afsel-300x238.jpg" alt="Muhammad Azeem Khatib. Foto: Rana/MINA" width="300" height="238" /> Muhammad Azeem Khatib. Foto: Rana/MINA
Jakarta, 21 Muharram 1437/3 November 2015 (MINA) –Tokoh terkemuka Afrika Selatan, Muhammad Azeem Khatib dalam kunjungannya ke Jakarta mengungkapkan citra Muslim Indonesia yang dikenal baik di Afrika Selatan dari sejak sebelum kemerdekaan hingga hari ini.
Pada saat Belanda menjajah Indonesia banyak tawanan yang di bawa ke daerah Bo-kaap, Cape Town, Afrika Selatan pada abad ke-17, secara paksa dan dirantai untuk dijualbelikan sebagai budak, namun sebagian dari mereka berhasil bertahan hidup dan meneruskan keturunan, kata Khatib, tokoh yang banyak bergeliat di bidang sosial.
“Waktu itu, justru Muslim dari Indonesialah yang terkenal suka bekerja keras, perilaku dan akhlaknya baik, sehingga banyak yang menerima keberadaan mereka di Afsel,” katanya saat berkunjung ke kantor berita Mi’raj Islamic News Agency (MINA), di Jl Kramat Lontar, Jakarta Pusat, Selasa (3/11).
Penduduk Indonesia yang menetap di Cape Town, berasal dari bermacam-macam suku, keturunan dan agama. Salah satu keturunan tersebut adalah keturunan Melayu yang berjumlah sekitar 600 ribu jiwa dimana sebagian besar dari mereka mengaku bernenek moyang dari Indonesia, termasuk Azeem Khatib salah satunya.
Baca Juga: Pengadilan Brasil Terbitkan Surat Penangkapan Seorang Tentara Israel atas Kejahatan Perang di Gaza
Menurut sejarah, agama Islam datang ke Afrika Selatan dibawa oleh Syekh Yusuf dari Bugis/Makasar yang diasingkan oleh Belanda pada tahun 1693. Syekh Yusuf dianggap sebagai Bapak Komunitas Muslim dan Bapak Budaya Melayu dari Indonesia oleh penduduk muslim di Western Cape. Hingga kini budaya tersebut masih hidup dan secara “sistematis” terus diaplikasikan.
Beberapa kegiatan ritual dan tradisi keagamaan yang berasal dari tanah Melayu masih terus dipraktekkan seperti ratib (debus di Indonesia). Ritual ini besar kemungkinan besar berasal dari tanah Banten. Beberapa ritual dan praktek agama lainnya banyak menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa penamaan ritual itu seperti puasa, buka puasa, sembahyang, bang (adhan), abdas (wudhu).
“Kata-kata Bahasa Indonesia lain yang masuk dalam kosa kata lokal tapi tidak ada kaitannya dengan ritual antara lain jamban (wc), terima kasih, kuli, pisang dan roti,” tambah Azeem.
Untuk memperkuat eksistensinya, tidak sedikit dari masyarakat Melayu secara gigih berjuang mendapatkan pengakuan resmi pemerintah atas tempat-tempat bersejarah Melayu sebagai monumen nasional.(L/R04/R03)
Baca Juga: Tim SAR dan UAR Berhasil Evakuasi Jenazah Korban Longsor Sukabumi
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)