Oleh: Theresa Corbin, Muslimah di New Orleans, AS, Penulis Lepas, Editor dan Seniman Grafis.
Ramadan adalah saat menemukan pijakan dalam iman, merasakan suasana baru, menciptakan komunitas, dan tentunya semakin eratnya hubungan dengan Allah.
Setiap kali Ramadan disebut, setiap itu pula terbayang rasa lapar, haus, dan lelah. Tapi kenangan amaliyah yang berlangsung selama di bulan suci Ramadhan sangat mengesankan.
Tahun ini, Penulis insya Allah dengan memohon pertolongan Allah, akan berjumpa kembali dengan Ramadhan ke-15, sejak saya memeluk agama Islam. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Penulis pun tentu kembali mengucapkan Selamat Datang Ramadhan.
Baca Juga: Tujuh Peran Muslimah dalam Membela Palestina
Ramadhan Pertama, Merasakan Kekuatan
Tahun 2001 adalah Ramadan pertama bagi Penulis. Penulis merasakan betapa beratnya mengubah pola konsumsi sekaligus menjaga tubuh agar tetap kuat. Pada November 2001, Penulis belajar bahwa pola makan selama puasa Ramadhan dapat memberi arti yang berbeda.
Penulispun bertekad untuk memulai hidup sebagai seorang Muslim terbaik yang saya bisa, yaitu dengan berusaha melaksanakan puasa Ramadhan sebulan penuh. Penulis sangat bersemangat untuk menghadapi tantangan puasa. Sebagai seorang Katolik sebelumnya, Penulis sebenarnya sudah biasa tidak makan siang, kecuali sedikit makanan ringan. Jadi Penulis pikir tidak makan dan minum siang hari, sama sekali tidak akan jauh berbeda.
Namun yang Penulis rasakan justru sangat berbeda. Sekedar tidak makan siang itu sangat berbeda dengan puasa. Saya menemukan diri saya berjuang mengatasi kelemahan. Tapi akhirnya Penulis menemukan justru menemukan kekuatan dengan cara yang berbeda. Penulis tumbuh dengan cara di mana tidak pernah menyadari bahwa ternyata bisa.
Baca Juga: Muslimah dan Masjidil Aqsa, Sebuah Panggilan untuk Solidaritas
Penulis rasakan bukan hanya basa terasa lemah, lebih mampu menahan keinginan untuk makan, akan tetapi menahan dorongan untuk marah, dorongan untuk berbohong, serta dorongan untuk melihat yang haram. Penulis dapat melakukan kontrol diri dalam hal ini.
Perut yang dikosongkan, justru menghilangkan perasaan kegelisahan dan hati dipenuhi dengan iman.
Ramadhan Ketiga, Ibadah Meningkat
Tahun 2004 Ramadan Penulis bertemu dengan Ramadhan ketiga. Perut lapar sudah mulai terbiasa, lalu berkumpul berbuka bersama dengan sesama Muslim di masjid hampir setiap malam. Namun, apa yang saya temukan di masjid ternyata bukan hanya ibadah, namun juga ada berbagai makanan.
Baca Juga: Penting untuk Muslimah, Hindari Tasyabbuh
Teman-teman mengajari Penulis bagaimana membaca Al Qur’an dengan baik, dan duduk bersama membahas hadits-hadits.
Puasa ketiga ini, saya beruntung menjadi bagian dari komunitas yang membantu mempersiapkan buka berama sepanjang bulan Ramadhan. Setelah itu dilanjutkan shalat tarawih berjama’ah. Penulis semakin bersemangat berkumpul dengan saudara-saudara sesama Muslim di Amerika, dari Asia, Arab dan lainnya. Makanan khas Asia dan aroma Arab pun mulai menggoda selera.
Menjelang pertengahan bulan Ramadhan, waktu terasa semakin cepat. Komunitas Muslimah mengundang jamaah kaum Muslimah untuk melakukan di masjid. Malam-malam pun dilalui dengan berjaga, membaca Al-Quran diselingi makanan ringan, membentuk halaqah kajian, dan doa. Sesama Muslimah di masjid menghabiskan sepanjang Ramadhan benar-benar menjadi seperti satu keluarga besar.
Ramadhan Ketujuh, Ujian Musim Panas
Baca Juga: Peran Muslimat dalam Menjaga Kesatuan Umat
Tahun 2008 Ramadan adalah Ramadhan ketujuh yang Penulis jumpai. Sebelumnya seperti biasa selama musim gugur Ramadhan, hari-hari terasa lebih lebih pendek dan lebih dingin.
Namunn saat itu adalah tahun ketujuh saya sebagai seorang Muslim, Ramadan musim panas , seolah memperpanjang waktu seharian.
Ramadhan musim panas, Penulis lalui dengan tinggal jauh dari masyarakat dan lebih banyak berada di tempat kerja berjam-jam. Penulis merasa tertekan karena tidak dapat menghadiri lebih banyak waktu ke masjid untuk berbuka puasa dan tarawih sebanyak tahun sebelumnya.
Menghabiskan bulan Ramadhan hanya di sekitar tempat kerja, dalam musim panas, merupakan ujian baru bagi Penulis. Tapi karena sudah terbiasa berpuasa, itu tidak sulit untuk menyesuaikan diri dengan tantangan baru Ramadan musim panas. Penulis menemukan bahwa menjadi sibuk bekerja sepanjang hari, terus mengelola pikiran tidak menyadari waktu sangat cepat.
Baca Juga: Derita Ibu Hamil di Gaza Utara
Penulis pun gantikan dengan duduk dalam diam, shalat malam dan berdoa pada menjelang sahur. Temperatur yang lebih dingin di pagi hari, menyapa Penulis untuk bangun dalam gelap.
Ramadhan ketujuh, Penulis tinggal dengan keluarga non-Muslim, dan suami saya pergi untuk bekerja. Sendirian di bulan Ramadhan. Tapi Penulis tidak keberatan terutama karena itu berarti Penulis punya waktu untuk diri sendiri, untuk berpikir, mengerjakan kegiatan di rumah, mengambil waktu untuk banyak mengingat Allah, untuk berdo’a.
Penulis menikmati kesendirian, dan memanfaatkan waktu rahasia dini hari untuk memperbanyak doa kepada Allah.
Harapan Ramadhan Kini
Baca Juga: Kiat Menjadi Muslimah Penuh Percaya Diri
Datangnya bulan Ramadhan tahun ini, Penulis berencana untuk menjaga tradisi Ramadhan-Ramadhan lalu. Penulis ingin terus berhubungan dengan keluarga Ramadan dari masa lalu dan membuat keluarga Ramadan baru.
Penulis berharap Ramadhan kali ini dapat menemukan pijakan yang semakin kokoh dalam iman, merasakan akidah terbarukan, menciptakan komunitas Muslim, dan memperbanyak sebagian besar waktu untuk berhubungan kembali dengan Allah, Sang pencipta alam semesta dan segala isinya. (T/nrz/P4)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Fitnah Medsos yang Perlu Diwaspadai Muslimah