Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Nabi Daud Alaihi Salam, Utusan Allah dan Raja Muslim

Redaksi Editor : Widi Kusnadi - 2 menit yang lalu

2 menit yang lalu

0 Views

Ilustrasi perjalanan kisah Nabi Daud (foto: ig)

Oleh Imaam Yakhsyallah Mansur

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يٰدَاوٗدُ اِنَّا جَعَلْنٰكَ خَلِيْفَةً فِى الْاَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوٰى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِۗ اِنَّ الَّذِيْنَ يَضِلُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ ۢ بِمَا نَسُوْا يَوْمَ الْحِسَابِࣖ ۝٢٦(ص [٣٨]: ٢٦)

Baca Juga: Masjidil Aqsa Selalu di Hati Orang Beriman

“(Allah berfirman,) Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah (penguasa) di bumi. Maka, berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan benar dan janganlah mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari Perhitungan.” (QS Shad [38]: 26)

Dalam kitab Al-Mukhtashar Tafsīr Al-Qur’ānul Azhīm dijelaskan, ayat di atas menggambarkan keagungan kedudukan Nabi Dāwūd Alaihissalām sebagai seorang khalīfah di muka bumi. Kekhalifahan bukanlah sekadar kedudukan politik, tetapi amanah ilahi untuk menegakkan hukum-hukum Allah Ta’ala dan menjaga keseimbangan kehidupan manusia.

Adapun makna, فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ  (berilah keputusan di antara manusia dengan benar) menunjukkan bahwa menegakkan keadilan adalah inti dari menjalankan amanah khalifah tersebut. Keadilan bukan hanya menerapkan hukum secara tekstual, tetapi juga menghadirkan ruh kebenaran dan keadilan dalam setiap keputusan.

Namun, Allah Ta’ala juga memperingatkan, وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوٰى  (dan janganlah mengikuti hawa nafsu) Inilah ujian terbesar bagi siapa pun yang diberi kekuasaan. Hawa nafsu bisa menipu manusia, menjadikannya buta terhadap kebenaran dan tuli terhadap nasihat. Pemimpin sejati adalah yang mampu menundukkan hawa nafsunya sebelum memimpin dan memberi keputusan kepada rakyatnya.

Baca Juga: Solusi Dua Negara (Palestina-Israel) dalam Prespektif Sejarah

Dalam ayat lain, Allah juga berfirman tentang Nabi Dawud Alaihis salām:

اِصْبِرْ عَلٰى مَا يَقُوْلُوْنَ وَاذْكُرْ عَبْدَنَا دَاوٗدَ ذَا الْاَيْدِۚ اِنَّهٗٓ اَوَّابٌ ۝١٧ (ص [٣٨]: ١٧)

“Bersabarlah atas apa yang mereka katakan dan ingatlah akan hamba Kami, Daud, yang mempunyai kekuatan. Sesungguhnya dia adalah orang yang selalu kembali (kepada Allah).” (QS Shad [38]: 26)

Imam At-Thabari Rahimahullah menafsirkan istilah ذَاالْأَيْدِ  sebagai seseorang yang memiliki kekuatan moral dan spiritual untuk menegakkan hukum Allah Ta’ala di tengah-tengah manusia. Dengan demikian, kekuatan Nabi Dawud Alaihis salām bukan untuk menegakkan kerajaan secara duniawi, melainkan untuk menegakkan keadilan berdasarkan wahyu Ilahi.

Baca Juga: Keluarga Sakinah, Tenang Bersama di Tengah Cobaan

Sifat أَوَّابٌ (awwab) yang disematkan kepada Nabi Dawud Alaihis salām berarti “orang yang senantiasa kembali kepada Allah Ta’ala,” yakni dengan dzikir, taubat, dan senantiasa dalam ketaatan. Hal ini menunjukkan bahwa beliau berhasil merealisasikan nilai-nilai ubudiyah ke dalam amal dan dakwah.

Ayat di atas sekaligus menjadi bantahan tegas terhadap klaim kaum Zionis Yahudi Israel saat ini yang menganggap Nabi Dawud Alaihis salām sebagai raja Yahudi. Klaim tersebut jelas bertentangan dengan Al-Qur’an. Allah Ta’ala sendiri menegaskan bahwa Dawud adalah ‘abdanā (hamba Kami) dan seorang khalifah (QS Shad [38]: 26).

Semua nabi, sejak Nuh, Ibrahim, Musa, hingga Isa dan Rasulullah Muhammad ‘Alaihimussalām membawa risalah yang sama, yaitu Islam, agama yang menyeru kepada penyembahan kepada Allah Ta’ala semata.

Awal Mula Agama Yahudi

Baca Juga: Antara Perjanjian Hudaibiyah dan Gencatan Senjata di Gaza

Agama Yahudi adalah sistem keagamaan tertutup yang menonjolkan identitas etnis. Keanggotaan agama tidak didasarkan pada keimanan kepada Allah, tetapi pada garis keturunan. Di sinilah letak perbedaannya dengan Islam dan agama para nabi sebelumnya yang bersifat universal dan terbuka bagi siapa pun yang beriman.

Sejarawan Yahudi asal Finlandia, Max Isaac Dimont (1898–1992) dalam bukunya Jews, God, and History menyebut Yudaisme (Agama Yahudi) sebagai “agama bangsa” (ethnic religion) yang lahir dari pergulatan sejarah, bukan berasal dari wahyu Allah Ta’ala yang murni.

Kata “Yahudi” sendiri berasal dari nama salah satu anak Nabi Ya’kub, yaitu Yahudza (Yehudah). Setelah keturunan Ya’kub berkembang menjadi dua belas suku, suku Yahudza menjadi yang paling kuat dan mendominasi wilayah selatan Palestina setelah perpecahan kerajaan Israel. Dari nama suku inilah lahir istilah Yahudi (dalam bahasa Inggris: Jews), yang kemudian melekat menjadi identitas keagamaan dan kebangsaan.

Ibnu Katsir Rahimahullah dalam kitabnya Al-Bidayah wan-Nihayah, agama para nabi sebelum Musa Alaihissalam adalah agama tauhid yang lurus (Islam). Namun setelah wafatnya Nabi Musa Alaihissalam, sebagian Bani Israel menyeleweng dari ajarannya. Mereka menafsirkan wahyu sesuai hawa nafsu, bahkan mencampuradukkan syariat dengan tradisi bangsa-bangsa sekitar. Dari sinilah muncul cikal bakal agama Yahudi dalam bentuknya yang terdistorsi.

Baca Juga: Perdamaian di Gaza, Antara Asa dan Realita

Sejarawan Yahudi modern seperti Shlomo Sand dalam bukunya The Invention of the Jewish People menegaskan bahwa konsep “bangsa Yahudi” bukan warisan langsung dari zaman Musa, tetapi konstruksi sosial-politik yang baru disusun berabad-abad kemudian.  Menurutnya, banyak dari yang kini disebut “orang Yahudi” bukan keturunan langsung Bani Israel, melainkan hasil konversi dari berbagai bangsa pada masa kekuasaan Persia dan Romawi.

Perubahan besar terjadi ketika kerajaan Bani Israel hancur dan banyak penduduknya dibuang ke Babilonia pada abad ke-6 SM. Di masa pembuangan inilah para rabbi (pemuka Yahudi) mulai menulis dan menafsirkan ulang Taurat dalam bentuk teks yang dikenal sekarang sebagai Talmud.

Sejarawan seperti Karen Armstrong dalam bukunya A History of God menulis bahwa setelah kehancuran itu, kaum Bani Israel berusaha membangun kembali ke identitasnya melalui hukum dan ritual, bukan lagi melalui wahyu. Dari sinilah lahir “Yudaisme” sebagai sistem keagamaan.

Ibnu Khaldun menegaskan bahwa Bani Israel pasca-pembuangannya banyak terpengaruh oleh budaya Babilonia dan Persia, sehingga banyak kehilangan kemurnian tauhidnya.

Baca Juga: Ketika Sumud Flotilla Tak Sampai Gaza

Hari ini, banyak ilmuwan dan sejarawan yang mulai melihat agama Yahudi bukan hanya sebagai sistem kepercayaan, tetapi juga sebagai produk sejarah panjang penyelewengan dari wahyu tauhid.

Sejarah agama Yahudi memberi pelajaran penting, bahwa agama akan kehilangan ruh dan cahayanya ketika terpisah dari ajarah yang murni dan bercampur dengan budaya dan pemikiran manusia (politik).

Risalah para nabi bukanlah untuk membangun superioritas kebangsaan, melainkan untuk menegakkan keesaan Tuhan. Setiap nabi diutus bukan untuk meninggikan satu ras di atas ras lain, melainkan untuk memurnikan ibadah dan mengajak semua manusia kembali kepada Sang Pencipta.

Allah tidaklah menurunkan agama yang dibawa oleh para nabi, kecuali Islam, sebagaimana firman-Nya:

Baca Juga: Mewaspadai Parasit Bani Israil dalam Tubuh Kaum Muslimin

اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُۗ …، (ال عمران [٣]: ١٩)

Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah ialah Islam….” (QS Ali Imran [3]: 19)

Nabi Dawud Alaihisalam Bukan Simbol Agama Yahudi

Rasulullah ﷺ bersabda:

Baca Juga: Global Sumud Flotilla, Napak Tilas Perjuangan Sahabat Bebaskan Masjidil Aqsa

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُودَ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ (رواه البخارى)

“Tidak ada makanan yang lebih baik daripada hasil usaha tangan sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah Dawud makan dari hasil tangannya sendiri.” (HR Al-Bukhari)

Al-Qur’an dan hadits menyebutkan Nabi Dawud Alaihis salām dalam konteks hamba Allah Ta’ala dan seorang nabi. Hadits di atas menunjukkan keteladanan Nabi Dawud dalam bekerja keras dan tidak bergantung pada orang lain, meski beliau seorang raja.

Dari sisi teologis, tafsir para ulama klasik menegaskan kontinuitas risalah para nabi. Agama Nabi Dawud Alaihis salām merupakan kelanjutan ajaran Ibrahim, Ishaq, Ya’kub, dan Musa, yaitu agama Islam. Itu artinya beliau adalah Muslim. (QS Al-Baqarah [2]: 132 dan QS Ali Imran [3]: 68).

Baca Juga: Nabi Musa Pembebas Bani Israil, Menuju Tanah yang Disucikan

Pandangan para sejarawan Yahudi seperti Israel Finkelstein, Neil Asher Silberman dan lainnya membantu membedakan antara asal-muasal institusi keagamaan dan klaim-klaim nasionalistik Yahudi saat ini.

Mereka menegaskan bahwa identitas “Yahudi” sebagai agama dan etnis mengalami proses pembentukan yang panjang, terutama setelah periode pembuangan ke Babilonia dan pengaruh tafsir rabbinik (penjelasan para rabbi).

Dalam proses ini, ajaran asli para nabi seperti Nabi Musa dan Dawud Alaihimas salam mengalami perubahan karena kondisi sosial-politik, sehingga agama yang dikenal sebagai Yudaisme muncul sebagai kombinasi antara wahyu yang tersisa dan interpretasi (penafsiran) manusia.

Akibatnya, label “Yahudi” lebih mencerminkan identitas kultural dan etnis daripada ajaran wahyu yang murni dibawa oleh para nabi.

Baca Juga: 5 Keutamaan Membaca Shalawat Atas Nabi

Pendekatan historiografis ini menunjukkan bahwa menyatakan Nabi Dawud Alaihi salam sebagai pendiri agama Yahudi adalah anacronistic (kesalahan waktu) karena faham Yudaisme berkembang 500 tahun setelah masa kenabian beliau.

Para ulama seperti At-Thabari, Ibnu Katsir dan mufassir lain membahas kisah-kisah Nabi Dawud Alaihis salām dengan menegaskan bahwa inti dakwah nabi-nabi adalah tauhid dan keadilan, bukan pengukuhan klaim kepemilikan tanah Palestina berdasarkan garis keturunan.

Al-Qur’an menegaskan bahwa tanah diberkahi (Palestina) diperuntukkan bagi mereka yang beriman dan beramal shaleh sehingga dipergunakan untuk maslahat seluruh umat manusia, bukan menjadi milik etnis tertentu saja.

Interpretasi ayat-ayat suci tentang negeri yang diberkahi tidak boleh digunakan sebagai klaim yang membenarkan aksi penindasan dan penjajahan.

Bukti arkeologi dan sejarah juga menunjukkan bahwa yang menguasai wilayah Palestina memang silih berganti. Namun sejarah membuktikan, setiap yang menyimpang dari ajaran yang murni (tauhid), tidak menegakkan keadilan di bumi Palestina, maka mereka hancur binasa.

Propaganda Zionisme yang mengklaim Nabi Dawud Alaihi salam sebagai simbol keagungan agama Yahudi adalah tidak benar karena Beliau adalah seorang nabi yang membawa Agama Islam dan seorang raja yang menerapkan syariat Islam sesuai dengan tuntunan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Menepis Fitnah Yahudi terhadap Nabi Dawud Alaihi Salam Berzina dengan Batsyeba

Dalam kitab 2 Samuel 11: 2-5 disebutkan bahwa pada awal pemerintahan Raja Daud yang sebelumnya taat, tiba-tiba kehilangan karunia. Ia berzina dengan Batsyeba, istri Uria, orang Het, salah seorang prajuritnya yang setia. Kisah ini kemudian dinukil oleh sebagian ahli tafsir ketika menjelaskan QS Shad [38] ayat 21-25.

Jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa kisah Nabi Dawud Alaihi salam berbuat zina dengan wanita bernama Batsyeba tidak memiliki dasar dalam Al-Qur’an maupun hadis sahih. Tuduhan tersebut hanya kisah yang bersumber dari riwayat-riwayat Israiliyyat yang menyusup ke dalam sebagian kitab tafsir.

Cerita tersebut bertentangan dengan prinsip kemaksuman para nabi (‘ishmah al-anbiya). Dalam pandangan Islam, para nabi adalah manusia pilihan Allah Ta’ala yang terjaga dari dosa dan perbuatan keji, agar mereka menjadi teladan sempurna bagi umatnya.

Al-Qur’an hanya menyebutkan kisah dua orang yang bersengketa tentang kambingnya di hadapan Dawud (QS. Shad: 21–25), dan tidak menyebut sedikit pun nama wanita atau perbuatan dosa.

Sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Qurthubi Rahimahullah, ayat itu bukan kisah tentang zina, tetapi ujian bagi Nabi Dawud dalam hal keadilan dalam memutus perkara. Ia sempat tergesa memberi keputusan sebelum mendengar pihak kedua, lalu segera bertaubat sebagai bentuk kerendahan hati seorang nabi yang takut kepada Allah, bukan karena dosa besar.

Imam Ibnu Katsir menegaskan bahwa riwayat tentang Dawud dan Batsyeba adalah cerita bathil yang disusupkan Yahudi. Semua kisah yang menyebutkan bahwa Dawud bermaksud berbuat dosa kepada wanita tersebut adalah kebohongan dan kedustaan terhadap nabi Allah.

Begitu pula ulama kontemporer seperti Syaikh Asy-Sya’rawi yang menegaskan dalam tafsirnya bahwa kisah perbuatan maksiat yang dilakukan oleh Nabi Dawud Alaihi salam tak boleh dipercaya. Beliau menekankan, “Bagaimana mungkin seorang nabi yang diutus untuk menegakkan hukum dan moralitas melakukan zina? Ini mustahil secara syar‘i dan akal.”

Kisah palsu tentang Nabi Dawud Alaihi salam itu memiliki pola yang sama dengan tuduhan kaum Yahudi terhadap para nabi lainnya, seperti menuduh Nabi Luth berzina dengan anaknya dan Nabi Harun membuat patung anak sapi.

Kisah yang menodai kehormatan para nabi hanyalah fitnah yang dibawa oleh tangan-tangan jahil yang ingin meruntuhkan marwah dan kehormatan mereka.

والله أعلمُ بالـصـواب

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda