SENJA jatuh di atas Gaza dengan warna merah yang getir. Langit menunduk, seolah ikut berduka menyaksikan bumi yang berlumur debu dan darah. Di antara reruntuhan, suara anak-anak bercampur isak ibu-ibu yang kehilangan keluarga. Tak ada yang tersisa selain luka, kepedihan, dan tanya: sampai kapan penderitaan ini harus terus berulang?
Namun, di balik hiruk pikuk perang dan propaganda yang menggema dari layar kaca, perlahan mulai muncul suara-suara dari jantung kekuasaan Israel sendiri. Suara yang tak lagi mampu menutupi kenyataan pahit bahwa perang ini bukan kemenangan, melainkan pengakuan atas kekalahan.
Pengakuan dari Dalam: Ketika Keangkuhan Mulai Retak
Mantan komandan militer Israel, Yitzhak Brick, pernah berkata jujur di depan publik: “Israel telah kalah perang melawan Hamas.” Kata-kata itu mengguncang, bukan hanya karena datang dari seorang militer senior, tetapi karena mencerminkan kegelisahan di dalam tubuh pasukan yang dulu dianggap paling tangguh di kawasan.
Baca Juga: Menanti Sikap Indonesia terhadap Rencana Kehadiran Atlet Israel
Bukan hanya Brick. Giora Eiland, mantan perwira tinggi IDF, mengakui hal serupa. Ia menyebut bahwa negaranya kini “bergantung kepada Hamas”. Kalimat itu menjadi semacam tamparan batin bagi bangsa yang selama ini percaya diri bahwa kekuatan senjata mampu memastikan kemenangan mutlak. Tapi rupanya, perang kali ini mengajarkan bahwa kekuatan bukan hanya diukur dari misil dan tank, melainkan dari tekad dan keyakinan yang tak bisa dihancurkan oleh bom.
Lebih dari itu, pengunduran diri Herzi Halevi, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel, menjadi simbol kegagalan besar dalam menjaga keamanan dan strategi nasional. Ia tidak sekadar mundur dari jabatan, tetapi mundur dari rasa percaya bahwa sistem yang mereka bangun bisa menjamin kemenangan. Inilah luka dalam yang tak bisa disembunyikan lagi: bukan Hamas yang membuat mereka kehilangan kendali, melainkan kesombongan mereka sendiri.
Israel mungkin masih memiliki senjata paling canggih, tapi kehilangan sesuatu yang jauh lebih penting — moral dan legitimasi. Dunia melihat penderitaan di Gaza, melihat anak-anak yang mati tanpa sempat bermain, dan perlahan simpati global mulai berpaling. Di titik ini, siapa sebenarnya yang menang, dan siapa yang kalah?
Ketika Luka Kemanusiaan Menjadi Cermin Kekalahan
Baca Juga: Rahasia Doa Rizki Halal dan Berkah, Mendapatkan Rezeki Tanpa Beban Berat
Di tengah reruntuhan Gaza, seorang ibu memeluk jasad anaknya yang dingin. Ia tak tahu siapa yang salah dan siapa yang benar; yang ia tahu hanya satu — perang telah merenggut hidup yang ia cintai. Di tempat lain, seorang ayah menggali tanah dengan tangan gemetar, menanam tubuh kecil yang belum genap sepuluh tahun. “Kami tidak butuh senjata,” katanya pelan, “kami hanya ingin hidup.”
Itulah realitas yang tak terbantahkan. Kekalahan sejati bukan ketika pasukan mundur dari medan perang, melainkan ketika nurani manusia berhenti bergetar melihat penderitaan sesamanya. Ketika peperangan berubah menjadi kebiasaan, dan kematian dianggap statistik.
Banyak yang menyebut bahwa Israel tidak memiliki strategi keluar dari konflik ini. Mereka seperti terperangkap dalam perang yang mereka ciptakan sendiri — sebuah “kemenangan” yang kehilangan makna. Di dalam negeri, masyarakat mulai mempertanyakan: sampai kapan darah harus mengalir demi ego politik dan klaim keamanan yang palsu?
Setiap rudal yang diluncurkan bukan hanya menghancurkan bangunan di Gaza, tetapi juga merobek hati sebagian warga Israel yang masih memiliki nurani. Mereka tahu bahwa peperangan ini tak akan membawa damai, hanya memperpanjang rantai kebencian.
Baca Juga: Negara Adidaya Lumpuh: Amerika Serikat Resmi Shutdown, Rakyat Terjerat Ketidakpastian
Di sisi lain, bagi rakyat Palestina, bertahan hidup saja sudah menjadi bentuk kemenangan. Meski tanpa pasukan besar dan tanpa senjata modern, mereka masih berdiri, berdoa, dan berharap. Di balik kehancuran, ada keteguhan yang tidak bisa dibunuh: keyakinan bahwa Allah tidak akan meninggalkan mereka.
Mungkin inilah yang membuat Israel kehilangan arah. Mereka menghadapi musuh yang tidak hanya berperang dengan peluru, tapi dengan iman dan kesabaran. Musuh yang ketika rumahnya hancur, justru mengucap “Alhamdulillah, Allah masih memberi nyawa.”
Sebuah Akhir yang Tak Lagi Bisa Ditutupi
Kini, ketika suara-suara dari dalam negeri Israel sendiri mulai mengakui bahwa strategi telah gagal, dunia menyaksikan babak baru: pengakuan tanpa pernyataan resmi. Tidak ada upacara, tidak ada konferensi pers, tapi semuanya tampak jelas dalam sikap dan kebijakan yang goyah.
Baca Juga: Bantuan Udara adalah Rudal Jenis Baru
“Mundur bukan strategi,” kata sebagian pemimpin Israel, tapi sesungguhnya mereka telah mundur — dari prinsip, dari kejujuran, dan dari rasa kemanusiaan.
Di Gaza, perang belum berhenti. Namun setiap doa yang terucap dari bibir-bibir yang berdebu menjadi kesaksian bahwa kekuatan sejati tidak datang dari pasukan, tetapi dari keyakinan bahwa keadilan Allah akan selalu menang di atas kezaliman manusia.
Perang mungkin masih berkobar, tapi sejarah sedang menulis sesuatu yang tidak bisa dihapus: bahwa kemenangan yang dibangun di atas penderitaan manusia, sesungguhnya adalah kekalahan yang paling memalukan.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Influencer Dibayar, Palestina Berdarah: Perang Sunyi di Media Sosial