Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mungkinkah Trump Laksanakan Janji Kampanyenya?

Widi Kusnadi - Senin, 14 November 2016 - 21:12 WIB

Senin, 14 November 2016 - 21:12 WIB

514 Views

Presiden terpilih AS Donald Trump

Terpilihnya Donald John Trump (70 thn) menjadi Presiden Amerika Serikat (AS) ke-45 dalam pemilu 8 November 2016 mengalahkan Hillary Rodham Clinton dengan meraih setidaknya 276 suara elektoral merupakan hal yang mengejutkan bagi masyarakat internasional, meski dalam beberapa polling sebelumnya menunjukkan kemenangan bagi Hillary Clinton (New York Times memprediksi 92 persen, FiveThirtyEight 87 persen dan PredictWise 90 persen).

Dalam kampanyenya, Trump sering melontarkan pernyataan kontroversial, diantaranya tentang deportasi imigran illegal, membangun tembok perbatasan Amerika-Meksiko, mencegah muslim masuk Amerika, dan meninggalkan para sekutunya.

Namun, sebagian orang percaya bahwa Trump sebetulnya tidak seburuk itu. Pernyataan Trump yang narsis, rasis, anti-imigran hanya digunakan untuk kepentingan kampanye dan menarik suara saja. Trump adalah pebisnis ulung, dia tahu betul apa yang diinginkan oleh “pasar” pemilih di kelompok konservatif AS.

Setelah ia terpilih, ia memberikan pidato sambutan dengan sejuk, tanpa ada unsur rasis. Hal itu bisa dilihat dari pidatonya seperti dikutip the New York Times:

Baca Juga: Mahsyar dan Mansyar: Refleksi tentang Kehidupan Abadi

“Now it’s time for America to bind the wounds of division; have to get together. To all Republicans and Democrats and independents across this nation, I say it is time for us to come together as one united people. It’s time. I pledge to every citizen of our land that I will be president for all Americans, and this is so important to me…. It’s a movement comprised of Americans from all races, religions, backgrounds and beliefs who want and expect our government to serve the people, and serve the people it will.”

Dengan segala kontroversi dalam rekam jejak dan kampanyenya, mungkinkah ada sisi baik kebijakan Trump yang menjadi harapan bagi rakyat AS khususnya dan juga masyarakat internasional? Mari kita lihat beberapa analisis di bawah ini yang dikutip dari beberapa pengamat:

  1. Hubungan dengan Islam dan Timur Tengah

Banyak kalangan meragukan Trump akan benar-benar memperketat hubungan AS dengan Timur Tengah setelah ia menjadi presiden. Dalam catatan penulis, Trump setidaknya telah berhasil menancapkan kuku bisnisnya di Timur Tengah dengan Trump Homenya mengembangkan swalayan besar. Konglomerat real estate itu juga membangun lapangan golf, menjual produk-produk mewah, retail, dan penyewaan gedung.

Produk-produk LifestyleTrump Home kebanyakan berada di swalayan-swalayan di Uni Emirat Arab, Kuwait, Arab Saudi dan Qatar.

Baca Juga: Sujud dan Mendekatlah

Sementara itu, khusus untuk produk retail dibawah Landmark telah memiliki anggota sebanyak 190 swalayan yang tersebar di beberapa negara di Afrika dan Pakistan.

Untuk jenis property, Trump bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan di  yang berbasis di Uni Emirat Arab, Azerbaijan, Turki dan beberapa negara lainnya. Di Dubai misalnya, ia bekerja sama dengan DAMAC properties membangun proyek real estate dan golf di negara itu.

Di Azerbaijan, pada November 2014, Trump mengumumkan kemitraan untuk membangun hotel mewah di Baku, Azerbaijan, tepatnya di Laut Kaspia.Dalam laporannya, Trump sangat optimis memperoleh keuntungan besar dari kerjasamanya itu.

Di Istanbul, Turki, ia membangun Trump Towers yang merupakan hunian 40 tingkat.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-17] Berbuat Baik pada Segala Sesuatu

Dalam situs pribadinya, Trump menyatakan memiliki pendapatan royalti dari lisensi itu berkisar antara 1 juta hingga 5 juta dollar AS.

Sementara di Indonesia, perusahaan Trump mengumumkan rencana pembangunan resor super mewah di daerah Tanah Lot, Bali dan lapangan golf di kawasan Lido, Bogor.

Dalam bisnis ini, Trump bermitra dengan MNC Group, konglomerasi Indonesia yang dikontrol oleh taipan Hary Tanoesoedibjo, untuk mengelola bisnisnya.

Melihat banyaknya bisnis Trump di atas, sebagai seorang yang sejak kecil dibesarkan di lingkungan pengusaha, rasanya kecil kemungkinan ia akan mengambil kebijakan diskriminatif terhadap dunia Islam dan Timur Tengah.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-16] Jangan Marah

Setidaknya Trump bisa mengambil pelajaran ketika banyak produknya diboikot di pasar Timur Tengah setelah ia melontarkan kampanye anti-Islamnya. Ia pasti tahu, umat Islam di manapun memiliki semangat solidaritas yang tinggi, apalagi yang berkaitan dengan masalah sosial ekonomi.

 

  1. Masalah imigran

Menurut hemat penulis, negara Amerika Serikat sama seperti Australia yaitu sama sama maju oleh para pendatang. Warga Asli benua itu, Indian menjadi warga kelas dua yang termarginalkan. Hampir semua aspek kehidupan masyarakat (ekonomi, politik, keamanan, dll) di negara itu dipegang oleh para imigran.

Seorang simpatisan partai Republik yang pada pemilu AS lalu memilih Hillary Clinton, Richard W Painter menulis, sudah menjadi rahasia umum bagi kebanyakan pengusaha Amerika bahwa adanya imigran merupakan “bahan bakar” perekonomian negara itu. Amerika Serikat menjadi negara kaya salah satu faktor utamanya adalah karena besarnya imigran yang masuk ke negara itu.

Baca Juga: Bahaya Zina dan Sebab Pengantarnya

Adalah kakek dari Trump sendiri, Frederick Kristus Trump,datang dari Jerman ke AS untuk membangun bisnis di sana. Ia bermigrasi ke Amerika pada 1885 dan mulai membangun bisnis restoran dan hotel di Bennett.

Sedangkan istri-istri  Trump, Melania lahir dan Lahir di Slovenia, pindah ke Amerika Serikat pada 2001 dan menjadi warga negara pada 2006, Ivana Zelnickova  berkebangsaan Cekoslovakia dan ibu Austria yang sebelumnya berprofesi sebagai model, sedangkan istri lainnya yang sudah dicerai Marla Ann Maples juga kelahiran Georgia.

Etnis yang kini mengendalikan ekonomi dan politik Amerika, yaitu bangsa Yahudi juga sebenarnya merupakan bangsa migran. Sejarah Yahudi di Amerika Serikat telah menjadi bagian dari sejarah nasional Amerika sejak zaman kolonial. Sampai tahun 1830-an komunitas Yahudi di Charleston, South Carolina adalah yang paling padat penduduknya di Amerika Utara.

Dengan adanya imigrasi besar-besaran orang Yahudi dari masyarakat diaspora di Jerman pada abad ke-19, mereka menempatkan diri di banyak kota-kota kecil dan kota-kota lainnya.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-15] Berkata yang Baik, Memuliakan Tamu, dan Tetangga

Pada tahun 1940, orang-orang Yahudi berjumlah 3,7% dari populasi nasional Amerika Serikat. Sekarang, sekitar 5 juta penduduk atau di bawah 2% dari total penduduk nasional. Jumlah ini menyusut akibat ukuran keluarga kecil dan pernikahan antaragama mengakibatkan ketidak patuhan pada ajaran agama Yahudi. Pusat-pusat populasi terbesar adalah wilayah metropolitan New York (2,1 juta), Los Angeles (668.000), Miami (331.000), Philadelphia (285.000), Chicago (265.000) dan Boston (254.000).

Oleh karena itu, statemen Trump yang pada masa kampanye mengatakan akan menutup pintu imigran yang datang ke AS tampaknya akan sulit dilakukannya setelah jadi Presiden. Selama negara itu belum mampu mengatasi persoalan ekonomi dan politiknya sendiri, rasanya mustahil hal itu akan dilakukan.

 

  1. Tembok AS-Meksiko

 

Baca Juga: Masih Adakah yang Membela Kejahatan Netanyahu?

Satu lagi rencana kontroversi Donald Trump adalah akan membangun tembok perbatasan AS dan Meksiko. Yang lebih lucu lagi, ia meminta Presiden Meksiko, Enrique Pena Nieto untuk mendanai 100 persen pembuatan tembok tersebut. Pernyataan itu dikemukakan Trump di hadapan massa pendukungnya di Kota Phoenix, Negara Bagian Arizona, seusai bertemu Presiden Meksiko Pena Nieto.

Presiden Nieto sendiri mengaku tidak sudi jika negaranya harus menanggung biaya untuk membangun tembok perbatasan AS –Meksiko yang terbentang sepanjang 3.200 km itu. Pembangunan tembok perbatasan itu usulan Trump untuk mencegah imigran ilegal dari Meksiko dan negara lain di Benua Amerika memasuki AS.

”Pada awal percakapan dengan Donald Trump, saya membuat jelas bahwa Meksiko tidak akan membayar untuk dinding,” tulis Presiden Nieto di akun Twitter-nya, @EPN September 2016 lalu.
Jason Miller, penasihat komunikasi senior Trump, mengatakan pertemuan Trump dengan Presiden Nieto  hanya membahas hubungan di antara mereka.

”Itu bukan negosiasi tentang tembok pembatas sehingga tidak mengherankan bahwa mereka memiliki dua pandangan yang berbeda tentang masalah ini dan kami berharap untuk melanjutkan pembicaraan,” katanya dalam sebuah pernyataan.

Baca Juga: Catatan 47 Tahun Hari Solidaritas Internasional untuk Rakyat Palestina

Rencana Trump tentang pembangunan tembok juga banyak dikecam oleh para senator di Partai Republik, partainya sendiri.  Seperti diberitakan Reuters, bahwa banyak senator partai pendukung Trump itu meragukan rencana tersebut, bahkan sehari setelah pemilu, mereka meminta Trump untuk meralat pernyataannya itu.

Alasannya, pembangunan tembok membutuhkan dana yang sangat besar, sementara Presiden Meksiko sendiri tidak mau mengeluarkan seperserpun untuk membiayai program itu. Dan rasanya tidak mungkin pula Kongres AS menyetujui anggaran sebesar itu.

Ini adalah “tidak mungkin tetapi bukan tidak mungkin” bahwa ia akan mampu membangun dinding, menurut Dr Gina Yannitell Reinhardt, dari Departemen Pemerintah di Exeter University.

Dr Reinhardt selanjutnya mengatakan: “Dia (Trump) tidak akan mungkin melakukan itu. Kongres pasti tidak mendukung untuk membangun tembok AS-Meksiko dan itu akan menjadi usaha yang sangat rumit. ”

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-14] Tidak Halal Darah Seorang Muslim

  1. LGBT

 

Donald Trump dan wakilnya Mike Pence memang dikenal sebagai calon pasangan anti LGBT. Ia berkali-kali menegaskan komitmennya untuk menjadikan perkawinan normal antara satu laki-laki dan satu perempuan sebagai pondasi untuk membangun peradaban Amerika di masa depan.

Jika ia terpilih, Trump berjanji untuk menandatangi First Ammandement Defense Act jika disetujui oleh Kongres.Amandemen ini dirancangoleh DPR dan Senat AS pada 17 Juni 2015 yang bertujuan untuk melindungi orang-orang yang menentang LGBT berdasarkan keyakinan agama mereka dari tindakan represif pemerintah federal.

Amandemen ini sekaligus membatalkan keputusan yang ditandatangani Presiden Obama tahun 2014 lalu mengenai larangan diskriminasi bagi kaum LGBT.

Baca Juga: Tahun 1930 Tiga Pelajar Indonesia Syahid di Palestina

Pimpinan Dewan Riset Keluarga Ultraconservative,Tony Perkins mengatakan bahwa kampanye anti LGBT yang dilakukan Trump telah memberikan harapan baru bagi kelompok keagamaan yang selama ini menentang perkawinan sejenis di AS.

Sementara Hillary Clinton yang sejak awal mendukung eksistensi LGBT melakukan hal yang cukup mengejutkan. Ia bahkan mengancam adan menghentikan bantuan kepada negara-negara yang tidak mau mempromosikan LGBT. Mungkin itulah salah satunya yang menyebabkan banyak orang tidak memilihnya.

Kemenangan Trump menjadi bencana bagi aktivis dan pelaku LGBT yang selama ini mendukung Hillary Clinton.Mereka menumpahkan kekecewaannya di berbagai media sosial. Aktor film AS pendukung LGBT, Chayenne Jackson menggambarkan kemenangan Trump sebagai “A True American Horror Story”(kisah yang sungguh mengerikan bagi Amerika).

Kesimpulan

Masyarakat internasional sempat menaruh harapan besar kepada Barrack Obama ketika ia menjabat sebagai presiden AS. Ia digadang dapat menjadi solusi ditengah banyaknya krisis dunia, terutama di Timur Tengah dan dunia Islam.

Namun, ternyata harapan itu kosong belaka. Selama ia menjabat, nyatanya justru banyak terjadi konflik di negara-negara Islam. Krisis Suriah, lahirnya ISIS di Irak, kudeta di Mesir, perang Yaman dan banyak lagi rentetan konflik selama ia menjadi penguasa negara itu.

Apa yang dilakukan Trump nantinya, tentu akan mengedepankan kepentingan bisnisnya, dan sekelompok orang yang telah mendukungnya selama ini.  Sebagai bisnismen, Trump pastinya akan mengambil langkah yang realistis demi menjapai tujuan itu, tak perduli dengan janji kampanye yang telah ia ucapkan.

Siapapun presiden AS, mereka hanya akan berbuat sesuatu untuk mengamankan kepentingannya. Mereka tidak akan memikirkan perdamaian dan keadilan seperti yang didengungkan negara penganut demokrasi.

Oleh karenanya, umat Islam hanya akan bisa menyelamatkan diri mereka dimulai dari masing-masing pribadi yang mau bersatu, saling mengedepankan kepentingan dan kemaslahatan umat.

Berharap kepada Amerika rasanya hanya akan menjadi pepesan kosong belaka. (R03/P2)

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

 

 

Rekomendasi untuk Anda

Palestina
MINA Preneur
Amerika
Kolom
Khadijah
Amerika