Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Munas X MUI Hasilkan Lima Fatwa

Rana Setiawan - Jumat, 27 November 2020 - 02:07 WIB

Jumat, 27 November 2020 - 02:07 WIB

7 Views

Jakarta, MINA – Sidang Komisi Bidang Fatwa yang digelar dalam Musyawarah Nasional (Munas) X Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menghasilkan keputusan lima fatwa.

Hasil Fatwa dibacakan oleh Juru Bicara Sidang Fatwa, Asrorun Ni’am Sholeh, dalam sidang pleno yang digelar malam ini pukul 21.00 WIB.

Munas X MUI hasilkan 5 fatwa,” kata Asrorun Ni’am kepada MINA, Kamis malam (26/11).

Munas X MUI berlangsung di Hotel Sultan Jakarta, 25-27 November 2020. Munas digelar secara luring dan daring. Peserta luring adalah pengurus MUI Pusat dan perwakilan daerah, sementara peserta daring adalah para pengurus daerah.

Baca Juga: Doa Bersama Menyambut Pilkada: Jateng Siap Sambut Pesta Demokrasi Damai!

Berikut selengkapnya lima fatwa hasil Munas X MUI 2020:

Hasil Sidang Komisi Bidang Fatwa Musyawarah Nasional X Majelis Ulama Indonesia

Jakarta, 25 – 26 November 2020

  1. Fatwa Tentang Penggunaan Human Diploid Cell untuk Bahan Produksi Obat dan Vaksin

Ketentuan Hukum

Baca Juga: Cuaca Jakarta Berpotensi Hujan Sore Hari Ini

  1. Pada dasarnya penggunaan sel yang berasal dari bagian tubuh manusia untuk bahan obat atau vaksin hukumnya haram, karena bagian tubuh manusia (juz’u al-insan) wajib dimuliakan;
  2. Dalam hal terjadi kondisi kedaruratan (dharurah syar’iyah) atau kebutuhan mendesak (hajah syar’iyah), penggunaan human diploid cell (sel diploid manusia, red.) untuk bahan obat atau vaksin hukumnya boleh, dengan syarat:

a. Tidak ada bahan lain yang halal dan memiliki khasiat atau fungsi serupa dengan bahan yang berasal dari sel tubuh manusia;

b. Obat atau vaksin tersebut hanya diperuntukkan untuk pengobatan penyakit berat, yang jika tanpa obat atau vaksin tersebut maka berdasarkan keterangan ahli yang kompeten dan terpercaya diyakini akan timbul dampak kemudaratan lebih besar;

c. Tidak ada bahaya (dharar) yang mempengaruhi kehidupan atau kelangsungan hidup orang yang diambil sel tubuhnya untuk bahan pembuatan obat atau vaksin;

d. Apabila sel tubuh manusia yang dijadikan bahan obat atau vaksin bersumber dari embrio, maka harus didapatkan melalui cara yang dibolehkan secara syar’i, seperti berasal dari janin yang keguguran spontan atau digugurkan atas indikasi medis, atau didapatkan dari sisa embrio yang tidak dipakai pada inseminasi buatan atau IVF (in vitro fertilization);

Baca Juga: Dr. Nurokhim Ajak Pemuda Bangkit untuk Pembebasan Al-Aqsa Lewat Game Online

e. Pengambilan sel tubuh manusia harus mendapatkan izin dari pendonor;

f. Dalam hal sel tubuh berasal dari orang yang sudah meninggal harus mendapatkan izin dari keluarganya;

g. Sel tubuh manusia yang menjadi bahan pembuatan obat atau vaksin diperoleh dengan niat tolong-menolong (ta’awun), tidak dengan cara komersial.

h. Kebolehan pemaanfaatannya hanya sebatas untuk mengatasi kondisi kedaruratan (dharurah syar’iyah) atau kebutuhan mendesak (hajah syar’iyah).

Baca Juga: Cinta dan Perjuangan Pembebasan Masjid Al-Aqsa Harus Didasari Keilmuan

 

  1. Fatwa Tentang Pendaftaran Haji Saat Usia Dini

Ketentuan Hukum​​​​

  1. Pendaftaran haji pada usia dini untuk mendapatkan porsi haji hukumnya boleh (mubah), dengan syarat sebagai berikut:

a. uang yang digunakan untuk mendaftar haji diperoleh dengan cara yang halal.

b. tidak mengganggu biaya-biaya lain yang wajib dipenuhi.

Baca Juga: Lewat Wakaf & Zakat Run 2024, Masyarakat Diajak Berolahraga Sambil Beramal

c. tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.

d. tidak menghambat pelaksanaan haji bagi mukallaf yang sudah memiliki kewajiban ‘ala al-faur dan sudah mendaftar.

2. Hukum pendaftaran haji pada usia dini yang tidak memenuhi syarat yang disebut pada angka 1 adalah haram.

 

Baca Juga: Prof Abd Fattah: Pembebasan Al-Aqsa Perlu Langkah Jelas

  1. Fatwa Tentang Pemakaian Masker Bagi Orang yang Sedang Ihram

Ketentuan Hukum

  1. Memakai masker bagi perempuan yang sedang ihram haji atau umrah hukumnya haram, karena termasuk pelanggaran terhadap larangan ihram (mahdzurat al-ihram), sedangkan memakai masker bagi laki-laki yang berihram haji atau umrah hukumnya boleh (mubah).
  2. Dalam keadaan darurat atau kebutuhan mendesak (al-hajah al-syar’iyah), memakai masker bagi perempuan yang sedang ihram haji atau umrah hukumnya boleh (mubah).
  3. Dalam hal seorang perempuan yang memakai masker pada kondisi sebagimana pada angka 2, terdapat perbedaan pendapat;

a. wajib membayar fidyah

b. tidak wajib membayar fidyah.

4. Keadaan darurat atau kebutuhan mendesak (al-hajah al-syar’iyah) sebagaimana dimaksud pada angka 2 antara lain:

Baca Juga: MUI Tekankan Operasi Kelamin Tidak Mengubah Status Gender dalam Agama

a. adanya penularan penyakit yang berbahaya;

b. adanya cuaca ekstrim/buruk;

c. adanya ancaman kesehatan yang apabila tidak memakai masker dapat memperburuk kondisi kesehatan.

 

Baca Juga: Prof. El-Awaisi Serukan Akademisi Indonesia Susun Strategi Pembebasan Masjidil Aqsa

  1. Fatwa Tentang Pembayaran Setoran Awal Haji Dengan Utang dan Pembiayaan

Ketentuan Hukum​​​​

  1. Pembayaran Setoran Awal Haji dengan uang hasil utang hukumnya boleh (mubah), dengan syarat:

a. bukan utang ribawi; dan

b. orang yang berutang mempunyai kemampuan untuk melunasi utang, antara lain dibuktikan dengan kepemilikan aset yang cukup.

  1. Pembayaran Setoran Awal Haji dengan uang hasil pembiayaan dari lembaga keuangan, hukumnya boleh dengan syarat:

a. menggunakan akad syariah.

Baca Juga: Syeikh Palestina: Membuat Zionis Malu Adalah Cara Efektif Mengalahkan Mereka

b. ​tidak dilakukan di Lembaga Keuangan Konvensional; dan

c. nasabah mampu untuk melunasi, antara lain dibuktikan dengan kepemilikan aset yang cukup.

3. Pembayaran setoran awal haji dengan dana utang dan pembiayaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1 (satu) dan 2 (dua) adalah haram.

 

Baca Juga: Guru Tak Tergantikan oleh Teknologi, Mendikdasmen Abdul Mu’ti Tekankan Peningkatan Kompetensi dan Nilai Budaya

  1. Fatwa Tentang Penundaan Pendaftaran Haji Bagi yang Sudah Mampu

Ketentuan Hukum​​​​

  1. Ibadah haji merupakan kewajiban ‘ala al-tarakhi bagi orang muslim yang sudah istitha’ah namun demikian disunnahkan baginya untuk menyegerakan ibadah haji.
  2. Kewajiban haji bagi orang yang mampu (istitha’ah) menjadi wajib ‘ala al-faur jika:

a. sudah berusia 60 tahun ke atas;

b. khawatir berkurang atau habisnya biaya pelaksanaan haji; atau

c. qadla’ atas haji yang batal.

3. Mendaftar haji bagi orang yang memenuhi kriteria pada angka 2, hukumnya wajib

4. Menunda-nunda pendaftaran haji bagi orang yang memenuhi kriteria pada angka 2, hukumnya haram.

5. Orang yang sudah istitha’ah tetapi tidak melaksanakan haji sampai wafat wajib dibadalhajikan.

6. Orang yang sudah istitha’ah dan sudah mendaftar haji tetapi wafat sebelum melaksanakan haji, sudah mendapatkan pahala haji dan wajib dibadalhajikan.

 

Ditetapkan di​: Jakarta

Pada tanggal​: 11 Rabi’ul Akhir1442 H – 26 November 2020 M

 

Musyawarah Nasional X

Majelis Ulama Indonesia

Pimpinan Sidang Komisi Bidang Fatwa

 

​​​Ketua​​​​​​

Prof. Dr. H. Hasanuddin AF​​

 

Sekretaris

Dr. HM. Asrorun Ni’am Sholeh, MA.

(L/R1/RS3)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Indonesia
Indonesia
Indonesia
Indonesia
Kolom
Kolom
Khadijah