Memahami Esensi Mulianya Tradisi Takzim kepada Guru di Pesantren
Tapi Palestina tetap berdiri. Mereka mungkin tak punya tank, tapi mereka punya iman. Mereka mungkin tak punya senjata, tapi mereka punya sabar. Dan di setiap sujud mereka, ada doa yang menembus langit — doa yang tak mungkin dikalahkan oleh politik mana pun di dunia.
Netanyahu bisa maju lagi, tapi sejarah sudah menulisnya dalam tinta darah. Ia bisa berbicara sebanyak yang ia mau, tapi dunia sudah tahu siapa yang menyalakan api dan siapa yang menjadi korban. Kekuasaan bisa menipu manusia, tapi tidak bisa menipu Tuhan. Dan ketika waktunya tiba, kebenaran akan menang — sebagaimana janji-Nya: bahwa bumi ini akan diwarisi oleh orang-orang yang beriman dan berbuat baik.[]
Mi’raj News Agency (MINA)