Misi Kemanusiaan Kedua Lembaga Kemanusiaan MER-C ke Myanmar
Setelah menunggu proses pengurusan ijin di pihak-pihak terkait selama kurang lebih tiga bulan, akhirnya pada 16 Februari 2015, Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) dapat mengirimkan Misi Kemanusiaan Kedua ke Myanmar.
Misi kemanusiaan kedua ini berselang lebih dari dua tahun dari misi pertama sebelumnya pada September 2012. Tujuan dari Tim MER-C kali ini adalah melaksanakan penilaian ulang kondisi terkini pasca konflik di Rakhine State dan menindaklanjuti rencana pembangunan “Indonesia Health Center”.
Berbekal Nota Diplomatik dari Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI) dan bantuan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Yangon, akhirnya Tim MER-C mendapat izin untuk bisa masuk sampai ke Sittwe, Rakhine State, di mana konflik komunal antara Muslim Rohingya dan Budha Rakhine terjadi.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Tim yang dikirimkan sebanyak tujuh orang relawan dengan berbagai keahlian baik medis maupun non medis. Misi berlangsung selama 10 hari mulai 16–26 Februari 2015.
Karena proses perizinan yang sangat ketat bahkan harus mendapat persetujuan hingga ke Kantor Kepresidenan Myanmar, maka dari 10 hari masa tugas, Tim MER-C mendapat izin tinggal selama tiga hari untuk mengunjungi lokasi kamp-kamp pengungsian di Rakhine State.
Dengan pengawalan ketat sepanjang perjalanan oleh tentara Myanmar, Tim MER-C berkesempatan mengunjungi tujuh kamp pengungsian dari sekitar 15 kamp yang ada di Sittwe saja, Ibukota Rakhine State.
Ketujuh kamp yang dikunjungi Tim MER-C terdiri dari empat kamp Muslim dan tiga kamp Budha/Rakhine, di antaranya, Kamp That Kay Pin (Kamp Muslim), Kamp Kaung Doke Khar (Kamp Muslim), Kamp West San Pya (Kamp Muslim), Kamp Say Tha Mar Gyi (Kamp Muslim), Kamp Say Young Su (Kamp Rakhine/Budha), Kamp Sad Yo Kya 1 (Kamp Rakhine/Budha), Kamp Sad Yo Kya 2 (Kamp Rakhine/Budha).
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Tim MER-C cukup terkejut melihat sudah banyak perubahan yang terjadi di kamp-kamp pengungsian di Sittwe itu, dibandingkan saat Tim MER-C berkunjung pada September 2012 lalu. Kegiatan belajar mengajar di kamp-kamp di Sittwe sudah mulai berjalan meskipun dengan bangunan sekolah yang masih sangat sederhana (semi permanen).
Sarana dan kegiatan pelayanan kesehatan juga sudah mulai berjalan. Layanan kesehatan berlangsung di klinik-klinik dalam kamp dan di Rumah Sakit emergensi dalam kamp. Pelayanan berlangsung rutin setiap Senin-Jumat mulai pukul 08.00-14.00 waktu setempat. Di luar jam tersebut ada bidan dan perawat yang bertugas, bila terjadi kasus gawat darurat, ambulan bisa dipanggil dan pasien dapat dirujuk ke rumah sakit di pusat Kota Sittwe.
Selain program pelayanan kesehatan di Klinik atau RS, terdapat juga program mobile clinic rutin setiap hari, program vaksinasi di tiap-tiap klinik, layanan antenatal care oleh bidan dan pelatihan persalinan untuk tenaga kesehatan tradisional. Berdasarkan informasi dari Dinas Kesehatan setempat, terdapat juga program penyuluhan kebersihan dan program penyuluhan TB paru. Telah tampak juga toilet dan sumber air bersih di tiap-tiap kamp.
Sebagian besar bantuan diberikan secara otonom dari lembaga donor internasional dengan koordinasi langsung dengan pemerintah setempat.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Bantuan Indonesia dan Rencana Pembangunan “Indonesia Health Center”
Tim MER-C pada misi kemanusiaan kedua ini menyalurkan bantuan berupa satu unit ambulan, bantuan obat-obatan yang diterima oleh Dinas Kesehatan Rakhine State, bantuan makanan ke masing-masing kamp, bantuan sprei dan selimut sebanyak 200 paket untuk disebar ke klinik-klinik dan Rumah Sakit, serta dua unit genset.
Indonesia sendiri melalui Pemerintah RI memberikan bantuan untuk pembangunan empat unit sekolah. Lokasi pembangunan sekolah di antaranya di wilayah Minbya, masih dalam provinsi Rakhine State. Namun, karena izin kunjungan Tim yang singkat dan diperlukan izin lebih lanjut untuk mengunjungi Minbya, Tim MER-C tidak berkesempatan mengunjungi wilayah itu.
Menurut informasi, wilayah pengungsian di Minbya, kondisinya belum sebaik kamp pengungsian di Sittwe. Dua unit genset bantuan dari rakyat Indonesia melalui MER-C, rencananya akan ditempatkan di sekolah Indonesia di Minbya.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Untuk memberikan manfaat jangka panjang bagi korban konflik komunal di Rakhine State, atas nama dan donasi dari rakyat Indonesia, MER-C mencanangkan program jangka panjang berupa pembangunan “Indonesia Health Center”. Melihat langsung kondisi kamp pengungsian di Sittwe, Rakhine State yang sudah berkembang cukup baik, maka MER-C berencana untuk menjalankan program pembangunan “Indonesia Health Center” ke wilayah pengungsian lain yang masih minim sarana kesehatan, seperti di Minbya, di mana sekolah Indonesia berada.
Perlakuan Diskriminatif
Meskipun sudah banyak perubahan yang terjadi, namun berdasarkan pengamatan Tim MER-C masih berlangsung permasalahan krusial, yaitu perlakukan diskriminatif yang akan menjadi masalah utama ke depan, khususnya bagi sebagian besar warga Muslim di Myanmar, tidak hanya warga Muslim dari etnis Rohingya.
Pertama, Stateless. Stateless adalah masalah yang dihadapi sebagian besar warga Muslim di Myanmar. Sampai dengan saat ini mereka belum diakui sebagai warga negara Myanmar. Mereka tidak mempunyai kartu identitas penduduk tetap yang menjadi hak setiap warga negara. Hal ini menyebabkan warga Muslim misalnya tidak dapat membuat paspor, anak-anak yang lulus sekolah tidak bisa mendapat ijazah sehingga mereka tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dan sebagainya.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Kedua, Warga kamp Muslim di Rakhine State tidak dapat keluar masuk Kamp dengan bebas, harus ada alasan yang sangat penting untuk bisa mendapat izin keluar dari kamp. Suasana berbeda kami temui saat mengunjungi kamp Budha. Warga kamp Budha dapat keluar masuk kamp dengan bebas dan mudah untuk bekerja, bersekolah, dan sebagainya.
Peran Penting Indonesia
Permasalahan stateless atau tidak diakuinya sebagian besar warga Muslim di Myanmar sebagai warga negara oleh Pemerintah setempat ditambah tidak bisanya warga Muslim dalam penampungan di Rakhine State keluar masuk kamp dengan bebas adalah perlakuan yang sangat diskriminatif. Hal ini tentu sangat disayangkan di kala perubahan-perubahan terjadi lebih baik di kamp-kamp yang ada. Terlebih lagi warga Muslim Myanmar sudah turun temurun tinggal di negara tersebut dan berjuang bersama hingga tercapai kemerdekaan Myanmar.
Indonesia sebagai bangsa yang besar di Asia Tenggara kami harapkan dapat mengambil peran yang lebih besar dalam membantu menyelesaikan permasalahan ini.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Rekomendasi MER-C kepada Pemerintah RI dalam membantu penyelesaian permasalahan di Myanmar sebagai berikut:
Pertama, Mendorong Pemerintah Indonesia aktif melakukan pendekatan-pendekatan kepada Pemerintah Myanmar mengenai masalah kewarganegaraan bagi minoritas Muslim Myanmar;
Kedua, Bersama Pemerintah RI dan pihak terkait lainnya untuk mengadakan pertemuan-pertemuan/perundingan-perundingan regional dan internasional untuk mengangkat isu kewarganegaraan minoritas muslim di Myanmar di samping isu kemanusiaan yang berkembang;
Ketiga, Pemerintah RI memfasilitasi program-program bantuan dari lembaga-lembaga di Indonesia untuk mewujudkan program-program jangka menengah dan panjang khususnya di Rakhine State, Myanmar. (P007/R05)
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara