Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Muslich Akhairin, Guru yang Bijak, Ikhlas dan Berwawasan

Ali Farkhan Tsani - Kamis, 14 November 2019 - 00:05 WIB

Kamis, 14 November 2019 - 00:05 WIB

8 Views

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA

Hari Rabu, 6 November 2019 M / 10 Rabiul Awwal 1441 H sekitar Pkl 22.35 WIB menjadi hari terakhir dari usia Sang Guru, Muslich Akhairin bin Abu Khair, di rumah duka.

“Pak Guru,” begitu warga menyapa ayah tujuh anak, kelahiran Desa Linggapura, Kecamatan Tonjong, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Rabu, 28 Dzulqa’dah 1361 H. / 7 Desember 1942.

Usia 80 tahun hitungan Hijriyah (77 tahun hitungan Masehi), menjadi batas akhir umurnya, setelah berjuang menghadapi sakit stroke sekitar tiga tahun terakhir.

Baca Juga: Pak Jazuli dan Kisah Ember Petanda Waktu Shalat

Dalam sakitnya, Pak Guru Muslich, alumni PGA 6 tahun di Jogjakarta, tidak pernah tinggalkan shalat, bahkan puasa Ramadhan. Beberapa bulan terakhir, saat terbaring di tempat tidur, ia tetap shalat dengan berbaring. Sambil dibimbing putra-putrinya yang ada di dekatnya. Termasuk shalat tahajud dan shalat Dhuha.

Pada Ramadhan lalu, keluarganya telah menyampaikan, bahwa ada keringanan (rukhshah) tidak berpuasa karena udzur sakit. Tetapi ia menjawab, “Biarkan Bapa ikut puasa Ramadhan, untuk menambah bekal akhirat.” Subhaanallaah.

Hobinya mendengarkan orang mengaji Al-Quran. Maka, biasanya kalau ada cucu-cucunya yang datang, dan memang beberapa cucunya hafal Al-Quran, Mbah Kakung acapkali request, minta disenandungkan Al-Quran.

Kadang Ar-Rahman, Al-Waqi’ah, atau lainnya, begitu pengalaman Tsabit Abdul Quddus (19 th), cucu keempat yang hafal Quran. Juga Ruqoyyah Salsabila (17 th), cucu kelima yang hafizah Quran juga.

Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia

Guru Yang Bijak

Sulit menceritakan dengan kata-kata,” begitu ujar Ustaz Slamet Sofyan, da’i Jama’ah Muslimin (Hizbullah) Wilayah Jawa Tengah Utara, yang merupakan murid almarhum semasa PGA di Yayasan Pendidikan Nurul Islam (Yanuris) Lingapura.

Kala itu, sekitar tahun 70-an, Ponpes Yanuris dipimpin KH Asy’ari. Muslich Akhairin merupakan salah satu pengurus dan guru di Yanuris. Jabatan terakhir sebelum wafatnya adalah Sekretaris Dewan Pembina Yayasan.

“Tapi pada intinya yang paling terkesan dari perjalanan hidup Bapak Muslich Akhairin adalah orangnya low profile, bijak, dan supel dalam bergaul di lingkungan sekolah maupun masyarakat,” imbuh Slamet.

Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia

Ia juga menyebutkan, sosok almarhum dikenal sebagai orang yang humanis, humoris dan periang.

Ustaz Qomaruddin Basuni,MA, salah satu da’i Pondok Pesantren Al-Fatah Cileungsi, Bogor, Jawa Barat, pernah bersilaturrahim ke rumah almarhum sekitar tahun 1980-an. Serta berdialog secara terbuka dan penuh santun tentang persatuan dan kesatuan umat dengan almarhum.

Ada satu lagi kesan mendalam, saat shalat berjama’ah di Masjid At-Taqwa Cileungsi, Bogor, sekitar tahun 2015.

“Saya kaget, beliau memegang badan saya dan mendorong saya menjadi imam shalat jama’ taqdim qasar Asar. Padahal beliau adalah guru saya. Tapi beliau malah makmum ke saya,” imbuhnya.

Baca Juga: Abdullah bin Mubarak, Ulama Dermawan yang Kaya

Kekaguman para muridnya terhadap ketulusan didikan sang guru, di antaranya ditunjukkan dengan undangan khusus kepada Muslich Akhairin untuk menghadiri pengukuhan guru besar Prof. Dr. H. Fakhrudin,M.Pd. murid kecilnya dahulu.

Fakhruddin dikukuhkan sebagai guru besar Universitas Negeri Semarang pada tanggal 22 September 2013.

“Beliau adalah sosok pendidik hebat yang tidak hanya mentranformasi ilmu, tetapi juga sekaligus menjadi teladan dalam mengembangkan imajinasi tentang indahnya orang yang berilmu dan beramal pada anak didiknya,” ujar Prof Fakhrudin memberikan komentarnya terhadap mentornya tersebut.

Ketawadhuannya terhadap orang berilmu, ditunjukkan almarhum saat bersilaturrahim dan menghadiri pengajian KH Abdullah Gymanstiar (A’a Gym) di Bandung, tahun 2005.

Baca Juga: Behram Abduweli, Pemain Muslim Uighur yang Jebol Gawang Indonesia

Muslich Akhairin (kanan) saat bersilaturahim ke pengajian A’a Gym di Bandung, tahun 2005 (Dokpri)

Guru Yang Ikhlas

“Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Semoga almarhum Muslich muchlis khusnul khotimah,” ujar Chumaidi Syarief Romas,M.Si., sahabat sejak kecil, begitu mendengar kabar berita duka itu.

Chumaidi, mantan Ketua Umum PB HMI Periode 1976-1978, sedang berada di Jakarta beberapa hari pada saat berita duka itu ia terima, mengikuti agenda pisah sambutan purna tugas lima tahun di sebuah BUMN.

“Saya mohon maaf tidak bisa hadir karena sedang di Jakarta. Insya Allah setelah selesai segera saya mudik ke Linggapura untuk takziah,” ujar mantan Wakil Dekan 1 dan 2 UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta tersebut.

Baca Juga: Suyitno, Semua yang Terjadi adalah Kehendak Allah

Ditanya tentang almarhum, “Wah sejak saya ingusan belum sekolah hingga masuk sekolah selalu tahun yang sama, baik di Sekolah Rakyat maupun Madrasah selalu satu kelas,” imbuhnya, mengenang masa-masa tahun 50-an saat sekolah dulu.

“Sebagai sahabat sejak kecil sampai menjadi Pengurs Yanuris, almarhum adalah guru yang kemudian menjadi Direktur Madrasah Aliyah Yanuris hingga sebagai Sekretaris Dewan Pembina. Sepanjang hidupnya almarhum adalah pejuang dan pahlawan tanpa tanda jasa, berkata dan bertindak benar dengan ketulusannya,” imbuhnya.

“Ketulusan dan pengorbanan almarhum sudah teruji dengan pasti sebagai pejuang, baik di sekolah maupun di masyarakat luas. Saya sebagai saksi hingga akhir hayatnya. Insya-Allah seluruh amal perjuangannya yang pantang menyerah diterima Allah, sebagai bagian dari jaminan untuk mendapatkan ridha-Nya” imbunya.

“Selamat jalan wahai sobat lahir batinku yang sejati,” ujarnya.

Baca Juga: Transformasi Mardi Tato, Perjalanan dari Dunia Kelam Menuju Ridha Ilahi

Ucapan duka juga datang dari Ismet Rauf SH. Pemimpin Redaksi Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency) berpusat di Jakarta. Media online yang terbit dalam tiga bahasa: Indonesia, Arab dan Inggris, “Innaalillaahi wainnaa ilaihi rooji’uun. Almarhum mempunyai putra bernama Ali Farkhan Tsani, yang menjadi pendidik dan penulis, kini berjihad di MINA,” ujar Ismet dalam pesan WA-nya.

Pemimpin Umum MINA, Arief Rahman, bahkan hadir langsung ke rumah duka, sekaligus mewakili rekan-rekan wartawan Muslim di Jakarta.

Ucapan dukacita dan doa juga datang  melalui media sosial dari ikhwan akhwat di beberapa kota di Indonesia, seperti dari Jakarta, Bogor, Bekasi, Depok, Tangerang, Semarang, Pontianak, Nusa Tenggara Timur, hingga Malaysia dan Palestina.

Motto Hidup

Baca Juga: Dato’ Rusly Abdullah, Perjalanan Seorang Chef Menjadi Inspirator Jutawan

Almarhum Muslich Akhairin begitu rajin menulis dengan tinta penanya, dalam buku agenda tentang materi-materi ceramahnya. Seperti materi Aqidah, Ibadah, Akhlak, Falsafah Hidup, Metodologi Dakwah, Rumah Tangga, Kemasyarakatan hingga wawasan global.

Termasuk masih tercatat dengan tulisan indah, beberapa motto perjuangannya. Umpamanya dalam falsafah hidup, mottonya, “Hidup adalah perjuangan. Perjuangan untuk melaksanakan amanah Allah.”

Dalam menasihati rumah tangga, almarhum menuliskan pesannya, “Suami yang baik tentu cinta kepada istrinya, sayang kepada anak-anaknya, hormat kepada mertuanya, menjauhi yang menyakitkan istri, tidak sembunyi-sembunyi dari istri dan punya wawasan.”

Kepada kaum ibu, ia pun menuliskan, “Istri yang baik tentu pandai menjaga harga dirinya dan harta benda suaminya, hormat kepada mertuanya, tidak berbuat yang membuat pusing suami, tidak sembunyi-sembunyi dari suami, dan mampu menghamparkan sajadah.”

Baca Juga: Hambali bin Husin, Kisah Keteguhan Iman dan Kesabaran dalam Taat

Dalam hal dakwah, almarhum memiliki kalimat, “Terus dakwahkanlah Islam ke seluruh dunia sesuai sifatnya yang Rahmatan Lil ‘Alamin”. Serta, “Islam agama bagi orang-orang yang berpendidikan, berbudaya dan berpikiran maju. Sifat-sifat itu ada di Barat. Ke sanalah!”

Almarhum memandang, peluang dakwah ke negeri-negeri Barat (Eropa dan Amerika Serikat) sangat terbuka luas. Terbukti dengan banyaknya muallaf di sana dan orang-orang yang ingin mengetahui ajaran Islam.

Soal kepemimpinan kemasyarakatan, ia menyebutkan, “Pemimpin adalah pelayan masyarakat.” Juga kalimat, “Amanah Allah yang pokok ada dua, pertama amanah sebagai hamba Allah beribadah mengabdi kepada-Nya. Kedua, amanah Khilafah, untuk dapat melaksanakan segala peraturan Allah demi untuk memakmurkan dan mensejahterakan bumi seisinya.”

Adapun dalam falsafah kebangsaan, ia menyebutkan, “Antara agama Islam dan falsafah negara tak perlu dipertentangkan. Jika falsafah itu sesuai dengan ajaran Islam.”

Baca Juga: Dari Cleaning Service Menjadi Sensei, Kisah Suroso yang Menginspirasi

Menasihati tentang pentingnya shalat, Pak Guru Muslich menorehkan dengan penanya, lantunan pantun berikut:

“Pohon kenari buahnya lebat

Dipetik orang berkarung-karung

Hidup sekali tinggalkan sholat

Di dalam kubur meraung-raung.”

Ia pun senang dengan pepatah bahasa Arab dan bahasa Inggris, di antaranya tertulis,

كلما زادني علما زادني فهما بجهلي

Artinya: “Setiap bertambah ilmuku, bertambah pulalah aku insaf bahwa aku tidak tahu.”

Ada juga motto dalam bahasa Inggris, “The education is key to progress.” (Pendidikan adalah kunci untuk kemajuan).

Ia juga menulis, “Life is love. Love is friendship. Friendship is peace. Peace is life.” (Hidup adalah cinta. Cinta adalah persahabatan. Persahabatan adalah perdamaian. Perdamaian adalah hidup).

Muslich Akhairin saat menikahkan putrinya, Izzatun Nisa tahun 2017. (Dokpri)

Melanjutan Kebaikan

Ya, Muslich Akhairin, Pak Guru yang tetap dipanggil Pak Guru oleh warga, tidak ada istilah pensiunnya. Kata-katanya, perilakunya, bahkan diamnya menjadi teladan kebaikan.

Almarhum meninggalkan satu istri dan enam putra, 18 cucu, dan 4 buyut.

Termasuk Penulis, sebagai anak pertama almarhum, merasakan betapa didikan almarhum yang sangat bijak, selalu dengan contoh dan pengarahan, serta penuh kesabaran.

Penulis sejak kelas tiga SD, sudah disodori oleh almarhum buku-buku keagamaan untuk dibaca, walau belum paham kala itu apa maksudnya dan apa pula isinya. Seperti Tafsir Al-Azhar, Kitab Riyadhush Shalihin, Sirah Nabi dan Sahabat, dan buku-buku favorit karya Buya Hamka.

“Bapa memang pengagum Buya Hamka, di samping M.Natsir, KHA Dahlan,” ujar Penulis.

Penulis juga diajari mengetik sejak usia SD, dan sering diajak ke madrasah ikut saat mengajar, dan keliling saat berdakwah.

Semasa hidupnya, almarhum pernah menjabat sebagai Penilik Sekolah Agama Islam, Ketua Cabang Muhammadiyah Kecamatan Tonjong, Ketua Dewan Kemakmuran Masjid Jami Fadlullah Linggapura, dan Ketua Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) Linggapura.

Secara formal atas pengabdiannya sebagai Pengawas Sekolah Madya pada RA/TK/SD/MI/Madin di lingkungan Kandepag Kab. Brebes, Jateng, almarhum Muslich Akhairin menerima penghargaan Satyalancana Karya Satya 30 Tahun dari Presiden Megawati Soekarnoputri, tertanggal 16 Juni 2003.

Semasa hidupnya almarhum juga aktif sebagai juru dakwah, termasuk beberapa bulan sebelum stroke tidak bisa ke mana-mana, masih menjadi guru pengajian Kitab Riyadhush Shalihin bagi Kaum Muslimat di Pondok Yanuris Linggapura.

“Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya, menerima segala amal sholehnya, dan menempatkannya di surga-Nya, serta keluarga yang ditingggalkan mendapatkan ketabahan dan kemampuan melanjutkan amal kebaikannya. Aamiin.” (A/RS2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Tausiyah
Khutbah Jumat
Tausiyah
Tausiyah