Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation, New York
Muhammad Shalallahu alaihi wasallam memang dilahirkan, dan diutus bukan sekedar membawa risalah samawiyah (heavenly message) atau pesan langit. Beliau pada dirinya perwujudan dari pesan itu dan karenanya beliau bukan hanya pembawa (carrier). Tapi pada dirinya terpatri (perwujudan) risalah itu.
Keseluruhan pesan-pesan langit itu tersimpulkan dalam satu kata “رحمة”. Rahmah yang secara populer dan sederhana diterjemahkan dengan “kasih sayang” memaknai seluruh hal yang berkaitan dengan risalah dan diri baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam. Dengan kata lain, tak satu sisi manapun dari risalah atau hidup Muhammad kecuali sebagai perwujudan dari “kasih sayang” itu.
Rasulullah memang dikenal luas oleh Umatnya sebagai “rahmatan lil-alamin”, seperti yang digambarkan oleh Al-Qur’an: “dan tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai “rahmatan lil-alamin”.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Pernyataan Ilahi itu sebenarnya adalah sebuah penyimpulan bahwa tak satupun yang berkaitan dengan Rasulullah dan risalahnya kecuali menjadi bagian dari kasih sayang itu.
Di antara sekian kerahmatan baginda Rasulullah itu adalah bahwa beliau hadir membawa sekaligus sebagai “nuur” (lentera) kehidupan. Kehadiran beliau memang dimaksudkan untuk memberikan penerangan di tengah kegelapan dunia (zhulumat) seperti yang disebutkan pada bagian lalu.
Salah satu perwujudan nur atau cahaya itu adalah menghadirkan peta hidup (road map) kehidupan yang jelas. Peta kehidupan yang dihadirkan baginda Rasul ini begitu jelas, terang benderang, menerangi akal dan batin yang tidak mengalami polusi hawa nafsu yang jahat.
Kehidupan itu adalah perjalanan (journey) atau safar dari titik poin yang telah ditetapkan (amran maqdhiyan) ke titik poin yang juga telah ditentukan. Walaupun titik-titik perjalanan dari mana dan kemana sudah jelas dan pasti, namun bagaimana menjalaninya yang kemudian penuh dengan lika liku dan ketidak menentuan. Kehidupan dunia ini penuh dengan ketidak pastian.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Ketidak pastian (uncertainty) dunia itu menjadikan manusia pada umumnya mengalami kebingugan yang dalam (deep state of confusion), bahkan kejahilan yang tidak tertolerir. Prilaku manusia yang bingung dan jahil itulah yang menimbulkan berbagai destruksi (Al-fasad) atau kerusakan dalam berbagai manifestasinya. Akibatnya manusia yang seperti ini kehilangan kemanusiaan, bahkan berubah menjadi “bagaikan hewan bahkan jauh lebih jahat dari hewan dalam kesesatan” (Al-qur’an).
Dalam dunia yang penuh gulita dan ketidak menentuan saat ini betapa banyak manusia yang terjatuh ke dalam kehinaan itu (asfala saafiliin). Mereka kemudian berjalan dalam hidup ini penuh dengan kepura-puraan. Pura-pura pintar dalam kebodohan yang sangat. Pura-pura kaya dalam kemiskinan yang menyakitkan. Pura-pura bahagia dalam penderitaan yang tiada ujung.
Adakah kebodohan yang lebih tinggi dari ketidak tahuan pencipta dan orientasi hidup? Mereka yang tidak mengenal pencipta sedang mengalami disorientasi yang paling mengerikan. Karena sedang terjadi self paradoks yang luar biasa. Haji Katanya nurani itu tidak akan pernah mengingkari Penciptanya. Itu adalah fitrah. Maka ketika manusia tidak mengenal penciptanya maka di saat itu terjadi pengingkaran yang hebat. Pengingkaran inilah yang dikenal dengan kata “kufur”. Dan pengingkaran terbesar adalah mengingkari hari nurani itu.
Disorientasi hidup manusia menjadi masalah terbesar juga ketika mereka gagal mengenal “jalan hidup” (shirat) yang benar (al-Mustaqim). Dan itu sederhana. Dari mana, di mana (apa dan bagaimana) dan kemana. Bisa dibayangkan betapa lelahnya kehidupan manusia yang tidak mengenal jalan hidup (orientasi) yang lurus itu.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Bayangkan anda berjalan di sebuah gurun pasir yang luas. Anda ingin sampai ke sebuah tujuan. Tapi anda tidak saja bahwa anda tidak tahu arah jalannya. Tapi lebih dari itu bahkan tidak tahu ke mana tujuan perjalanan itu. Sungguh sangat melelahkan pastinya.
Di sìnilah salah satu makna terbesar dari kata “rahmah” itu. Bagaimana Muhammad telah dihadirkan oleh sang Pencipta untuk memberikan GPS atau road map dari perjalanan hidup ini. Dari mana, di mana, apa/bagaimana, dan ke mana.
Dan karenanya jika saja manusia sadar tentang siapa Muhammad dalam menyelamatkan manusia dari disorientasi kehidupan itu pastinya mereka akan mengapresiasi. Itulah alasan terpenting kenapa Umat ini mencintai Rasulnya melebihi siapa saja setelah Allah. Bahkan lebih mencintainya dari dirinya sendiri.
اللهم صل علي محمد وعلي ال محمد
(AK/RE1/P1)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Mi’raj News Agency (MINA)