Musibah yang Berujung Nestapa

Oleh: Widi Kusnadi, Da’i Pesantren Al-Fatah.

اَلْحَمْدُ لِلّهِ، اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ هَدَانَا صِرَاطَهُ الْمُسْتَقِيْمَ، صِرَاطَ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَالصِّدِيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ أُوْلٓـئِكَ رَفِيْقاً. أشْهَدُ أنْ لاَ إِلٰه إلاَّ اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ علَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمّدٍ وَعَلَى آلِه وأصْحَابِهِ هُدَاةِ الأَنَامِ في أَنْحَاءِ البِلاَدِ.

فَيَا عِبَادَ اللّٰه أوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَا نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللّٰهِ فَقَدْ فَازَ الْمُؤْمِنُوْنَ الْمُتَّقُوْنَ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقوَى، قَالَ اللّٰهُ تَعَالَى فِي الْقُرْاءَنِ الْكَرِيْمِ أَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَيْطَانِ الرَّجِيْمِ

وَقَالَ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

Hadirin rahimakumullaah

Marilah kita selalu berusaha semaksimal mungkin untuk untuk meraih gelar takwa sebagai puncak kemuliaan. Dengan ketakwaan yang terus dipelihara dan ditingkatkan dalam diri kita, dalam keluarga kita, di lingkungan kita, dalam bangsa dan negara kita, maka, insya-Allah akan menumbuhkan kesejahteraan dan keberkahan hidup.

Jamaah shalat Jumat yang Allah muliakan

sering diartikan sebagai segala sesuatu yang dianggap sebagai sebuah penderitaan, menjadikan kesedihan, kesusahan dan kerugian bagi manusia. Musibah ada yang sifatnya personal, seperti kematian, kehilangan barang, bangkrutnya bisnis dan lainnya. Musibah juga bisa bersifat kolektif (massal) seperti bencana alam berupa gempa bumi, tsunami, banjir dan lain sebagainya.

Sedangkan kata bisa diartikan sebagai penderitaan yang berlipat ganda. Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga dan genting. Tidak berhenti sampai di situ saja, sudah tertimpa musibah namun tidak ada orang yang menolongnya. Begitulah nestapa, sudah menderita kerugian, masih tertimpa kesusahan lainnya, lagi dan lagi, sehingga kerugian, kesedihan dan penderitaannya berlipat-lipat dan tidak ada yang bisa memberi pertolongan dan atau mengobati sakit dan deritanya.

Berbicara tentang dampak musibah, secara umum penulis membagi musibah menjadi dua macam yaitu; musibah yang berdampak duniawi dan musibah yang berdampak ukhrawi.

  1. Musibah Duniawi

Musibah duniawi adalah segala sesuatu yang menimbulkan kerugian dan penderitaan secara materiil dan fisik terhadap seseorang. Sebagai contoh, seseorang yang tertimpa musibah kecelakaan. Mobil/motornya rusak bahkan hancur, badannya sakit dan harus masuk rumah sakit, keluarganya sedih dan repot, ditambah lagi harus mengeluarkan sejumlah uang untuk biaya pengobatan. Tidak jarang sudah mengeluarkan biaya sangat mahal, nyawanya tidak tertolong.

Akan tetapi, musibah yang menguras biaya, tenaga, perhatian dan membuat sedih semua anggota keluarga itu apabila disikapi dengan ikhlas, sabar dan tawakal yang penuh kepada Allah, maka Dia akan mengganti semua musibah itu dengan pahala, kenikmatan dan kedudukan yang mulia di sisi-Nya. Bukankah kedudukan mulia di sisi Allah adalah dambaan semua manusia.

Sekiranya manusia mengetahui pahala orang yang sabar saat tertimpa musibah, niscaya semua orang menginginkan bisa mengalami itu semua karena penderitaan di dunia yang berlangsung begitu singkat tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kenikmatan yang Allah berikan sebagai ganti bagi orang-orang yang bersabar dalam menjalani musibah.

Sungguh betapa Maha Adilnya Allah mengganti kesengsaraan dan kesedihan yang hanya sebentar saja selama di dunia dengan kenikmatan dan kedudukan mulia di sisi-Nya, yaitu surga yang abadi, selama-lamanya.

Contoh lain musibah yang ada di sekitar kita adalah ketika seseorang berada dalam kemiskinan, kekurangan, bertahun-tahun berada di rumah kontrakan, usaha yang tak kunjung sukses, penghasilan tak kunjung beres, anaknya menderita penyakit dengan kebutuhan khusus, beberapa bahkan terlibat kasus, hingga badannya kering dan kurus.

Semua itu jika dihadapi dengan sabar, ikhlas menerima ketentuan, tetap istiqomah menjalankan ibadah, tetap optimis dan berbaik sangka kepada Allah, serta bertawakkal sepenuh jiwa dan raganya kepada Sang Pencipta, maka itu semua akan menjadi kebaikan bagi dirinya, menggugurkan dosa-dosanya, meninggikan derajatnya, dan Allah ganti kesabarannya dengan kenikmatan tiada tara yaitu surga di sisi-Nya.

  1. Musibah Ukhrawi

Orang yang tertimpa musibah ukhrawi adalah mereka mengalami musibah seperti contoh di atas, akan tetapi tidak mampu bersikap sabar, ikhlas dan tawakal.  Musibah itu penderitaannya tidak hanya dirasakan di dunia, namun juga berlanjut di akhirat. Bahkan di akhirat nanti, ia akan mendapat kehinaan dan siksa yang pedih dan berlipat-lipat di neraka. Mengapa demikian?

Musibah ukhrawi berupa siksa neraka akan terjadi karena ketika menghadapi musibah di dunia, ia berkeluh-kesah, putus asa, mencari kambing hitam, bahkan menyalahkan takdir atas dirinya, padahal sikapnya itu tidak bisa merubah nasib yang dialaminya sedikitpun.

Seperti musibah kecelakaan di atas, sudah menjadi korban, tapi ia tidak bisa menerima kejadian yang menimpa dirinya. Ia selalu mengeluh, mencaci, mencela dan menyalahkan orang lain,  bahkan takdir Allah dianggap salah. Apabila hingga akhir hayat ia tetap berada dalam sikap seperti itu, maka mereka itulah orang yang mengalami musibah yang berujung nestapa. Sudah menderita di dunia, kehilangan harta benda dan jiwa, di akhirat mendapat siksa serta tidak ada yang bisa menolongnya.

Musibah lain yang bisa menjadi kesengsaraan dan kerugian yang sesungguhnya adalah apabila ia tidak bisa menerima nasihat, kritik kepadanya. Sehingga ia tidak bisa mendapatkan petunjuk, kebaikan dan pahala dari nasihat itu.

Tetidakmampuan seseorang dalam menerima nasihat merupakan ciri kesombongan. Ia tidak mampu melihat kekurangan, kelemahan dan dosa diri sendiri. Bahkan ia malah sibuk dengan mencari kesalahan orang lain. Ia meremehkan orang lain, menganggap rendah orang lain karena status ekonominya yang miskin, latar belakang pendidikan yang rendah atau pekerjaannya yang dianggap tak berharga.

Bagi orang sombong, dosa diri sendiri dianggap seperti seekor lalat kecil di depan mukanya sehingga cukup dihalau dengan jari tangannya, lalat akan pergi dengan sendirinya.

Orang yang sombong,  meskipun secara fisik dan materi, mungkin tidak menunjukkan kerugian dan penderitaan, bahkan mungkin malah terlihat puas dan gembira, tetapi sesungguhnya ia telah tertimpa musibah yang berujung nestapa, yaitu kesengsaraan, penderitaan dan siksa di akhirat kelak.

Semoga Allah karuniakan kesabaran dan keikhlasan dalam menjalani ujian hidup. Serta menjauhkan kita dari musibah yang berujung nestapa.

Semoga Allah meridhai kita semuanya. Aamiin.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

(A/P2/B05)

Mi’raj News Agency (MINA)