Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Muktamar PPP: Ketika Persatuan Hanya Menjadi Slogan, Perpecahan dalam Realita

Widi Kusnadi Editor : Rudi Hendrik - 31 detik yang lalu

31 detik yang lalu

0 Views

suasana muktamar PPP

MUKTAMAR Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kali ini, yang digelar di Jakarta sejak 27 September hingga 1 Oktober 2025, seolah menjadi panggung drama politik yang menegangkan sekaligus menggelikan. Partai yang lahir dari cita-cita persatuan dan pembangunan, kini tampak seperti arena tarik-menarik kursi ketua umum, di mana para kader saling dorong-dorongan demi posisi duniawi.

Ironisnya, nama Persatuan yang tertulis gagah di spanduk, tampak seperti sekadar pajangan, sementara realitas di aula muktamar adalah pertunjukan ego dan intrik yang lebih mirip sandiwara sinetron daripada forum musyawarah.

Menonton jalannya pemilihan ketua umum, kita seperti berada di teater politik absurd. Strategi dan manuver rumit bertebaran, membuat orang biasa pusing, sementara rakyat menonton dengan mata penuh tanya.

Bukankah kursi itu seharusnya menjadi sarana membangun bangsa, bukan panggung bagi ambisi pribadi? Profesor politik Miriam Budianto menilai, “Jika internal partai saja tidak mampu bersatu, bagaimana partai itu bisa dipercaya memimpin pembangunan?”

Baca Juga: 2.333 Desa di Indonesia Belum Tersentuh Internet, Tantangan Percepatan Digitalisasi Nasional

Al-Qur’an pun memberikan pelajaran yang sederhana namun mendalam: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai…” (QS. Ali Imran: 103). Namun di tengah hiruk-pikuk muktamar, nasihat itu seolah tenggelam di antara suara protes dan klaim kepantasan.

KH. Abdul Muqtadir, ulama kontemporer, menegaskan, “Persatuan itu lebih berharga daripada kemenangan seseorang yang hanya menumpuk gelar. Ego pribadi jangan sampai menutupi tujuan besar partai.”

Hadits Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan: “Seorang mukmin itu untuk mukmin yang lain seperti bangunan, saling menguatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Namun di muktamar ini, bangunan itu tampak retak. Sebagian anggota saling menjatuhkan, bukannya menopang. Drama politik yang berlangsung, dengan debat alot dan sindiran terselubung, lebih mirip sinetron yang episode-episodenya tak kunjung usai.

Banyak Kiyai dan sesepuh mengingatkan bahwa kursi ketua umum adalah amanah, bukan harta yang diperebutkan bagai emas terakhir. Namun realitas di lapangan tampak berbeda. Humor pahit bertebaran di media sosial: “Siapa yang lebih pantas memegang tampuk kepemimpinan?” seolah menjadi ujian bagi rakyat, bukan kader partai.

Baca Juga: Rektor UIN Ar-Raniry Doakan MINA Terus Istiqamah Suarakan Cinta Al-Aqsa dan Palestina

Sejarawan politik Dr. Hasan Al-Farisi menambahkan, “Partai politik yang gagal menjaga persatuan internal akan kehilangan legitimasi moral di mata publik. Kursi ketua umum seharusnya simbol tanggung jawab, bukan simbol perpecahan.”

Kata-kata ini menjadi cermin bahwa ego pribadi dan kepentingan golongan seharusnya hanya ditempatkan setelah prinsip persatuan terpenuhi.

Al-Qur’an kembali menasihati: “…dan janganlah kamu berselisih, karena itu akan melemahkan kekuatanmu…” (QS. Al-Anfal: 46). Betapa tepat nasihat ini saat kita melihat pertarungan ego yang berlarut-larut. Rakyat menunggu solusi nyata bagi pembangunan, tapi mereka malah menyaksikan drama internal yang mempermalukan nama persatuan itu sendiri.

Hadits lain menegaskan: “Janganlah seorang kalian menuntut dunia dengan cara yang merusak persaudaraan.” (HR. Ahmad). Sayangnya, banyak kader tampak lupa bahwa muktamar adalah kesempatan emas untuk memperkuat tali ukhuwah, bukan ajang membela kepentingan sempit. Bahkan, humor politik yang lahir di media sosial sering kali lebih masuk akal daripada debat resmi di aula muktamar.

Baca Juga: Rektor UIN Ar-Raniry: Pernyataan Prabowo di PBB Strategi Diplomasi untuk Palestina Merdeka

Jika setiap kader mampu menahan ego sejenak dan membuka hati untuk musyawarah, kemenangan bukan hanya milik individu, tapi milik partai, umat, dan bangsa.

Mantan Ketua Majelis Syuro KH. Ali Mufid mengingatkan: “Barangsiapa meninggalkan ego pribadi dan kepentingan golongan demi persatuan umat, maka Allah akan meneguhkan langkahnya dan memberkahi perjuangannya.”

Kita bisa menertawakan adegan-adegan sarkastik dalam muktamar ini, tapi di balik tawa ada ironi yang menohok: nama partai yang seharusnya simbol persatuan justru menjadi saksi perpecahan dan tarik-menarik ego.

Para peserta muktamar harus sadar bahwa rakyat bukan menonton sandiwara; mereka menginginkan teladan persatuan yang nyata.

Baca Juga: BGN Jatuhi Sanksi 79 Dapur MBG Bermasalah

Para kader partai hendaknya menunjukkan bahwa PPP memang layak menyandang nama “Persatuan dan Pembangunan”, bukan sekadar nama di spanduk. Jika tidak, sejarah akan mencatat muktamar ini bukan sebagai momentum persatuan, melainkan sebagai pertunjukan ego yang memalukan. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Sedekah Pohon Produktif, Upaya Berkelanjutan Lestarikan Alam

Rekomendasi untuk Anda